Suatu kali Joko dimintai tolong untuk mempersiapkan suatu acara pesta. Dengan berbekal sedikit petunjuk, maka Joko bersama dengan teman-teman yang lain mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan agar pesta itu dapat berlangsung dengan baik. Pada saat itu, Joko begitu bersemangat sekali dalam mewujudkan segala rencana yang telah disusun, Joko berusaha memberikan yang terbaik, Joko ingin agar namanya tercatat sebagai penyumbang tenaga dan pikiran dengan porsi terbesar sehingga acara tersebut dapat berlangsung. Ditanamkannya dalam otak bahwa tanpa aku, semua rencana itu pasti tidak akan terwujud.
Namun, apa yang terjadi? Ternyata pada hari H-nya, seakan-akan nama Joko hilang ditelan oleh kemeriahan acara. Semua orang sudah tidak lagi menghiraukan bagusnya hiasan, tidak memuji melihat bagusnya panggung, tidak berdecak melihat bagusnya dekorasi, bagusnya apa saja… mereka semua lebih terlihat memuji para pemain yang tampil, memuji idola mereka. Joko dan teman-teman yang lain yang telah bekerja keras untuk mewujudkan pesta tersebut dari segi perlengkapan seakan tak pernah ada dan nama-nama mereka seakan tak pernah terlintas dalam pikiran para penonton yang hadir. Entah kenapa, hati Joko sungguh sakit… hatinya sungguh kecewa… Joko bertanya dan bertanya terus, mengapa? Apakah kerja kami kurang bagus? Apakah hasil kerja kami kurang sempurna? Hati Joko sungguh hancur…
Dalam hidup, sering pula kita mengalami hal yang sama. Kita telah bersusah payah mengerjakan sesuatu, namun yang dipuji adalah orang lain. Kita sebagai pendahulu sebuah pekerjaan sering dilupakan dan kejayaan kita digantikan oleh orang yang mengakhir pekerjaan kita. Kita pun sering protes, kita sering tidak terima karena kita dilupakan. Kita merasa bahwa tanpa kita maka acara tidak dapat berlangsung, tanpa kita pekerjaan tidak dapat selesai, tanpa kita sebuah organisasi tidak dapat berjalan dengan baik.
Hari ini Tuhan menegur lewat sabdaNya. Kelahiran Yohanes Pembaptis mencelikkan mataku. Yohanes telah diutus mendahului Tuhan Yesus untuk mempersiapkan jalan bagiNya. Yohanes telah diutus mendahului agar mempersiapkan dunia untuk menyambut putra Allah yang akan berkarya… Dengan kata lain, Yohaneslah yang membuat fondasi iman dan Yesus tinggal menerima buah-buah dari pekerjaan Yohanes. Lalu, apakah Yohanes protes? Apakah Yohanes sakit hati ketika murid-muridnya pergi meninggalkan dia dan mengikuti Yesus? Apakah Yohanes marah karena seketika Yesus muncul, namanya sudah dilupakan oleh orang banyak?
Tidak! Justru Yohanes begitu bangga bahwa dia dapat mempersiapkan jalan bagi seorang penebus. Dia begitu bangga dapat mengumpulkan murid-murid untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Bahkan dengan terang-terangan Yohanes berkata pada para pengikutnya, “Aku bukanlah superstar yang kalian tunggu… Superstar itu akan datang setelah ini dan aku tidak ada apa-apanya” (Kis 13:25)
Yohanes Pembaptis menyadari bahwa panggilannya bukanlah untuk menjadi bintang utama, melainkan hanya sebatas tukang dekorasi saja… Yohanes menyadari bahwa tugasnya bukanlah untuk menjadi aktor di panggung, melainkan hanyalah sebagai tukang yang mempersiapkan panggung. Yohanes menyadari bahwa keahliannya bukanlah menjadi sang tokoh, melainkan hanya mempersiapkan karpet merah sebagai jalan bagi sang tokoh. Dan itu diterimanya dan dikerjakan dengan penuh syukur!
Sering memang, orang lebih memilih menjadi Yesus ketimbang Yohanes. Orang lebih ingin jadi aktor utama (terkenal) daripada hanya menjadi aktor pengganti (dilupakan). Orang lebih memilih menjadi pemain cadangan (bermain di lapangan) daripada jadi pemain cadangan (sering tidak dimainkan). Orang lebih memilih menjadi bos (dikenal) daripada menjadi anak buah (tidak dikenal).
Peran Yesus ataupun peran Yohanes, keduanya sama-sama penting. Tanpa Yesus… apa yang dikerjakan oleh Yohanes rasanya tidak ada artinya. Sedangkan tanpa Yohanes, rasanya karya Yesus juga tidak akan berjalan baik, bahkan tidak mungkin tidak ada. Yohanes telah dipilih sejak dari kandungan untuk mempersiapkan karya Yesus. Satu yang membedakan dengan kasus Joko, yaitu Yohanes sadar bahwa apa yang dikerjakannya bukanlah untuk dirinya, melainkan untuk orang lain yang akan menggunakan “hasil karyanya” itu. Dengan penerimaan diri itulah Yohanes tetap menganggap apa yang dikerjakannya tak akan sempurna tanpa kehadiran Yesus. Dengan pemahaman diri itulah Yohanes mampu bersyukur dalam segala langkahnya, walaupun tahu nantinya dia akan dilupakan saat Yesus muncul.
Hidup bermasyarakat ini seperti sebuah kereta yang punya empat rodanya. Sebuah kereta akan berjalan dengan baik apabila keempat rodanya bundar semua dan dapat berputar dengan baik. Bila kita bisa menjalankan hidup ini seperti kereta dengan empat roda yang baik, maka hidup akan penuh dengan warna. Namun, jika salah satu roda di kereta rusak/patah, maka tentunya hidup tidak akan berputar dengan baik. Itu artinya roda depan dan belakang saling mendukung satu sama lain. Tidak bisa roda belakang ingin mendahului roda depan. Semua telah punya posisi masing-masing dan semuanya PENTING. Tidak ada satu roda yang lebih penting dari roda yang lain. Roda depan tidak lebih istimewa daripada roda belakang.
Sekarang bagaimana dengan kita? Apakah kita mampu untuk menerima posisi kita yang mungkin lebih rendah dari orang lain? Apakah kita mampu untuk menghargai pekerjaan kita yang mungkin hanya di belakang layar? Apakah kita mampu memahami talenta kita sendiri? Injil telah memberi kita pilihan, bila kita dipanggil menjadi Yohanes, apakah kita akan tetap jadi Yohanes ataukah kita memaksa menjadi Yesus?
JN. Rony
24 Juni 2001
Hari Raya Kelahiran Santo Yohanes Pembaptis
Dunia per-film-an kembali mendapat satu tontonan apik. Judulnya “Man Of Honor”, manusia dengan sebuah kehormatan. Di film tersebut diceritakan seorang negro, Carl Breshier (diperankan oleh Cuba Gooding, Jr.) yang berbekal didikan “keras” dari ayahnya yang tidak ingin anaknya bernasib sama seperti dia yang hanya seorang buruh upahan penggarap ladang. Singkat cerita, Carl ini masuk ke dalam dinas ketentaraan Angkatan Laut. Pada masa itu masih terjadi pembedaan ras antara kulit putih dan kulit hitam. Kelompok negro hanya mendapat porsi sebagai koki atau penyemir sepatu. Untuk berenang saja dipisahkan harinya dengan para awak kapal kulit putih. Carl dengan segala keberanian dan tekatnya berhasil “mengambil hati” dari atasannya dan ia dimasukkan sebagai anggota tim perenang penyelamat. Dari posisi barunya ini ia “terpikat” oleh Master Chief Sunday (Robert DeNiro), seorang kepala tim penyelam penyelamat. Dengan berbekal tekat baja warisan ayahnya, ia berhasil masuk ke pusat pelatihan (yang kebetulan dikepalai oleh Sunday) dan menjadi satu-satunya negro di sana. Dibenci, dijauhi, dihalang-halangi, dihina, dan semua yang jelek-jelek sudah menjadi makanannya tiap hari di tempat itu. Penghibur satu-satunya adalah masih ada seorang kulit putih bernama Snowhill yang mau berteman, sekamar, dan membantu dia. Tak terasa tahun pun berlalu dan tibalah Carl pada ujian akhir dan berbekal tekatnya menjadi seorang “Master Chief” – jabatan bergengsi sebagai penyelam utama, dia berhasil melampaui tes itu walaupun dia sengaja ingin digagalkan dengan cara yang licik. Akhirnya dia pun dapat bertugas, namun sayang kakinya mendapat kecelakaan saat hendak menyelamatkan 2 orang awak kapal. Impiannya menjadi “Master Chief” pun sempat hancur sebelum niatnya itu dibangun kembali oleh Sunday yang menaruh simpati padanya. Berbekal tekat pula, dia meng-amputasi kaki kirinya yang cedera dan mulai berlatih untuk bisa masuk kembali dalam kesatuan penyelamnya. Halangan pun kembali melekat padanya sampai akhirnya dia harus maju ke sidang untuk membuktikan bahwa dia bisa menjadi penyelam walau buntung. Persyaratan yang harus dijalani adalah berjalan 12 langkah saja dengan menggunakan baju selamnya, yang menurut banyak orang adalah hal yang tidak mungkin mengingat kaki palsunya yang tidak akan mampu menahan beban baju selam yang begitu berat. Dengan dukungan moral dari sang mantan “Master Chief” Sunday, dia melangkah satu demi satu dan berhasil memenangkan “pertarungan” di pengadilan itu. Dia boleh bertugas kembali dan baru 9 tahun kemudian pensiun. Dia menjadi orang negro pertama yang menjadi “Master Chief” di Angkatan Laut AL. Dikatakan oleh Carl, bahwa semua itu dilakukan dengan satu tekat, yaitu kehormatan sebagai seorang Penyelam Angkatan Laut.
Kita coba melihat pribadi Yesus dalam diri Carl ini. Bila Carl harus memulai sebagai negro miskin dan menjadi koki di kapal … maka Yesus, mulai awal kedatanganNya ke dunia ditolak orang sehingga harus lahir di sebuah kandang. Bila Carl mengalami masa-masa pahit di kamp pelatihan, dibedakan haknya dengan orang kulit putih, maka Yesus dan pengikutNya pun sering dianggap “gembel” karena bergaul dengan para pendosa. Yesus bagaikan seorang negro. Lalu saat Carl mulai menempati posisi sebagai penyelam setelah lulus dan mulai terkenal, sama halnya dengan Yesus yang saat berkarya mampu menarik simpati banyak orang. Hingga tiba saatnya Carl mengalami musibah… saat kakinya nyaris putus… ia mulai “disingkirkan”, sama seperti Yesus yang harus “diusir” dari desanya akibat ketidakpercayaan mereka mengingat “masa lalu” Yesus sebagai anak tukang kayu. Tekat Carl yang kembali dibangun dan berlatih bisa menggambarkan Yesus saat disambut dengan begitu meriah di Yerusalem dan saat Carl harus menjalani 12 langkah maut dalam pengadilan… adalah Jalan Salib Yesus ke bukit Golgota… Pada akhirnya, Carl bisa menang menjadi “Man Of Honor”… demikian pula dengan Yesus yang bisa memenangkan “pertarungan” dan menyabet “The Great Honor”.
Kita bisa lihat betapa perjuangan Carl yang begitu berat sanggup dilewatinya hanya oleh karena pesan dari ayahnya, yaitu “Jangan Pernah Menyerah”; demikian pula Yesus yang taat dan setia sampai mati hanya karena menjalankan perintah BapaNya. Maka tidaklah salah bila ayah Carl mengukirkan “ASNF” di kotak radio bututnya, yang berarti “A Son Never Forget” – seorang anak yang tak terlupakan. Demikianlah Yesus yang juga “A Son Never Forget” bagi Bapa di Surga dan kita di dunia…
Pertanyaannya, sanggupkah kita menjadi seorang Carl Breshier dalam kehidupan kita ? Atau mungkin lebih tepat jika kita bertanya, maukah kita menjadi seorang Carl Breshier ? Bila jawabannya adalah YA, maka bila kita bercermin… kita telah melihat Yesus sendiri ada di depan kita!
Ad Maiorem Dei Gloriam!
JN. Rony
20010520
Barusan aku selesai menonton The 6th Days-nya Arnold “Suasanaseger” bersama beberapa “teman kencan” π
Film ini berkisah tentang keinginan manusia untuk menjadi “Tuhan” dengan cara mengembangkan teknologi CLONING yang telah berhasil diterapkan pada DOMBA yang diberi nama DOLLY. Nah, setting film ini diarahkan pada keinginan untuk mencapai lebih, yaitu diuji coba pada manusia dan digambarkan tidak mendapat pesetujuan dari pemerintah dan cloning manusia dianggap sesuatu yang illegal.
Kisah ini bertutur tentang salah cloning dari Arnold yang berperan sebagai Adam yang mempunyai persewaan helikopter untuk mengantar orang bermain ski salju. Adam sewaktu pulang begitu kagetnya mendengar suara nyanyian “happy Birthday to you…” padahal dia belum masuk ke dalam rumah (mungkin dia mikir… mau ngagetin orang, kok pake latihan segala?) dan ketika dia ngintip di jendela, betapa kagetnya dia melihat DIRINYA sendiri! Action demi action pun mulai berjalan seperti khas filmnya Arnold. Ide ceritanya mungkin mirip2 dengan film “Total Recall”.
Yang perlu kita lihat adalah betapa manusia itu serakah dengan kekuasaan, sehingga dia tidak mau menerima kematian dirinya dan kemudian meng-cloning dirinya sendiri untuk bisa tetap memegang kekuasaan tersebut. Apa yang diperbuat oleh Tuhan pada hari ke-enam, yaitu menciptakan Adam dan Hawa, “dibajak” alias “ditiru” dengan menggunakan rekayasa genetika, bahkan lebih cepat dari Tuhan, hanya membutuhkan waktu kurang lebih 1/2 jam! Tuhan sudah tidak ada artinya lagi… karena proses cloning ini menjanjikan bahwa orang yang di-cloning itu akan SAMA PERSIS baik sifat dan perilakunya seperti ASLINYA…. bayangkan!
Coba kita bayangkan, bila memang cloning ini diterapkan secara masal pada manusia… apa yang akan terjadi? Mungkin dunia akan berisi dengan orang-orang yang sama terus… dunia film takkan kekurangan Arnold, Cindy Crawford, bahkan sampai Dede Yusuf, Jihan Fahira! Dunia musik pun takkan kehilangan BeeGees, Elton John, Celine Dion, sampai pada Koes Plus, dan Joshua! Dunia olah raga akan mengalami kejayaan Frans Beckenbauer, Eric Cantona, sampai pada Bejo Sugoantoro dan Anang Ma’ruf! Apalagi? Mungkin presenter Family 100 akan tetap Sonny Tulung dan Sonny Setiawan, presenter Apa Ini? Apa Itu? akan tetap Jeffry Waworuntu… Apakah kita akan senang? Mungkin pada awalnya kita akan begitu senang melihat idola2 kita nggak hilang2… tapi sampai berapa lama? 1 tahun? 2 tahun? 5 tahun? Saya pribadi yakin akan bosen banget ngeliat Joshua nggak tuek2 sampai 10 tahun… belum lagi Sylvester Stalone akan tetap akting dengan “mulut ditekuk” sampai 15 tahun… Klub2 olah raga pun sudah nggak bakalan membutuhkan bintang2 baru… dan itu artinya… EVOLUSI AKAN BERHENTI! STOP sama sekali! Bila evolusi berhenti… orang sudah nggak perlu nikah, sebab mereka sudah nggak perlu anak lagi… mereka bisa meng-cloning terus diri masing2… evolusi mungkin baru akan terjadi bila memang orang yang mati itu adalah orang yang benar2 “menyebalkan” dan memang “nggak dibutuhkan” lagi…
Dari film “The 6th Days” bisa dilihat bahwa susah sekali membedakan antara yang kloning dan yang tidak… bahkan sampai si Adam ini baru menyadari bahwa ternyata selama ini dirinya sendirilah yang merupakan hasil cloning, sedangkan “ADAM” yang dilihatnya sewaktu di rumah itu adalah ADAM YANG ASLI… dan barulah diketahui untuk melihat seseorang itu hasil cloning atau bukan itu melalui kelopak mata kiri bagian bawah sekaligus bisa menunjukkan berapa kali orang itu mengalami proses cloning. Sungguh benar2 membingungkan bukan? Manusia dengan akal sehat yang diberikan oleh Tuhan menggunakan dengan “semau gue” dengan alasan “melanjutkan pekerjaan Tuhan yang terhenti”. Apakah memang benar demikian, bahwa Tuhan telah berhenti “menciptakan manusia seperti gambaran citraNya”?
Semua itu bisa menjadi cambuk bagi kita untuk lebih bersikap rendah hati dalam hidup, menjadi lebih bijaksana dalam menggunakan karunia yang kita punya, bukan sebaliknya… menjadi sombong dengan apa yang kita punyai, sebab tanpa hidup, ternyata semua yang kita punyai itu tidak berarti apa2… bukankah proses cloning itu terjadi bisa karena manusia takut akan kematian? karena manusia merasa “belum siap” meninggalkan apa yang dimilikinya selama di dunia? Tapi, apakah dengan cloning lantas manusia bisa mempunyai “spirit” yang sama seperti ASLINYA, walaupun punya sifat dan karakter yang sama persis? Bukankah inti dari setiap kehidupan adalah “spirit” atau “Roh” yang memberikan kita daya untuk berkreasi, berfantasi, dan berjuang?
Ada satu saran merarik dari si Adam “cloning” ini, yaitu “Cobalah meng-cloning diri sendiri saat kamu MASIH HIDUP dan merasakan kekonyolan yang terjadi.” Saran ini sangat bagus, sebab dengan begitu kita akan bisa melihat diri kita sendiri dengan berbagai kelemahan kita, kita bisa melihat betapa menjengkelkan diri kita, betapa jahatnya diri kita, bahkan betapa jeleknya rupa kita π walaupun film ini pun memberikan pesan bahwa dengan melihat diri kita sendiri, kita akan lebih menghargai kehidupan dan lebih bisa mencintai diri kita dan kehidupan kita…
Apakah pencobaan cloning pada manusia akan tetap dilanjutkan oleh manusia? Mungkin YA, mungkin TIDAK. Sebab belakangan sudah ada isu bahwa Yesus pun mau di-cloning dengan mengambil DNA dari Kain Kafan Turin yang dipercaya sebagai Kain Kafan Yesus. Saya tidak tahu apakah ada manusia yang akan tetap mempertahankan “egoisme”-nya untuk melanjutkan penelitian cloning manusia ini… tapi siapa tahu? Mungkin saja orang2 di sekitar Anda adalah hasil cloning… atau mungkin Anda sendiri termasuk hasil cloning? Benar atau tidak, tidak ada yang tahu… Hanya Tuhan Yang Maha Tahu…
JN. Rony
20010121