Belakangan ini begitu banyak protezzz masuk ke sekolah ber-“label” Katolik. Entah itu TK sampai Perguruan Tinggi. Dari berbagai diskusi yang kubaca, banyak sekali yang terkesan “menyerang” kredibilitas sekolah katolik, namun tak sedikit pula yang berusaha “membela” sekolah katolik. Alasannya macam-macam, mulai dari mutu yang kurang bagus, minimnya jumlah murid sehingga mau ditutup, kekurangan dana, sampai terlalu “wah”-nya “setoran” yang harus diberikan orang tua wali murid pada saat mendaftarkan anaknya di sekolah tersebut. Nah, aku mau mencoba memberikan sedikit “oret-oret” (coretan) soal sekolah katolik, namun kubatasi sebatas tingkat sekolah, bukan Perguruan Tinggi, sebab kondisinya udah berbeda hampir 180 derajat π
Belajar dari pengalamanku yang masih sepet-sepet ini (karena masih kurang garam, baru asam π aku mencoba untuk bersikap netral. Aku pribadi mulai TK sampai lulus SMA belajar di lingkungan sekolah katolik. Saat aku mulai dibaptis (awal-awal kuliah), aku sempat dan hingga saat ini masih bergaul dengan beberapa orang yang bertindak sebagai “motor” sekolah katolik. Memang, aku pun melihat bahwa sekolah katolik ada yang baik dan ada yang buruk. Namun bukankah itu wajar? Hal yang sama terjadi pula pada sekolah yang lain bukan? Seperti Negeri, Kristen, Muhammadiyah, dsb., semuanya pasti punya sekolah dengan 2 mutu tersebut.
Kenapa itu bisa terjadi? Entah, aku sendiri juga kurang tahu… kenapa ada sekolah yang begitu “dikejar” oleh para murid, sehingga walaupun jauh tetap dibela-belain untuk pergi ke sekolah sana dan kebalikannya, ada sekolah yang dijadikan alternatif terakhir kalau si murid sudah benar-benar tidak diterima di sekolah pilihannya, bahkan mungkin ironisnya si murid lebih memilih tidak sekolah tahun ini ketimbang sekolah di sana. Sekedar contoh: aku pun mengalami demikian, aku sejak kelas 3 SD pindah ke kawasan timur kota Surabaya, namun aku masih ke sekolah di kawasan utara Surabaya dan itu harus kutempuh dengan naik bemo (angkot) setiap hari yang menghabiskan waktu kurang lebih 45 menit. Padahal waktu itu di sekitar rumahku, ada sekolah kristen yang mutunya bagus dan juga sekolah katolik baru. Jadi bila bicara soal mutu, sebenarnya “agak ” kurang jelas juga. Apa standar dari mutu sebuah sekolah? Karena terkenal? Karena banyak piala? Atau karena banyak yang mendaftar ke sana? Saya rasa banyak alasan yang dipakai oleh para murid saat mendaftar ke sebuah sekolah, di antaranya (mungkin) karena merupakan satu-satunya sekolah katolik di sana, atau mutunya yang memang benar-benar bagus, atau itu merupakan sekolah dari generasi ke generasi (orang tuanya), atau kenal dengan salah satu atau beberapa guru di sana, atau bahkan alasan yang pernah kupakai ini: banyak teman-temanku yang masuk ke sana! Masih banyak alasan-alasan yang lain yang tak tertuliskan, namun semuanya itu menunjukkan bahwa setiap orang punya alasan tersendiri dalam memilih sekolah tempat mereka akan masuk. Jadi bukan hanya sekedar mutu yang bagus, sebab cerita sola mutu khan biasanya hanya diperoleh dari mulut ke mulut, kecuali kalau memang udah ada saudaranya yang pernah bersekolah di sana.
Sekolah katolik mahal? Wow! JELAS! Namun itu kujawab dengan perkecualian, yaitu di beberapa sekolah, utamanya di kota besar. Aku melihat hal ini sebagai bagian dari proses pembelajaran pula. Coba bandingkan dengan sekolah negeri yang notabene murah karena disokong oleh pemerintah. Dari segi peralatan sekolah sampai material gedung, udah jelas-jelas sekolah katolik masih lebih mentereng dan komplit dibandingkan dengan sekolah negeri. Bahkan 2 tahun belakangan ini almamaterku sudah melengkapinya tiap kelasnya dengan AC dan bangunan ditingkat lagi, sehingga sekarang sudah tidak ada lagi sekolah sore, semua masuk pagi. Sekarang coba kita melirik ke sekolah katolik di daerah… phew, sangat mengenaskan adalah kata yang mungkin cocok dipasangkan pada sekolah-sekolah tersebut. Bagaimana tidak, mereka sekolah dengan bangunan seadanya, lalu peralatan serba tidak lengkap, kalaupun ada biasanya itu bantuan donatur yang sedang mengadakan bakti sosial, atau sumbangan dari sekolah pihak perkotaan yang notabene sudah tidak terpakai lagi alias barang bekas. Lalu, apakah uang sekolah di daerah juga mahal? Secara keseluruhan aku tidak tahu, namun dari beberapa daerah (di Keuskupan Malang) yang pernah kupantau, uang SPP yang dibayarkan oleh para murid terkesan hanyalah sekedar formalitas belaka. Bagaimana tidak, coba dipikir, apakah uang Rp. 500,- (paling tinggi Rp. 2500,-) sebulan itu bisa untuk menyelenggarakan pendidikan? Uang itu tetap harus dibayarkan oleh para murid hanya sekedar agar mereka pun tetap punya harga diri dan tanggung jawab untuk bersekolah, sebab mereka membayar! Bagaimana dengan kekurangan dana per bulannya yang mencapai minim 2-5 juta itu? Selain yayasan mencarikan dana dari para donatur, anak-anak yang bersekolah pun diberdayakan untuk membuat kerajinan tangan atau makanan olahan yang kemudian hasilnya dijualkan oleh pihak yayasan. Sehingga selain mereka mendapatkan ketrampilan tambahan yang benar-benar merupakan kerja praktek nyata (yang di kota tidak ada), mereka bisa berbangga karena telah membiayai dana sekolah tanpa membebani orang tua mereka. Nah, hal ini yang aku rasa sedikit sekali terjadi di kota (termasuk aku). Aku ingat sebuah cerita dari romo yayasan yang bilang kalau sekolah katolik minus yang dibinanya itu sempat mengagetkan penduduk di sekitar, sebab terkesan “wah”, setiap tahun ganti seragam! Selidik punya selidik, ternyata seragam-seragam itu adalah hasil si romo “memulung” dari sekolah-sekolah di kota. Bekas memang, tapi masih bagus dan layak pakai. Aku percaya itu, sebab saat aku sekolah, minimal aku punya seragam 3-4 potong untuk seminggu dan sampai aku lulus, aku lihat seragamku masih bagus. Maka sangat disayangkan kalau tradisi semprot-menyemprot pakai cat dan spidol masih berlangsung. Khan mendingan seragam-seragam itu disumbangkan? Belum lagi, yang aku tahu almamaterku punya “tanggungan” sekolah minus di daerah atau pula lain. Jadi sebagian dana sekolah disalurkan untuk menghidupi sekolah-sekolah katolik minus tersebut. Dananya dari mana? Ya dari SPP-ku yang mahal itu π
Lalu, aku coba beralih ke masalah guru. Soal ini memang seperti memakan buah simalakama. Guru pada teori dasarnya adalah orang yang bisa “digugu lan ditiru”. Namun kita tidak bisa menutup mata kita bahwa guru pun manusia yang punya kebutuhan seperti kita. Banyak orang beranggapan bahwa guru itu layaknya manusia super yang sudah tidak punya keinginan lagi, selain mengajar. Seperti halnya manusia normal, guru pun ada yang baik dan ada yang buruk, entah itu dalam cara mengajar, sampai pada kepribadian. Cara mengajar memang berbeda-beda, dan menurutku itu sich tergantung selera dari tiap murid. Mengapa? Karena berdasarkan pengalaman, dulu ada guru yang begitu disukai cara mengajarnya, tapi toh tidak olehku (terbukti nilaiku jelek terus di pelajarannya); tapi kebalikannya ada pula guru yang begitu kusukai cara mengajarnya (terbukti juga dengan nilaiku yang bagus), tapi ternyata banyak teman lain yang kurang suka. Dan kurasa hanya guru-guru yang istimewa yang bisa disukai semua murid, dan itu jarang sekali terjadi! π Bila kita mau teruskan membahas perilaku guru, sudah bukan rahasia lagi bahwa di tiap sekolah pasti punya guru idola dan guru killer. Guru idola? Pasti karena dia begitu disegani dengan segala macam tingkah lakunya yang memang patut untuk dicontoh oleh para murid. Bisa juga karena dia humoris dan dekat dengan para murid. Sedangkan bagaimana dengan guru killer? Wah, sebutannya saja killer, tentu udah jelas kalau banyak murid yang takut, benci, bahkan dendam dengan guru itu. Selama tidak kurang dari 12 tahun aku pun pernah mengalami berhadapan dengan guru killer. Mulai dari “creambath” (istilah kami karena rambut kami dijambak dan digoyangkan kiri-kanan secara cepat), ditampar, “jengkeng” (hukuman berlutut seperti saat misa, tapi di kursi atau lantai), dijemur di terik matahari, dicubit di seputaran “payudara” cowok, ditinju di perut, mulut diplester pake lakban, dan masih banyak lagi hukuman-hukuman yang mempermalukan itu. Untunglah, walaupun mereka yang berada di deretan para guru killer masih ada beberapa yang mutu mengajarnya bisa diacungi jempol, dengan kata lain mereka bertindak killer hanya kalau muridnya sudah kelewat batas nakalnya. Lalu, hal yang tak lepas dari lingkaran setan permasalahan para guru. Apalagi kalau bukan duit! Ya, kita tahu sendiri bahwa gaji seorang guru tidaklah besar bila dibandingkan dengan usaha yang harus dikeluarkannya dalam menghadapi para murid setiap harinya. Maka, sudah bukan rahasia lagi kalau ada guru sekolah yang membuka bisnis kecil-kecilan berupa les-lesan di rumahnya atau secara privat di rumah murid. Aku pribadi tidak menyangkal kalau aku pun pernah ikut les, baik les yang bertujuan baik (biar mengerti pelajaran) maupun les yang bertujuan jelek (cari nilai alias nyogok π Nah, soal bagaimana kegiatan les ini nanti dimanfaatkan, ini kembali pada gurunya juga. Ada guru yang hanya mau memberi les bila ia merasa di murid memang butuh bimbingan eksra, namun ada pula guru yang justru membuka les-lesan untuk mengobral nilainya. Caranya? Selama les diberikan soal-soal yang nantinya akan dipakai saat tes/ulangan, atau pada akhir semester/cawu nilai murid yang les dikatrol dengan perhitungan standar nilai minimum 7. Sebuah fakta yang terjadi di banyak sekolah, walaupun itu sekolah katolik yang “katanya” bermutu paling bagus. Pernah aku dibagi sharing oleh romo yayasan soal les di sekolah daerah. Oleh si romo, aktivitas les dilarang, kalaupun dirasa perlu, harus dilakukan di sekolah pada siang/sore hari dan boleh diikuti oleh semua murid. Sayangnya, ada oknum-oknum guru yang justru menggunakan sistem sales door to door dan menawarkan les pada murid. Hal ini sempat memicu ketegangan di antara para wali murid dan hasilnya si guru pun dimutasikan ke tempat lain. Pedoman si romo yayasan, les privat itu lebih banyak ruginya daripada untungnya. Kenapa demikian? Akan saya kutipkan di akhir oret-oretanku ini…
Sekarang masuk ke topik yang paling banyak dikeluhkan (aku rasa) oleh para wali murid saat anaknya mau masuk ke sekolah. Apalagi kalau bukan DANA SUMBANGAN! Memang kasus dana ini begitu kontroversial di berbagai kalangan. Yang merasa “ditarik” sumbangan kecil, begitu bersukacita dan senyam-senyum kecil, sedangkan yang “ditarik” sumbangan besar/tinggi merasa tidak adil dan protes bahkan marah-marah. Sebagai anak kota yang hidup cukup, dalam artian tidak kurang tapi juga tidak lebih, aku merasa beruntung kalau selama ini negosiasi antara ayahku dan pihak sekolah selalu menghasilkan sumbangan yang tidak terlalu besar. Namun, ada beberapa segi yang ingin kusorot, yaitu kenapa sampai ada sekolah yang terkesan gila-gilaan dalam menarik sumbangan dan kenapa sampai ada wali murid yang merasa diperlakukan tidak adil dengan besarnya sumbangan yang harus dibayarnya. Istilah SUKARELA pun berubah jadi suka ndak suka harus rela. Sedikit cerita, ayahku pernah jadi anggota BP3 (anggotanya diambil dari beberapa wali murid yang anaknya sekolah di sana) saat aku masih SD. Dari pengalaman ayahku, terbukti memang ada wali murid yang PENIPU. Aku tulis dengan huruf besar, karena memang keterlaluan banget. Ada wali murid yang sampai menghalalkan segala cara agar anaknya bisa diterima dengan sumbangan minimal. Di antaranya: menyuruh sopir/pegawainya mengaku sebagai wali murid si anak, ke sekolah dengan menggunakan baju golongan ekonomi lemah (padahal biasanya pake baju mewah, ayahku tahu karena memang kenal), dan menggunakan surat-surat yang tidak diperbaharui, seperti alamat KK (Kartu Keluarga) yang walaupun sudah pindah ke rumah gedongan, tapi KK barunya tidak diurus-urus, sehingga kalau harus menunjukkan bukti-bukti kehidupan sehari-harinya menunjukkan kalau bukan dari golongan berada (meteran air, listrik, telpon yang kecil, dsb). Memang, tidak semua wali murid seperti itu… dan pasti ada wali murid yang menjadi korban “kekeliruan” penilaian oleh para BP3-nya. Biasanya kekeliruan ini disebabkan kurangnya informasi yang dikumpulkan oleh ayahku dan rekan-rekannya menjabat sebagai BP3. Nah, itu contoh cara-cara “unik” yang dilakukan wali murid yang ingin mendapat nilai sumbangan minimum saat wawancara di sekolah… tapi ada juga yang pakai cara lain, yaitu mendatangi rumah salah seorang anggota BP3. Tahu khan… bawa “oleh-oleh” π Lalu buat apa sich sumbangan besar-besaran yang dikumpulkan oleh BP3 itu? Bila aku tidak keliru, seharusnya uang itu memang untuk men-support sekolah, terutama dari segi sarana dan pra-sarana. Sebab yang aku tahu, ayahku dan wali murid lain yang jadi BP3 saat itu memang tidak menerima bayaran sama sekali. Kalaupun ada, hanya berupa syukuran kecil-kecilan di sekolah, antara para guru dan BP3, itu saja. Lalu uangnya? Ya dibuat membangun gedung, sampai memberikan kenang-kenangan pada para guru sebagai pemicu semangat mereka untuk tetap mengajar dengan baik. Bagaimana dengan BP3 di sekolah yang lain? Secara persis aku tidak tahu, tapi aku yakin bahwa mereka pun orang-orang yang punya hati dan tujuan yang baik di balik tindakan mereka yang terkesan tidak ber-perikemanusiaan. Jadi, saya rasa memang betul kalau ada komentar yang harus instropeksi diri itu bukan hanya pihak sekolah dan BP3 saja, melainkan para wali murid pun perlu bercermin apakah tindakannya itu sudah benar?
Hmmm… memang persoalan pendidikan bagaikan benang kusut. Tidak mudah untuk bisa memuaskan semua pihak. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana kita menelaahnya dan pakai kacamata yang mana saat kita melihatnya. Bila sekolah katolik harus bermutu semua, itu artinya anak-anak yang kurang pinter (seperti aku) tidak diberikan kesempatan untuk belajar di sekolah katolik. Lebih tidak adil bukan? Bila sekolah katolik harus “kere” (melarat) semua alias tidak boleh mewah, lalu darimana dana untuk menghidupi sekolah tersebut? Apakah dengan bergaya hidup tidak mewah bisa membuat sekolah itu bisa menjadi bermutu? Anggaplah sekolah katolik bisa menjadi bermutu dengan bergaya hidup tidak mewah (sumbangan kecil, spp murah, dsb), lalu itu artinya orang-orang yang mampu pun tidak lagi perlu menyisihkan “kelebihan”-nya untuk menyokong yang kurang mampu. Semakin tidak adil bukan? Bagiku, sekolah adalah bisnis. Namun selama bisnis yang dilakukan itu untuk kepentingan pendidikan, saya rasa sah-sah saja. Yang tidak benar itu kalau sampai sekolah hanya memperkaya diri, namun kurang memberikan fasilitas yang lengkap sebagai kompensasi para siswanya yang telah membayar mahal. Yang tidak boleh dibisniskan adalah sistem pendidikannya. Saya rasa semua pasti setuju kalau tiap orang punya hak untuk mengenyam pendidikan. Sayangnya, tidaklah semua orang beruntung bisa mengenyam pendidikan, sehingga dengan “bisnis sekolah” sekolah inilah diharapkan mampu untuk membantu yang kurang beruntung itu. Ada pendapat dari para pelaku pendidikan, yaitu: bagaimana sekolah bisa maju bila tidak menggaji guru yang bermutu? bagaimana bisa menggaji guru yang bermutu bila tidak berduit? bagaimana bisa berduit kalau tidak punya murid? dan akhirnya, bagaimana bisa bermurid bila sekolahnya tidak bermutu? Ini adalah lingkaran setan yang terjadi dan terus akan terjadi, baik di kota dan terutama di daerah terpencil. Mungkin semuanya akan terwujud saat dunia ini sudah damai… entah kapan…
Yang terakhir, berikut kucuplik kisah dari seorang romo yayasan yang menaungi sekolah-sekolah minus soal les:
Semenjak ditugaskan sebagai pimpinan yayasan pendidikan keuskupan kucoba mengumpulkan data dan alasan mengapa banyak yang minus? Ada bermacam-macam alasan: karena KB berhasil, jumlah anak sedikit, banyak sekolah ada di pedesaan yang secara finansial tidak menguntungkan, banyak sekolah lain yang bermunculan, dan sebagainya. Itu semua adalah faktor eksternal, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanakah dengan faktor internal? Faktor internal yang membuat sekolah minus adalah: citra sekolah yang menurun, baik soal kualitas pengajaran maupun personalianya, sangat terbatasnya dana untuk pembinaan maupun peningkatan sarana pendidikan di sekolah. Salah satu hal yang penting sebagai penyebab merosotnya sekolah adalah soal les privat terhadap muridnya sendiri.
Salah satu kebijakan yang dengan tegas kuterapkan adalah larangan les privat atas muridnya sendiri. Sudah banyak keluhan terhadap les privat yang seringkali menjadi suatu tindakan yang tidak terpuji. Les privat itu bila dikaji lebih jauh punya sisi negatif yang cukup banyak. Kegiatan itu bagaikan lingkaran setan yang saling terkait satu sama lain antara orang tua, guru, dan murid. Mengapa? Alasannya sebagai berikut:
Pada pihak orang tua
Pertama, banyak orang tua merasa sibuk bekerja untuk mencari nafkah, mereka merasa sudah berkorban waktu, tenaga, pikiran, dan tidak sempat memperhatikan dan mendampingi anaknya. Jalan yang mereka tempuh adalah membayar guru untuk memberi les di rumah. Orang tua merasa sudah banyak berkorban bagi anaknya dengan bekerja keras, padahal justru sebaliknya, banyak orang tua mengorbankan anaknya demi pekerjaan mereka.
Kedua, orang tua murid merasa sudah membayar guru, “membeli” guru dan dengan itu mereka merasa mempunyai hak untuk menuntut guru. Wibawa guru menjadi agak turun di mata mereka yang telah mengupahnya.
Pada pihak guru
Pertama, secara manusiawi person guru bsa berpikir, bahwa jika satu anak yang ikut les saja bisa memberikan income sekian puluh ribu rupiah, apalagi jika ada 10 atau 20 anak yang ikut, tinggal mengalikan saja.
Kedua, agar banyak yang ikut les maka person guru bisa membuat strategi dengan berbagai cara, yakni mengajarkan yang umum saja sedangkan yang lebih khusus akan diberikan pada saat les. Bisa juga sebaliknya, di kelas diajarkan yang sulit-sulit dan jika ingin tahu lebih cermat maka harus ikut les.
Ketiga, karena sudah dibayar oleh wali murid maka person guru sadar maupun tidak merasa dituntut. Dia merasa dituntut secara moral, bahwa anak yang diberinya les hasilnya lebih baik daripada yang tidak ikut les. Hal ini bisa memunculkan “kejahatan” terselubung dengan cara: sedikit atau banyak ada kemiripan maupun kesamaan antara bahan ulangan dengan materi les yang diterima murid sebelumnya. Jika itu gagal, bisa jadi ada guru yang nekat mengubah nilai yang bersangkutan. Ini sudah menyangkut ketidakjujuran dan ketidakadilan.
Keempat, guru telah secara tidak langsung membunuh murid yang sebenarnya pandai namun karena tidak ikut les menjadi kalah bersaing dan frustasi.
Pada pihak murid
Pertama, murid kurang mau memperhatikan pelajaran di sekolah karena merasa, bahwa nanti bisa tahu waktu ikut les. Murid meremehkan pelajaran dan gurunya.
Kedua, wibawa guru di mata murid yang bersangkutan juga turun karena mereka merasa bisa dan telah membayar guru, dengan membayar maka mereka merasa “membeli” sang guru.
Ketiga, murid merasa pandai karena nilai ulangannya baik, padahal mereka tidak merasa bahwa nilai akademis yang mereka terima itu sesungguhnya tidak mencerminkan kemampuan riil mereka. Ini pembodohan.
Aku percaya, sangat banyak guru yang setia dan jujur dengan profesinya. Namun, kecenderungan pada person tertentu utnuk bertindak tidak benar bisa selalu terjadi. Yang untung mungkin hanya guru tertentu, sementara yang dirugikan ada berbagai pihak yaitu guru-guru lain yang berlaku benar, sekolah dan anak didik. Kegiatan les privat terhadap muridnya sendiri sudah melenceng jauh dari sejarah tujuannya. Dahulu, les privat diberikan kepada murid yang agak ketinggalan dalam pelajaran agar bisa sejajar dengan yang lain. Sekarang justru sebaliknya, mereka yang ikut les adalah mereka yang notabene sudah pandai dan ingin lebih pandai dari yang lain dan biasanya anak-anak orang yang kaya dan mampu untuk membayar. Les atau pelajaran tambahan lebih baik diganti les klasikal untuk semua. Semua memperoleh pelajaran tambahan. Aku tahu resiko atas kebijakan yayasan yang kuberlakukan. Harus ada yang berani memotong jalur lingkaran yang tidak benar ini. Mungkinkah Anda mau berjuang untuk lurusnya dunia pendidikan? (dikutip dari “Dalam Teduh Mata-Nya”)
Yang mengenang masa sekolah,
JN. Rony
20020813
In memorian bpk. Suparman
Pertanyaan itu mungkin menjadi pertanyaan banyak orangtua atau mungkin seorang pemuda seperti aku π Kutanyakan begitu karena aku menilai semakin tahun, seorang anak (dalam artian ABG – Anak Baru Gede) ternyata saat ini jadi lebih cepat “gede”-nya.
Sadar atau tidak, itulah realita yang ada di sekitar kita. Di sisi yang tiap hari disorot oleh media, yaitu tawuran pelajar yang sudah berani pakai “alat bantu” seperti gobang, pisau, dsb. (entah ada yang bawa pistol atau tidak). Lalu, ditangkapnya anak-anak usia pelajar yang menggunakan narkoba, atau mungkin merampok, bahkan membunuh. Juga tak jarang diberitakan dijaringnya PSK (Pekerja Seks Komersial) yang masih berstatus pelajar. Semua itu mungkin tidak pernah terdengar di jaman “babe Harto” berkuasa (atau mungkin karena memang aku-nya yang gak update info :). Terlepas dari “problem” kasih sayang di keluarga mereka (yang disinyalir menjadi akar masalahnya), di sini terlihat bahwa ABG sekarang ini lebih berani untuk mencoba.
Nah, kuakui bahwa aku pribadi belum pernah terjuan secara langsung untuk melihat dengan mata kepala sendiri kasus-kasus di atas. Namun dari pengalaman pribadiku (yang mungkin bisa dikategorikan biasa-biasa saja), aku melihat bahwa memang ABG sekarang menjadi lebih “berbeda”. Mulai dandanan sampai tingkah laku. Sebagai eks Pramuka, aku dan teman-teman dulu mengganggap apa yang kami terima (ploncoan, maksudku) adalah bagian yang wajib kami terima dalam melatih mental, tentunya masih dalam batas kewajaran (kadang rada melenceng dikit :), karena saat ini pun kami merasakan bahwa kami punya “rai beton cor-coran” (muka tebal banget) dalam menghadapi situasi yang mungkin sudah bisa menciutkan hati orang lain. Mental lebih terbangun. Namun, dalam acara pramuka belakangan yang kami hadiri (sebagai alumnus), kami lihat anak-anaknya selain bertambah sedikit peminatnya untuk ikut organisasi ekstern (pramuka, pecinta alam, pmr), mereka juga sudah “tidak tahan” bila diperlakukan “kurang adil”. Terbukti pernah anak yang saking keras kepalanya berani minta pulang saat kita kemping di hutan Coban Rondo (edan gak?). Lalu sebagai panitia kemping rohani aku pun kembali “trenyuh” melihat tingkah polah anak-anak ABG (seusia SMP-SMA) yang menurutku sudah sangat berani, di antaranya merokok, tidak takut lagi sama para suster di pertapaan, tidak lagi menghargai orang yang lebih tua. Hal itu terlihat saat session, mereka sibuk bicara sendiri, bahkan ada yang sibuk pacaran sambil rangkulan! (gila bo!). Sebuah pemandangan yang mungkin tidak terlihat 7 tahun yang lalu saat aku pertama kali ikut kemping rohani.
Dari segi gaya hidup, aku pun menyoroti banyak hal yang mungkin terasa sebagai pemandangan biasa. Contoh paling simple, semakin banyaknya anak SMP yang bawa kendaraan sendiri (entah itu motor atau mungkin mobil). Saya kurang tahu, apakah memang peraturan untuk membuat SIM itu sudah diganti, bukan lagi minimal 16 tahun untuk SIM C dan 17 tahun untuk SIM A? Memang jaman aku masih SMP sudah ada beberapa teman yang bawa motor sendiri, namun itu masih sedikit sekali. Lalu barang “mewah” yang sekarang sudah tidak mewah lagi, yaitu HaPe. Aku begitu kagum melihat bahwa anak SD sekarang pun sudah bawa HP sendiri! Tipe canggih lagi, bukan seperti milikku yang modelnya kayak badut gendut π Begitu pula dandanan, wow! Untuk yang satu ini, sebagai pria normal… aku turut menikmati pemandangan menarik pula :p Namun yang kembali bikin aku “miris”, yaitu trend yang membuat ABG-ABG ini menjadi ingin ber-harga diri yang lebih tinggi. Bayangkan, anak tetanggaku yang baru masuk SMP dan kebetulan SMP-nya adalah SMP favorit tempat kumpulnya anak-anak konglomerat, TIDAK MAU diantar-jemput lagi oleh papanya dengan sepada motor… alasannya: semua temannya naik mobil. Dia lebih memilih ikut mobil teman daripada naik motor (padahal menurutku nunut itu lebih “mbambung” ketimbang naik motor sendiri atau naik bemo/becak :). Untung dia punya mobil, kalau tidak? Lalu, belakangan aku dengar dia mulai merengek minta dibelikan HaPe karena satu kelasnya yang belum punya HaPe tinggal 2-3 orang saja (termasuk dia). Dan hebatnya, gak tanggung-tanggung mintanya… Nokia (serinya lupa) yang harganya 3-4 jutaan. Lalu, kalau mengingat aku dulu saat sekolah, kalau naik kelas atau lulus… biasanya kelas/sekolah mengadakan rekreasi/wisata ke villa di Tretes, Batu, Malang, atau paling jauh ke Bali ama Jakarta. Tapi barusan seorang teman mamaku, yang anaknya kebetulan sekolah di Ciputra (tempat orang borju ngumpul :), anaknya yang barusan naik kelas 2 SMP… sekolahan mengadakan tour ke Cina bo! Jujur aja aku sampe terkagum-kagum… wowwww…
Entah apa lagi yang saat ini lagi trend di kalangan ABG. Mungkin aku yang sudah jadi orang kuno dan layak di-museum-kan, mungkin pula aku terlalu mengkritik… bahkan mungkin aku mengeluh karena iri, dulu aku tidak begitu :p Tapi yang jelas, aku mempertanyakan karena aku semakin miris dengan perubahan yang amat sangat drastis ini. Bila memang hal-hal itu bisa membuat para ABG itu menjadi lebih berguna kelak, aku sich oke saja, tapi kalau trend itu malah menjadi bumerang dan merusak mereka? Aku hanya bisa terdiam…
JN. Rony
20020808
yang pernah jadi ABG brengsek
Frustrasi, itulah yang sering kita dengar, ucapkan, dan alami. Frustrasi digambarkan sebagai sebuah keadaan dimana orang yang mengalaminya seakan-akan sudah tidak punya harapan lagi untuk menghadapi segala sesuatu. Penyebabnya bisa bermacam-macam seiring pula dengan tindakan dan akibat yang ditimbulkan. Orang bisa melakukan apa saja bila frustrasi, padahal kalau dipikir orang bisa frustrasi karena mengalami jalan buntu, tapi kenyataannya “ide kreatif” bisa muncul saat itu. Entah ada atau tidak, orang yang frustrasi bisa membuat sebuah terobosan dengan “ide kreatif”-nya yang disalurkan secara positif. Namun yang terbanyak tentunya “ide kreatif” itu kemudian disalurkan pada hal-hal yang negatif.
Kejahatan-kejahatan yang ada di sekitar kita, kebanyakan tak lepas dari sikap frustrasi dari pelakunya. Entah itu butuh uang untuk membayar hutang, sampai butuh uang hanya untuk beli makan/minum. Frustrasi pun bisa menimbulkan korban jiwa, seperti orang yang membunuh saingannya atau orang tua yang membunuh bayinya karena belum menghendakinya (tapi kebobolan dulu), bahkan orang yang membunuh dirinya karena merasa tak kuat menjalani hidup.
Kenapa frustrasi bisa sampai terjadi? Tentunya kita harus melihat kembali pada diri sendiri dan lingkungan di sekitar kita. Lingkungan di sekitar kita dapat menjadi faktor yang dominan dalam menciptakan frustrasi. Tuntutan kerja/organisasi, kondisi perekonomian/perdagangan yang lesu, sikap yang kurang bersahabat dari orang-orang sekitar kita, dan lain sebagainya. Hal itu membuat kita seakan-akan “tidak diterima” di lingkungan itu. Bila dibiarkan terus, maka timbullah frustrasi tadi. Diri sendiri pun bisa membuat kita frustrasi, mungkin karena kita terlalu menekan dan men-target diri untuk mencapai hal-hal yang terlalu tinggi atau mungkin karena kita senantiasa menjalani hidup ini hanya untuk dan oleh diri kita tanpa mau membantu/dibantu orang lain. Pada titik tertentu, target yang terlalu tinggi akan menimbulkan sebuah kejenuhan/kekecewaan apabila kita tak berhasil menggapai target itu. Berjalan sendiri tanpa bersama orang lain pun suatu saat akan menimbulkan sebuah kekosongan diri, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Repot khan? Manusia adalah makhluk sosial, tapi masih bisa frustrasi karena bersama orang lain.
Entah apakah sekarang ini sudah menjadi trend atau tidak, tapi frustrasi saat ini diwujudkan dalam cara-cara yang “unik” dan semakin beragam. Penyebabnya pun semakin sepele (tapi pada prinsipnya semua masalah itu sepele, tinggal kita melihat dari kacamata mana). Kalau dulu orang mungkin akan frustrasi dan bunuh diri karena terlilit hutang sekian juta, tapi sekarang malah terbalik… yang hutang sekian milyar malah santai-santai, sedangkan yang cuma hutang sekian ratus ribu bisa bunuh diri atau bahkan menjual diri. Sering di surat kabar dijumpai orang membunuh tetangganya hanya lantaran tetangganya menggoda (dengan ucapan) istrinya. Bahkan pernah di televisi dikabarkan seorang anak membunuh seluruh keluarganya hanya lantaran keinginannya tidak dituruti. Di kalangan remaja pun frustrasi tak kalah heboh. Cinta ditolak, dukun pun bertindak, begitulah “sindiran” (atau mungkin motto?) yang sering dipakai. Aborsi pun bagai jamur di musim hujan, lantaran banyak pasangan muda yang sebenarnya belum (bahkan tidak!) siap berumah tangga, namun ingin “test drive” dulu. Hasilnya? Kondom bocorpun dijadikan alasan dan segala jenis pengguguran dicoba. Lalu, pernah juga dikabarkan bahwa sepasang remaja memilih mati berdua, hanya lantaran hubungan mereka tidak disetujui oleh orangtua. Masih banyak lagi contoh-contoh frustrasi yang kini tengah menghinggapi banyak orang.
Lalu bagaimana biar tidak frustrasi? Ya jangan mau frustrasi! Maksudnya, selama kita sadar dan tidak membiarkan diri kita terbawa dalam arus ke-frustrasi-an itu, maka tentunya kita bisa mengubah sebuah ke-frustrasi-an menjadi sebuah peluang. Kesadaran bahwa kita sebagai manusia yang lemah dan serba terbatas bisa menjadi obat yang mujarab agar kita tidak tertekan. Yang paling utama adalah mau menghadirkan Tuhan (dalam agama apapun yang kita yakini) ke dalam setiap langkah kita. Menyertakan-Nya dalam setiap karya dan karsa kita, bisa membuat beban kita berkurang. Apa yang kita lakukan tentunya tidak akan terwujud bila Ia tidak menghendakinya. Selain itu, teman atau sahabat bisa menjadi “tempat sampah” yang baik pula bagi segala keluh kesah kita. Mengeluh tidak selalu berarti kita menyerah begitu saja. Mengeluh kadang mengingatkan bahwa kita ini lemah dan kadang itu perlu untuk memacu kita untuk berani melangkah maju. Menjalani hidup dengan apa adanya membuat kita semakin ringan dan tak berbeban, melakukan apa yang bisa dilakukan pada hari ini dan bukan menundanya sampai besok, berpikiran positif akan segala sesuatu, serta memelihara rasa humor dalam diri kita (bahkan perlu sekali-kali mentertawakan diri sendiri) bisa menjadi obat awet muda dan obat sakit kepala yang manjur.
Frustrasi memang bisa menjangkiti setiap orang, bahkan Yesus pun pernah frustrasi di atas kayu salib, namun Ia pun menyerahkan semuanya pada Bapa di Surga. Frustrasi adalah sebuah proses yang tidak bisa dihindari, tinggal bagaimana kita mengolahnya dan membuatnya menjadi sebuah kemenangan. Sanggupkah kita menghadapi frustrasi?
“Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Masih banyak teman-temanku di sini menemaniku. Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Wajahku juga gak jelek-jelek amat, banyak yang mau. Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Paling-paling juga kalau kamu mentok, balik padaku.” – Shaden
Be Optimist!
JN. Rony
20020720