Ketika aku menonton ulang keseluruhan seri dari trilogi The Lord of The Ring, aku semakin menangkap adanya ide cerita yang sangat indah di balik cerita fiksi yang serasa nyata tersebut. JRR. Tolkien sebagai penulis cerita tersebut menurutku sangatlah jenius, seorang yang patut diberi standing applause plus 2 acungan jempol! Durasi trilogi LoTR yang bisa dibilang sangat lama (3 seri yang masing-masing dengan durasi 3,5 – 4 jam untuk seri extended version-nya) penuh dengan makna mendalam di setiap bagian cerita film tersebut, belum lagi versi bukunya yang lebih bagus lagi.
Dari sekian banyak ide cerita dalam LoTR, mulai dari perang, perusakan alam, kekuasaan, kesetiakawanan, ketulusan hati, sampai pengharapan. Bila mau direfleksikan, bisa dibilang semua gambaran LoTR ada dalam hidup kita. Memang, Prof. Tolkien membuat fantasi ini berdasarkan pengalaman hidupnya dan lingkungan sekitarnya. Inti utama dalam film, yaitu The One Ring, sebuah cincin jahat yang punya kekuatan yang membius semua yang memandang untuk memilikinya. Cocok sekali dengan gambara kehidupan kita yang penuh dengan keinginan untuk menguasai, mengendalikan, menduduki, memiliki, atau mengatur semuanya menurut kemauan kita pribadi. Keinginan untuk dihormati, dihargai, diakui, diagungkan, dimengerti dan di-di yang lain senantiasa hadir dalam diri kita. Aku jadi teringat sebuah petuah indah dari A’a Gymn yang mengatakan, “seorang ilmuwan sejati tidak akan menyombongkan dirinya, melainkan akan semakin merendahkan dirinya.” Namun, tentunya hal ini tidaklah mudah… seseorang akan sangat terobsesi oleh kedudukan, kepandaian, kekayaan, bahkan pada kemujuran yang sealu didapatnya! Gollum, adalah gambaran diri manusia yang dimabuk oleh keinginan memiliki sesuatu dengan segala cara. Kita pun akan seperti Gollum bila tidak bisa menahan diri dan senantiasa menuruti hawa nafsu kedagingan kita.
The Fellowship of The Ring dibentuk dengan tugas menghancurkan si cincin setan. Ber-9 mereka saling bahu-membahu melakukan perjalanan setahun lamanya hingga sampai akhirnya di Mount Doom demi menghancurkan si cincin. Banyak sekali halangan dan rintangan yang dihadapi. Kematian adalah resiko yang harus dihadapi. Godaan dari sang cincin pun tak ketinggalan membutakan mereka. Dalam kehidupan kita, seringkali kita pun dihadapkan pada gambaran ini. Keinginan kita untuk maju dan bahu-membahu membenahi keluarga kita, komunitas kita, lingkungan kita, perusahaan kita, kota kita, sampai negara kita, senantiasa mendapatkan cobaan-cobaan yang kadang membutakan sehingga membuat kita keluar dari jalur. Frodo sebagai yang dipercaya untuk membawa cincin pun seringkali jatuh dalam hipnotis The One Ring. Untunglah ada Sam, pendampingnya yang senantiasa mengingatkan dan membantu dia agar sadar kembali dan berjalan sesuai dengan tujuan semula, menghancurkan sang cincin. Nah, begitu pula kita… dalam kehidupan sehari-hari, kita seakan-akan berjalan berdampingan dengan orang-orang sekitar kita sebagai 1 tim, entah itu keluarga, komunitas, rekan kerja, teman bermain, tetangga, atau siapa saja. Masalahnya, di saat salah seorang anggota dari tim tersebut bila keluar dari jalur, beranikah kita untuk mengingatkannya? Atau bila diri kita yang keluar jalur, bersediakah kita menerima peringatan dari anggota tim yang lain?
Sepanjang perjalanan membawa cincin, anggota tim ini pun terpisah… namun mereka tetap berjalan menuju ke tempat tujuan, walaupun arah mereka sudah tidak jelas lagi atau malah berubah. Frodo bersama Sam membawa cincin untuk dihancurkan, tapi mereka sama sekali tidak tahu jalan menuju ke sana; Aragorn, Legolas dan Gimli tetap berjalan maju, namun dengan tujuan yang berbeda, yakni menyelamatkan Merry dan Pippin yang ditangkap oleh pasukan Orc; sedangkan Boromir harus tewas dan Gandalf pun menghilang. Rasa putus asa, ketakutan, kehilangan, sedih, kekecewaan, dan sebagainya meliputi masing-masing dari diri mereka. Dalam keseharian, kita pun seringkali mendapatkan hal-hal yang tidak kita inginkan… kehilangan atau berpisah dengan teman/saudara/keluarga. Namun, kesedihan tidaklah boleh berlanjut… kita harus tetap melangkah dan melupakan hari kemarin. Ada quote menarik dari penyanyi muda, Hillary Duff, yakni: “If it’s over, let it go and come tomorrow it will seem so yesterday”. Ya, biarlah yang telah lalu dan kita tetap maju menyambut hari esok. Bila rasa putus asa mendatangi kita… ada baiknya kita merefleksikan diri sejenak, kembali ke fitrah kita masing-masing, menenangkan hati dan pikiran, dan menyadari bahwa semua yang terjadi adalah rencana indah dari Yang Maha Kuasa. Semua kejadian yang menimpa kita bukanlah tanpa sebab, dan lewat itulah kia ditempa menjadi manusia yang lebih sempurna. Seperti halnya kata-kata penguatan dari Sam kepada Frodo yang saat itu sungguh putus asa dan capek saat menjalankan tugasnya membawa cincin, “That there’s some good in this world, and it’s worth fighting for.” Kata-kata dari Sam ini sangatlah indah dan menyatakan bahwa sungguh pengharapan selalu ada bila kita mau untuk berharap akan hari esok. Semua yang ada di dunia ini mungkin tidaklah seindah yang kita bayangkan, mungkin tidaklah selancar yang kita rencanakan… tapi bila kita mau menyadari untuk tetap melakukan perbuatan baik, baik itu di dalam keluarga, komunitas, perusahaan, kota dan negara, bahkan dunia ini, selalu ada pahalanya. Di saat dunia sudah terlihat abu-abu dan kusam… kita tetap harus menyadari bahwa masih ada banyak kebaikan di sekitar kita yang mungkin tidak kita sadari… dan untuk itulah kita harus tetap optimis dan berharap serta berjuang untuk hidup ini.
Lalu dalam peperangan melawan tentara-tentara Sauron, sang raja kegelapan, digambarkan sebagai sebuah perang yang mustahil… kekuatan yang sangat tidak berimbang. Namun, keajaiban selalu menyertai mereka yang berhati bersih, mereka yang tidak rela dikuasai oleh kegelapan. Secara ajaib, bantuan selalu datang tanpa mereka sangka sebelumnya. Bantuan dari para Ents dan Elf saat perang di Helm’s Deep, lalu bantuan dari para pengendara kuda dari Rohan dan arwah penasaran pemberontak yang dulu dikutuk menyelamatkan Gondor dari serbuan tentara Sauron. Dalam hidup, aku yakin banyak kali kita dihadapkan pada situasi seperti perang tersebut. Kita berada pada posisi yang tidak mungkin menang. Tapi entah kita sadari atau tidak, kadang di detik-detik terakhir senantiasa ada bantuan yang datang atau jalan keluar dari permasalahan kita. Aku pun seringkali mengalami hal ini, yang seringkali bisa kusebut sebagai mujizat. Yang dibutuhkan adalah keteguhan hati untuk tetap berjuang dan pengharapan pada Pencipta kita, aku yakin semua beban kita akan terlepaskan. Dan bila kita tetap setia pada tujuan dan pengharapan kita, bukan mustahil kita akan keluar sebagai pemenang. Dalam soundtrack trilogi yang pertama, Enya bahkan menyanyikan hal ini… “Mornië utúlië… Believe and you will find your way”, yang artinya… “Kegelapan akan datang… percayalah dan kamu akan menemukan jalan.”
Dalam perjalanan yang semakin mendekati Mount Doom, Gollum yang tetap berkeinginan merebut kembali cincin setan tersebut, melakukan fitnah terhadap Sam dan menjebak Frodo di gua Shelob, sang laba-laba raksasa. Hati Sam saat itu hancur begitu diusir oleh Frodo yang termakan fitnah Gollum, begitu juga Frodo yang sangat menyesal ketika tahu dirinya dijebak oleh Gollum. Namun, semuanya belum terlambat… Sam yang saat tahu dirinya menjadi korban fitnah langsung memaafkan Frodo dan berusaha menyelamatkannya. Sebagai pribadi yang lemah, kita pun seringkali termakan oleh fitnah orang-orang yang tidak menyukai kita, entah karena iri atau dendam pada kita seperti halnya Frodo. Tak jarang pula, kita malah menjadi korban fitnahan seperti diri Sam. Lebih parah lagi kalau kitalah si Gollum, menjadi orang yang menebar fitnah dan kebencian. Pertanyaannya, bila kita sebagai Frodo… beranikah kita menyesali dan meminta maaf saat kita tahu kita telah melakukan kesalahan pada orang yang kita cintai? Bila kita sebagai Sam, maukah kita memaafkan orang yang tak sengaja menyakiti kita dan kembali mendukung atau bahkan menyelamatkan dia? Sedangkan bila kita sebagai Gollum, maukah kita bertobat? atau kita terus menerus memupuk kebencian dalam diri kita sampai akhir hayat kita?
Tibalah di puncak cerita, saat Frodo dan Sam berada di Mount Doom. Frodo yang sudah kehabisan tenaga karena letih serta bebannya semakin berat akibat pengaruh The One Ring, jatuh tak sadarkan diri. Demikian pula Sam, mereka berdua sudah kehabisan bekal. Namun, atas keinginan kuat untuk menyelamatkan dunia dengan menghancurkan cincin setan, serta pengabdiannya pada Frodo… Sam berkata, “Come on Mr. Frodo. I can’t carry it for you, but i can carry you!” Sam sadar bahwa ia tak mampu membawa beban cincin setan, tapi dengan kekuatan yang terakhir dia memanggul Frodo sampai ke puncak. Dalam keseharian kita, mungkin seringkali kita mempunyai keinginan baik untuk membantu teman/saudara/keluarga kita dengan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Namun, kita seringkali tidak sadar bahwa belum tentu kita sanggup untuk memikul beban tersebut dan jeleknya seringkali kita merasa malu untuk mengakui hal itu dan akhirnya malah tidak karuan hasilnya. Kita perlu menanamkan kesadaran pada diri kita bahwa Tuhan tidak pernah memberikan beban yang lebih dari yang bisa ditanggung pada umat ciptaanNya. Bisa jadi beban atau masalah yang dihadapi orang yang kita cintai adalah rencana indah untuk membentuk diri mereka. Yang bisa kita lakukan adalah membantu mereka mengatasi permasalahan dan membiarkan merekalah yang menyelesaikan akhirnya, bukan malah kita mengambil alih dan menyelesaikannya sendiri.
Pada akhirnya, cerita LoTR ditutup dengan suasana kegembiraan dan perdamaian. Sebuah awal baru untuk dunia yang baru pula. Semua keberhasilan itu bisa terwujud atas dasar persahabatan, gotong royong, kesetiakawanan, kepedulian satu sama lain, hati bersih dan tekat yang kuat, serta tak ketinggalan harapan bahwa masih ada hari esok yang tentunya akan lebih baik dari hari ini. Semua pengalaman sepanjang perjalanan membawa The One Ring telah menempa The Fellowship of The Ring – para pengawal cincin, menjadi pribadi yang lebih matang, kuat, dan lebih menghargai hidup. Demikian pula kita… mulai kehadiran kita di dunia dan sepanjang perjalanan hidup kita sampai akhir hayat, haruslah membuat kita menjadi manusia yang kuat dan berguna bagi sesama. Jatuh dan bangun dalam perjalanan hidup pastilah ada… kesedihan dan kegembiraan senantiasa mewarnai perjalanan tersebut, namun hendaknya itu menjadi pelajaran dan pengalaman yang berharga, bukannya berlalu tanpa arti. Biarlah pada saat dimana kita menghadap pengadilan akhir, semua yang pernah mengenal kita dapat melepas kepergian kita bukan dengan tangisan… melainkan dengan senyuman bahkan tawa yang penuh keyakinan bahwa kita akan melewati Pengadilan Terakhir dengan penuh kemenangan!
Aku jadi teringat sebuah lagu indah, “Sebuah Harapan”-nya Tere:
Mungkin ini tak akan terelakkan
di dalam kehidupan
Pahit dan manisnya terus berganti,
tiada abadiMeski yang aku alami
Kerap menyiksa batinku
Menusuk perih jantungku
Uraikan air mataku
Namun kuyakin sebuah harapan
Kan menuntunku melangkah…Di dalam penatnya hidup ini,
di sgala yang terjadi
Kupercaya dalam sebuah harapan
kan ada jalan…
Keep the faith!
JN. Rony
20040404
“Karena dengan harapan, kehidupan kan terus berjalan…” — Tere
Dalam keseharian, seringkali tanpa disadari kita menghakimi orang lain. Bisa jadi orang tersebut memang bersalah seperti yang kita tuduhkan. Namun yang seringkali adalah kita menuduh seolah kita adalah orang yang benar. Yang membuat hati semakin miris adalah, seringkali hukuman yang diperoleh orang-orang yang “bersalah” itu tidak sebanding dengan kesalahannya. Kita seringkali mendengar bandar ekstasi dihukum 3 tahun penjara… namun bagi pencuri ayam malah dapat hukuman mati akibat dipukuli massa. Sebuah potret keadilan yang masih buta terjadi di sekitar kita.
Dalam keseharian pula, kita juga seringkali menghakimi orang menurut “ukuran” dan “kacamata” kita. Apa yang kita anggap benar seolah dijadikan sebagai hukum yang berlaku, tanpa peduli apakah orang tersebut memang bersalah atau tidak. Yang penting, menurutku dia salah! Lewat pola pikir yang absolut seperti itu, kita tidak mau tahu mengapa orang tersebut berbuat demikian… kita tidak mau tahu kenapa orang tersebut berkata demikian, dsb. Penghakiman seperti ini kerap kali kita temui dalam lingkungan kita… seorang pimpinan langsung memarahi pegawainya tanpa mau tahu alasan lain, seorang ayah menghukum anaknya tanpa peduli kenapa anaknya berbuat begitu, atau bahkan seperti yang ada di iklan deterjen, seorang istri langsung marah begitu melihat nomer telepon yang ditulis dengan lisptik di baju suaminya tanpa mau tahu alasan suaminya, dan masih banyak contoh lainnya.
Ada pernyataan demikian yang pernah kudengar, dunia ini bukanlah hitam dan putih… melainkan abu-abu. Yeap, memang demikian adanya… antara benar dan salah, antara baik dan jahat… perbedaannya sangat tipis sehingga kadang perbedaannya pun tidak terlihat. Sesuatu yang baik belum tentu baik, demikian pula sesuatu yang kelihatannya tidak baik belumlah tentu demikian. Di sini aku banyak belajar bahwa sesuatu itu baik atau buruk haruslah dilihat dari banyak sisi dan dari buah-buah yang dihasilkan. Sebelum kita menilai seseorang bersalah, haruslah kita melihat juga dari sisi pandang orang tersebut. Sebelum kita menilai sesuatu itu baik, haruslah kita lihat dari buah-buah yang dihasilkan. Bahkan, sesuatu yang berbau rohani belumlah tentu baik. Ingat… setan pun bisa menyamar menjadi malaikat.
Nah, untuk itulah diperlukan sebuah refleksi dan instropeksi diri secara periodik. Dengan senantiasa ber-refleksi maka kita akan lebih arif dalam melihat 1 permasalahan, lebih adil dalam memutuskan sesuatu. Memang, hal ini tidaklah bisa terjadi begitu saja, melainkan melewati 1 proses yang sangat panjang dalam hidup. Banyak orang berkata, pengalaman adalah guru yang paling baik. Semakin banyak orang makan asam garam dunia, haruslah dapat menjadi semakin arif dan bijak, bukannya semakin meninggikan diri agar dapat menghakimi orang lain. Itulah gambaran para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang diminta Yesus untuk melemparkan batu pada wanita yang dituduh berzinah bila mereka tidak mempunyai dosa. Mereka yang seharusnya mempunyai kebijaksanaan yang lebih justru lebih senang menghakimi secara sepihak, namun saat dihadapkan pada cermin dirinya, mereka menjadi malu dimulai dari yang tertua.
Baik atau buruk, benar atau salah… bukanlah hak kita untuk menilai… itu adalah urusan vertikal kita dengan Tuhan. Yang bisa kita perbuat adalah bagaimana bertindak seadil-adilnya (menurut ukuran manusia!) tanpa mengesampingkan unsur pengampunan dan memberi kesempatan yang kedua. Bila kita hanya mau menggunakan ukuran manusia… maka ukuran itu pulalah yang akan dipakaikan pada kita kelak. Bila Tuhan saja mau memaafkan dosa kita padaNya, mengapa kita tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain yang mungkin hanya sepersekian kesalahan kita pada Tuhan? Memang manusia itu lemah dan sering kali khilaf… namun dengan penyadaran diri secara berkala, tentunya diri kita senantiasa dipacu untuk menjadi yang lebih baik, lebih bijaksana.
Paskah sudah dekat… Tuhan sudah berkorban banyak bagi pengampunan dosa-dosa kita. Potret penyiksaan dalam film Passion Of The Christ yang saat ini banyak beredar bajakannya masih bukanlah apa-apa dibandingkan dengan penyiksaan sepihak oleh manusia waktu itu. Eksploitasi darah yang ditampilkan masih tidak sebanding dengan kekejaman pikiran yang absolut dalam menuduh seseorang bersalah. Tidaklah berlebihan jika Yesus bertanya, “Hai umatKu apa salahku hingga kau menyalibkan Aku?”
Sayang… saat itu tidak ada yang berani berkata, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama menyalibkan Orang itu.”
Reflection from John 8:1-11
JN. Rony
20040328
“Manusia pada dasarnya baik, tapi manusia bisa khilaf bukan?” — JN. Rony
Pernahkah membayangkan punya keluarga dengan 12 anak? Mungkin di masa lalu hal ini bukanlah hal yang aneh… tapi bagaimana bila itu terjadi di jaman modern seperti sekarang ini? Bayangkan betapa repot dan ramainya suasana dalam rumah! Inilah yang digambarkan dalam film yang baru beredar di bioskop, Cheaper By The Dozen. Dalam film ini digambarkan seorang pelatih football di kota kecil, Midland, melewati hari-harinya dengan 12 orang anak. Sang istri adalah ibu rumah tangga yang berusaha menerbitkan buku yang ditulisnya. Mereka melewati hari-harinya dengan kehidupan yang berkecukupan, tapi dengan berhemat. Hingga suatu hari mereka mendapatkan yang bisa disebut keberuntungan, sang ayah mendapatkan tawaran melatih di sebuah klub ternama di Chicago.
Awal mulanya mereka memutuskan untuk pindah ke Chicago, walaupun ditentang oleh sebagian besar anak-anak mereka, dengan alasan dengan pekerjaan baru ini, keluarga bisa mendapatkan kebutuhan mereka lebih cukup. Pada saat mereka baru pindah… tahu-tahu sang ibu mendapatkan panggilan dari agency bahwa buku yang ditulisnya mendapatkan kesempatan untuk diterbitkan dengan catatan sang ibu harus melakukan tur keliling. Maka timbullah polemik karena sang ayah harus menangani semua urusan rumah tangga dan melatih. Usaha untuk memanggil pengasuh pun tidak berhasil, karena tidak seorangpun yang bersedia mengasuh 12 orang dalam 1 rumah. Sampai akhirnya masalah keluarga ini tidak tertolong lagi, keluarga yang awalnya sangat rukun berubah menjadi keluarga yang penuh konflik. Sang ayah harus memilih antara mengurus keluarga atau berkonsentrasi penuh melatih timnya (dimana melatih tim ini merupakan impiannya sejak dulu), sang ibu harus memilih antara keluarga ataukah mementingkan penerbitan buku (dimana ini merupakan buku pertamanya), anak-anak harus memutuskan apakah mereka akan tetap saling tidak peduli dan saling menyalahkan ataukah mulai belajar untuk mengurus diri mereka sendiri. Tapi lewat peristiwa ini, akhirnya mereka mendapatkan satu pelajaran bahwa dalam 1 keluarga mereka harus saling mendukung satu sama lain dan saling mempercayai di antara mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari (selain dalam keluarga, misalnya dalam komunitas tempat kita berkarya sampai perusahaan tempat kita bekerja), kita seringkali dihadapkan pada persoalan yang kurang lebih sama dengan keluarga besar itu. Entah itu problem yang dihadapi sang orang tua (egois dan memaksakan keinginannya) atau problem yang dihadapi anak-anak (tidak peduli dengan saudaranya, tidak berusaha mandiri). Dalam komunitas dan pekerjaan, seringkali terjadi pergesekan, entah karena ambisi pribadi, rasa iri hati, persaingan tidak sehat, anti-kritik, dan sebagainya. Padahal, komunitas atau perusahaan bagaikan satu keluarga dengan banyak anak… yang tentunya bisa berkembang bila “keluarga besar” ini saling bahu-membahu, saling mendukung, saling peduli, saling menyayangi. Bila anggota keluarga saja sudah saling menjatuhkan, bagaimana keluarga itu bisa bertahan? Bagaikan rumah yang pondasi kurang kokoh atau ada yang sudah patah/keropos; maka begitu ada badai atau hujan lebat, rumah itu langsung kebanjiran atau bahkan lebih parah lagi sampai roboh. Dalam sebuah keluarga tentunya tidak akan lepas dari perselisihan atau konflik, tapi dengan adanya rasa saling memiliki, saling menyayangi, saling peduli, dan yang terutama saling memaafkan; semua itu bisa dilalui dengan kepala dingin… kritik bisa disampaikan dengan tujuan positif dan diterima dengan keinginan untuk menjadi lebih baik; persaingan bisa dilakukan dengan tujuan untuk membesarkan komunitas atau perusahaan, bukan untuk ketenaran pribadi semata.
Minggu depan, gereja memasuki masa pra-paskah, masa dimana kita diajak untuk berpantang dan berpuasa, mengikuti teladan Yesus, menahan hawa nafsu dan kelemahan daging. Tujuannya tak lain agar kita bisa semakin rendah hati dalam hidup dan semakin bijaksana dalam bertindak. Itulah makna pantang dan puasa yang diinginkan Yesus… bukan agar kita terlihat suci di mata dunia, melainkan agar kita satu sama lain bisa saling memahami, saling membangun dunia kita menjadi dunia yang lebih baik, saling memperkokoh “keluarga” kita menjadi keluarga yang harmonis dan saling mendukung dan kokoh. Sulit memang… teori memang lebih mudah daripada praktek. Tapi dengan keyakinan dan kerendahan hati, tentunya semua itu bisa terjadi. Bila itu semua bisa kita lalui, pada akhirnya kita bisa menjadi sebuah “keluarga besar” yang bahagia dan kokoh seperti yang diceritakan pada film “Cheaper By The Dozen” tersebut.
“Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” — Lukas 14:11
Selamat memasuki masa Pra Paskah!
JN. Rony
Jakarta, 20040223
untuk seseorang…