Mempersiapkan jalan bagi Kristus, itulah ungkapan yang diberikan bagi Yohanes Pembaptis dalam Injil, yang juga dipakai pada masa kini bagi orang-orang yang mewartakan Kabar Gembira, Kabar Keselamatan, dsb. Bila melihat jaman Yohanes Pembaptis dan pewarta jaman modern ini seakan melihat 2 sisi dunia yang berbeda, namun keduanya mempunyai misi yang sama, yaitu mengenalkan Allah dalam diri Yesus Kristus kepada orang-orang yang belum mengenal-Nya atau menyadarkan orang-orang yang telah berpaling dari Tuhan atau bisa juga meneguhkan orang-orang yang dengan setia melayani dan mengikuti Jalan Tuhan.
Ada teori, di dunia ini tidak ada yang sama persis (Itulah kehebatan Tuhan!). Bila ungkapan ini mau dikaitkan dengan keberadaan 2 dunia yang berbeda di atas, maka akan jadi seperti ini: bila di jaman Yohanes Pembaptis, menyiapkan jalan bagi Tuhan itu harus bermati raga di padang gurun, makan belalang, berpakaian dari kulit binatang; maka di jaman modern ini seorang pewarta mungkin bisa dikatakan lebih “enak” dan “nyaman” ketimbang Yohanes, karena bisa naik motor/mobil, pakai baju bagus bahkan berdasi, hidup di alam perkotaan atau sekalipun di desa, tetaplah tidak lebih gersang ketimbang padang gurunnya Yohanes, dsb. Namun tentunya yang perlu dilihat adalah misi dan visi yang diemban oleh masing-masing individu pewarta tersebut, sebab tiap masa atau jaman punya budaya tersendiri.
Menjadi seorang “pelopor” seperti Yohanes Pembaptis mungkin menjadi pilihan bagi beberapa orang yang ingin mengabdian dirinya bagi kemuliaan Tuhan, tentunya dengan cara mereka masing-masing: entah sebagai seorang pastor, suster, bruder, selibat awam, aktivis orka, dsb. Memang tanpa disadari kita telah menjadi Yohanes-Yohanes masa kini saat kita menerima baptisan Katolik yang kemudian diteguhkan dengan Krisma yang kita terima. Namun, pertanyaannya adalah: apakah kita mau menjalani peranan kita sebagai “pelopor” atau tidak?
Menjadi seorang pelopor tidaklah mudah. Seringkali kita ingin menjadi seorang aktor ketimbang seorang pemeran pengganti. Padahal bila mau melihat di balik layar sebuah film, tentunya yang hebat bukanlah aktornya, melainkan pemeran penggantinya. Jackie Chan yang katanya selalu memerankan aktingnya sendiri pun pasti suatu saat memerlukan pemeran pengganti. Namun perlu diakui pula segala kehebatan pemeran pengganti mau tak mau pasti tertutupi oleh ketenaran seorang aktor. Aktorlah yang dilihat oleh penonton. Tapi mengapa Yohanes memilih jalan yang “tidak tenar” padahal dia punya kesempatan untuk jadi aktor seperti Yesus? Bukankah saat itu Yesus belum muncul ke “permukaan”? Sebuah misteri seorang Yohanes Pembaptis yang patut kita teladani… misteri kerendahan hatinya.
Kembali kita lihat sosok “pelopor” masa kini. Kita coba pertanyaan yang paling dasar, apakah “aku” mau menjadi seorang pelopor seperti Yohanes? Kemudian kita telusuri lebih dalam, apakah motivasi-“ku” menjadi seorang pewarta? Apakah “aku” sebagai seorang pewarta benar-benar telah menjadi rendah hati seperti Yohanes, teladan para pewarta? Apakah “aku” bisa menerima kalau ditinggalkan saat yang kuwartakan datang? Jawaban itu ada pada diri kita masing-masing.
Menjadi seorang pewarta adalah tugas yang diberikan pada kita. Menjadi seorang pewarta bukanlah agar kita menjadi besar di hadapan Allah. Menjadi seorang pewarta tidaklah berarti kita mendapat tempat yang istimewa dalam Kerajaan Allah. Menjadi seorang pewarta harus siap untuk ditinggalkan seorang diri. Dan Yohanes Pembaptis menyadari semuanya itu! Yesus berkata: “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar dari padanya.” (Mat 11:11) Siapkah aku?
Terinspirasi Minggu Advent III
JN. Rony
20011216
yang sedang mencari jati diri
Siang itu seperti biasanya aku bekerja di pastoran untuk membuat warta paroki mingguan. Di tengah asyiknya yang disertai dengan agak terburu-buru karena waktu yang mepet, konsentrasiku sedikit terganggu oleh suara-suara dari anak-anak yang berlarian di halaman pastoran. Mulanya tidak begitu kuhiraukan karena aku harus menyelesaikan warta itu dalam waktu kurang dari 1 jam. Yang aku tahu ada beberapa anak SD sedang bermain di halaman bawah yang kelihatan dari jendela ruangan tempat aku menggerakkan mouseku.
Lama-kelamaan aku mendengar suara-suara itu semakin ramai saja. Dengan enggan kutengokkan kepalaku untuk melihat kegiatan mereka. Ternyata mereka yang tadinya beberapa, sekarang sudah semakin banyak, mungkin sekitar 20-30 anak. Tiba-tiba kuteringat masa kecilku, dimana aku pun bermain seperti mereka, berlari, berteriak, pokokya bermain sepuas hati. Kucoba melihat permainan apa yang sedang mereka lakukan, ternyata mereka sedang bermain sandiwara. Ya, bermain sandiwara memang cukup populer di kalangan anak-anak seusia SD, demikian pula aku dulu. Yang agak aku herankan, ternyata cukup banyak suara anak-anak laki yang turut serta dalam permainan itu. Lalu kudengar ada sekelompok anak-anak laki sedang merencanakan permainan mereka sendiri, jumlah mereka kurang lebih 10 orang anak. Mulanya aku berpikiran bahwa mereka akan melakukan permainan yang umumnya dimainkan oleh anak laki-laki, tapi alangkah kagetnya aku! Dari teriakan-teriakan mereka terdengar bahwa mereka sedang merencanakan permainan sandiwara kisah sengsara Yesus! Ouw… sungguh sebuah permainan yang tak lazim dimainkan oleh anak-anak. Diselingi dengan instruksi dari seorang anak, mereka memerankan peristiwa Yesus saat disiksa dan dimahkotai duri.
Sejenak aku terdiam dan berhenti dari pekerjaanku. Aku sungguh heran, di saat permainan anak-anak semakin canggih, ternyata masih ada anak-anak yang berusaha menghayati iman yang mereka bawa dalam permainan mereka. Di tengah maraknya playstation, game komputer, internet, film kartun, dan masih banyak hiburan yang menarik di mal-mal ternyata mereka masih ingat akan iman mereka. Mungkin kita pun bisa belajar dari anak-anak itu. Samar-samar seakan kumendengar Yesus berkata, “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.”
JN. Rony
20010925
yang ingin kembali jadi anak-anak
Menjadi seorang katolik adalah “cita-cita” Nico sejak kecil, sebuah keinginan terpendam sejak Nico mengenal gereja dan ritus misa sewaktu belajar di Sekolah Dasar. Begitu kagum dan mungkin mayoritas murid di SD adalah Katolik (maklum SD Katolik sich) maka Nico pun menyimpan erat-erat keinginannya untuk bisa menjadi “satu dari antara mereka” yang bisa menerima hosti… saat itu begitu bangganya diri Nico bila membayangkan bisa maju dan menerima komuni. Keinginan terpendam itupun tercapai sudah saat Nico dibaptis dan menerima komuni pertama saat kuliah. Sesbuah perjalanan panjang, sehingga Nico begitu senang dan iapun menjadi lebih giat lagi ke gereja serta mulai aktif di organisasi katolik serta mengikuti acara-acara rohani katolik. Apalagi saat itu sedang hangat-hangatnya gerakan karismatik di kalangan muda-mudi. Tak terasa Nico pun mulai mempelajari perihal iman katolik dari buku-buku dan bertanya serta berdiskusi dengan orang-orang yang dianggapnya mengerti.
Akibat kebiasaan ini, Nico sering dijadikan semacam “kamus berjalan” alias tempat bertanya oleh teman-temannya perihal sesuatu yang menyangkut iman katolik, mulai dari hal yang kecil sampai yang sulit-sulit… ada kalanya Nico bisa menjawab pertanyaan mereka, ada kalanya juga tidak bisa menjawab dan hal ini biasanya menjadi semacam PR buatnya, sehingga untuk menghilangkan rasa penasarannya, maka Nico pun segera mencari tahu penjelasan dari pertanyaan sulit itu. Namun, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan itu, Nico sering menjawab dengan, “menurut bukunya romo ini, tertulis…”; “menurut suster itu, katanya…”; “katanya pak/bu itu, harus begini… harus begitu…”; “kalau tidak salah, aku pernah dengar/lihat kalau itu seharusnya begini… begitu…”; dan masih banyak segudang jawaban yang diberikan Nico berdasarkan referensi yang pernah diperolehnya lewat buku ataupun lewat diskusi dengan romo/awam, bahkan ada juga yang hanya dari kejadian sesaat yang dilihat atau didengarnya.
Seperti halnya Nico, kita pun seringkali menjalani kehidupan iman katolik kita dengan referensi atau “kata orang” saja. Seringkali kita tidak menyadari bahwa menjadi seorang Katolik tidak cukup hanya dengan dibaptis, menerima komuni setiap minggu, mengaku dosa setahun minimal 2 kali, atau syukur-syukur bisa menerima sakramen krisma. Kita lebih sering mengimani iman Katolik kita melalui buku, melalui kata romo kita, kata teman kita, dsb. Kita cenderung untuk mengupas iman kita sampai kulitnya saja tanpa mau merasakan sendiri bagaimana rasa dari isi iman itu sendiri… kita lebih suka mencari amannya. Bila kata orang enak, maka saya akan mencobanya… bila tidak, ya berarti saya selamat karena tidak ikut merasakan susahnya. Dalam beriman kita cenderung membebek apa yang kita dengar atau kita lihat. Memang, tidaklah salah bila kita mencari tahu perihal iman melalui buku atau referensi dari berbagai sumber. Namun, sekiranya hal itu perlu dibarengi dengan penghayatan kita. Akan percuma bila kita mengetahui segala sesuatu tentang iman, tapi kita tidak mengimaninya dalam kehidupan sehari-hari kita. Bila demikian, kita hanya akan seperti orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang hanya bertindak saleh untuk dipuji orang lain.
Mengimani secara sungguh apa yang kita lihat dan kita dengar serta kita alami dalam hidup beriman adalah lebih penting dan lebih berharga daripada seluruh fakta yang ada di sekitar kita. Dengan kata lain, bisa jadi apa yang dikatakan orang lain itu berbeda dengan pengalaman iman kita. Mengapa bisa demikian? Sebab ini masalah iman dan iman itu hanya bisa dirasakan oleh masing-masing orang yang mengimaninya. Dalam Injil saja, terdapat beberapa versi “kata orang” tentang siapakah Yesus itu. Ada yang bilang Yohanes Pembaptis, ada yang menjawab Yeremia, ada yang mengatakan Elia, ada juga yang berkomentar salah satu dari para nabi (Mat 16:14). Nah, manakah yang benar? Seandainya kita sedang bersama-sama dengan Yesus, sedang makan dan minum bersama Yesus, sedang bercakap-cakap dengan Yesus, apakah kita akan percaya dan berpendapat sama dengan yang dikatakan oleh orang-orang itu? tentu tidak bukan? Bagaimana mungkin kita yang sudah mengenal siapakah Yesus saat kita berjalan, makan dan minum, berbincang denganNya akan mengatakan Yesus adalah orang lain? Sudah selayaknyalah bila kita dekat dengan Yesus kita akan menjawab seperti Simon Petrus, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat 16:16).
Marilah kita mulai menghayati apa yang kita imani, bukan hanya menjadi pengetahuan otak kita saja, melainkan kita mau menjadikan sebagai pengetahuan hati kita. Dengan demikian, apa yang kita imani ini dapat menjadi semakin sempurna dan segala kemuliaan dapat dikembalikan hanya kepada Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus, seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang segala abad. Amin!
Selamat HUT ke-21 PDMPKK St. Petrus Paulus! Semoga Tuhan memberkati pelayanan kami.
JN. Rony
29 Juni 2001
Hari Raya Santo Petrus dan Paulus