Hari Jumat lalu seorang teman kembali meninggalkan bumi merah putih ini menuju ke negara tempat pembuatan Lord of The Ring, dengan tujuan adalah sekolah. Semuanya terjadi dengan begitu singkat, mulai dari berita penerimaan dari pihak sekolah sampai pengurusan visa selesai hanya memakan waktu sekitar 2 mingguan dan Senin dia sudah mulai pelajarannya di sana. Praktis kami tidak sempat berlama-lama mengadakan farewell party seperti yang kami lakukan beberapa kali untuk teman-teman yang akan meninggalkan kota tercinta ini untuk hidup di kota atau negara lain.
Ada satu peristiwa yang sangat menarik dari teman ini… Sebelum memutuskan menuju ke New Zealand, dia sebenarnya ingin mengambil sekolah di negaranya Paman Sam. Namun, keinginan itu kelihatannya harus dikubur dalam-dalam karena secara teknis dia sudah ditolak 2 kali oleh pihak kedutaan Amerika saat mengajukan visa. Dari cerita yang dipaparkan, penolakannya pun terjadi karena sebuah hal yang sepele yang semestinya tak perlu terjadi. Padahal, dia pernah bekerja (secara ilegal tentunya 🙂 di Amerika selama kurang lebih 2 tahun dengan menggunakan nama lain. Saat itu, semua proses keberangkatannya boleh dibilang sangat lancar. Tujuannya saat itu adalah mengumpulkan modal untuk bersekolah lagi. Nah, saat dia ingin kembali ke sana dengan nama asli, ternyata tidak seperti yang diduga… visanya malah ditolak! Itupun dengan alasan yang sangat sepele. Di sini kami menangkap yang dinamakan kehendak Tuhan. Selama mengusahakan perolehan visa, teman ini tak kurang mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Berdoapun tak lupa. Namun, itulah terjadi… manusia boleh berusaha sekeras apapun, tapi bila memang Tuhan tidak mengijinkan, maka apa yang diusahakan manusia pun tidak akan terjadi; demikian teman ini mengungkapkan kepasrahannya.
Dalam keseharian kita, seringkali kita mengalami kegagalan walaupun kita merasa sudah melakukan yang terbaik. Saat itu, sangat bisa dimengerti bila kita kecewa. Tapi apakah kekecewaan itu harus sampai membelenggu kita dalam bayang-bayang kegagalan masa lalu itu? Lalu seringkali pula kita dalam keseharian mendapatkan sesuatu/hasil yang tidak kita harapkan, dan tentunya hal itu bisa membebani kita atau membuat kita terganggu. Sah-sah saja… tapi apakah hal itu juga harus menjadi fokus utama kita? Dalam pergaulan, pekerjaan, komunitas, keluarga, masyarakat, dan dimana saja… kita akan senantiasa mengalami kekecewaan akibat hal yang terjadi di luar kehendak atau kontrol kita. Kita maunya dapat nilai A, malah dapatnya B. Kita maunya ke kanan, malah diharuskan ke kiri. Kita maunya berlibur, malah diwajibkan masuk kantor. Dan masih banyak kemauan kita yang berlawanan dengan kenyataan yang kita dapat.
Beberapa tahun yang lalu, aku pribadi pernah mengalami 2 hal yang sempat membuatku terpukul. Yang pertama adalah aku kehilangan motor akibat kelalaianku mengunci pengaman ekstra saat aku berada di wartel dan yang kedua aku kehilangan seluruh data di komputerku akibat kesalahanku menservis harddisk orang, yang kuservis malah harddisku sendiri. Akibat dari 2 peristiwa itu sempat menguncang jiwaku. Saat itu aku sampai mogok makan, mandi, bicara, dan lain-lain. Yang kulakukan hanyalah menyendiri di kamar selama berhari-hari dan setiap bangun pagi, aku selalu berlagak seolah-olah semua yang terjadi adalah mimpi buruk tadi malam. Tapi yang terjadi adalah benar-benar nyata dan aku dipaksa untuk menerima hal itu. Seluruh hidupku berubah total! Saat itu keceriaanku sempat hilang cukup lama… akibatnya aku harus pulang pergi kampus naik angkutan umum, sampai pernah aku kemalaman di kampus dan harus menunggu sampai berjam-jam sampai ada 1 angkutan umum terakhir yang lewat. Saat aku kehilangan data, aku seakan jadi kalut dan mencoba berbagai cara tanpa memikirkan biaya yang kukeluarkan untuk mendapatkan kembali data yang hilang, dan semuanya sia-sia. Lambut laun aku pun sadar bahwa aku harus bangun dari kekecewaanku itu dan ternyata kuncinya satu, pasrah!
Kepasrahan memang terkesan mudah bila dibicarakan, namun susah untuk dipraktekkan. Kepasrahan tidak berarti kita harus menyerah total pada keadaan dan menerima apapun yang kita dapat. Tidak! Kepasrahan haruslah tetap diimbangi dengan sebuah usaha. Kepasrahan haruslah menjadi akhir dari setiap usaha terbaik yang sudah kita lakukan. Seperti petuah orang bijak, Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan; sepertinya cocok untuk teori kepasrahan ini. Manusia yang gagal adalah manusia yang tidak mau berpasrah pada hasil akhirnya. Tanpa sebuah kepasrahan, manusia akan diliputi oleh banyak kekecewaan, sakit hati, dendam, iri hati, dan sebagainya. Memang, kepasrahan diperlukan agar kita tetap sadar, bahwa kita adalah manusia yang serba terbatas; kepasrahan dapat pula menjadi guru bagi kita bahwa jangan pernah sombong akan hasil yang kita dapatkan. Berpasrah dapat mengingatkan kita bahwa kita manusia tidaklah sempurna, dan Tuhan sebagai Sang Maha yang paling sempurna. Seperti halnya Yesus yang berpasrah di puncak perjuangannya di kayu salib, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku”; marilah kita juga mau berpasrah pada perjuangan kita, kerja kita, usaha kita, perjalanan hidup kita…
“Mornië utúlië… Believe and you will find your way” — Enya
“That there’s some good in this world, and it’s worth fighting for.” — Samwise Gamgee
“If it’s over, let it go and come tomorrow it will seem so yesterday” — Hilary Duff
“Hasil akhir tidaklah penting, yang terpenting adalah bagaimana kita mengusahakannya” — JN. Rony (20040215)
Tak terasa sudah hampir seminggu kami menempati kantor baru di sebuah gedung perkantoran di pusat kota Surabaya. Kepindahan ini meninggalkan banyak kenangan, namun juga menorehkan banyak harapan dalam diri kami. Konon sebelum aku masuk ke perusahaan ini, cabang kami hampir ditutup oleh kantor pusat, mengingat saat itu perusahaan mengalami kerugian yang cukup besar. Hanya lewat sebuah mujijat, kantor ini dapat bertahan walaupun selama setahun kami harus bertahan di sebuah kantor kecil yang sebelumnya adalah sebuah gudang yang disulap menjadi kantor yang hangat. Aku pribadi baru 11 bulan di kantor ini, tapi aku cukup bisa merasakan perjuangan yang ada dalam kantor cabang kami ini, begitu beratnya mempertahankan nasabah lama kami dan begitu berat pula mencari nasabah baru. Mungkin di antara perusahaan yang bergerak di bidang yang sama dengan kami di Surabaya ini, hanya kantor kamilah yang bisa dibilang “paling jelek” dan “kurang bonafit”. Namun kami cuek saja dan tetap pada keyakinan kami, bahwa sesuatu yang dibangun lewat sebuah kepercayaan dan ketulusan hati akan membuahkan hasil yang besar dan indah. Visi kami satu, perusahaan untung, nasabah untung, kami ikut senang. Sebisa mungkin kami meminimalkan kerugian yang “mungkin” akan terjadi pada nasabah kami, tidak peduli itu nasabah kecil atau besar, semua kami perlakukan sama.
Tak terasa setahun berlalu, dan tahu-tahu kami mendapat mandat untuk pindah dan menempati gedung perkantoran yang cukup beken. Awalnya kami merasa berat untuk pindah… maklum, suasana kantor lama sudah menjadi bagian dari keseharian kami. Bahkan di antara kami sering pulang malam (walaupun tidak lembur, hanya untuk sekedar ngobrol) atau bahkan lembur atas kemauan sendiri di hari Sabtu, dsb. Namun, kami sadar bahwa kami harus pindah demi perkembangan perusahaan ini. Selain itu, kami juga melihat bahwa kepindahan ini bisa membawa dampak positif bagi kami. Dan tibalah hari dimana kami harus meninggalkan kenangan di kantor lama kami dan memasuki kantor baru dengan harapan yang baru pula.
Pindah memang seringkali dirasakan sebagai sebuah beban, apalagi bila harus meninggalkan tempat lama yang dirasa sudah nyaman untuk ditempati. Siapapun pasti pernah mengalami beratnya pindah, entah itu pindah rumah, pekerjaan, jabatan, dan sebagainya. Saat pindah adalah saat yang merepotkan… kita harus menyesuaikan diri kembali dengan lingkungan yang baru, kita harus kerja ekstra lagi untuk memindahkan dan menata kembali tempat kita, kita harus mencari teman-teman baru, kita harus mempelajari aturan-aturan baru yang berlaku, dsb. Namun bila pindah diambil hikmah positifnya, maka sebuah kepindahan akan menjadi berkat dan harapan yang baru. Sebuah kepindahan memang harus diiringi dengan pengorbanan yang besar, dengan tujuan untuk mencapai tujuan yang besar pula.
Pertanyaannya adalah apakah kita siap untuk pindah? Aku siap!
Yang masih sibuk pindahan,
JN. Rony
20040123
“If it’s over, let it go and come tomorrow it will seem so yesterday” — Hilary Duff
Seringkali terjadi perbincangan tentang betapa tidak enaknya kotbah seorang pastor, entah karena membosankan, terlalu lama, tidak jelas isinya, dan lain sebagainya… Sebagai umat, saya pun terkadang ikut dalam gosip-gosip kecil ini. Awal-awal saya mengenal Katolik, kotbah pastor pun merupakan sesi yang paling membosankan dalam sebuah misa. Secara garis besar, bagi sebagian kecil orang, misa terbagi menjadi 4 sesi, yaitu sesi segar karena datang terlambat/terburu-buru (doa pembukaan sampai bacaan Injil), lalu disusul dengan sesi ngobrol atau ngantuk ria (homili dan sampai persembahan), dilanjutkan dengan sesi tidur (doa syukur agung sampai persiapan komuni), dan diakhiri dengan sesi paling segar karena sudah bangun dan mulai memikirkan nanti mau kemana atau makan apa (komuni sampai berkat penutup, kalau masih ada di gereja 🙂 Praktis, banyak kali saya tertidur saat homili, kecuali bila kotbah pastornya lucu dan menarik.
Sebenarnya seberapakah membosankan kotbah seorang pastor tersebut? Setelah sekian lama, saya bisa mengatakan bahwa itu TERGANTUNG pada diri kita masing-masing. Dalam perjalanan iman saya pribadi, seringkali saya dan beberapa teman berbeda pendapat tentang kotbah seorang imam. Bila saya mengatakan kotbah pastor A itu enak dan lucu, belum tentu di-iya-kan oleh teman saya yang lain, dan sebaliknya. Dari pengalaman juga, tidak mudah bagi seorang imam untuk berkotbah. Mungkin, ada imam yang punya kelebihan bakat untuk bercuap-cuap ria di depan umum, namun banyak juga yang demam panggung. Hal ini saya ketahui saat menginap beberapa malam di sebuah rumah studi sebuah seminari, di mana biara tersebut diperuntukkan bagi para frater yang sedang menempuh pendidikan di STF (Sekolah Teologi dan Filsafat). Setiap pagi, mereka selalu melakukan misa yang seringkali sesi homili diisi oleh seorang frater secara bergantian sesuai dengan jadwal yang mereka susun. Saat itulah masa para frater dituntut untuk belajar berkotbah sebelum mereka menjadi imam. Begitu pula kondisi di sebuah pertapaan yang ramai dikunjungi dalam rangka retret atau camping rohani. Beberapa dari suster pertapaan saya kenal memiliki cara kotbah yang lucu, tapi beberapa orang pula syaa kenal tidak mampu berkotbah dengan baik namun memiliki talenta yang kuat dalam hal doa maupun hal yang lain.
Lewat pengalaman iman, saya menyadari bahwa sebenarnya semua kotbah pastor itu enak lho! Kok bisa? Cobalah untuk menyimak! Seringkali orang menghakimi seorang pengkotbah, padahal saat misa lebih banyak ngobrol. Bila tidak percaya, coba sekali saja saat misa tidak usah memperhatikan pastor 🙂 tapi perhatikan sekeliling kita… ada sepasang remaja yang asyik pegang-pegangan tangan dan cerita sambil bisik-bisik mesra, atau ada segerombolan orang yang asyik bercanda, atau ada orang tua yang sibuk menyuapi anaknya yang juga sibuk lari sana dan sini, atau ada yang alim dan sedang mandaraskan doa rosario, dan bahkan yang parah ya seperti yang saya katakan di atas, sedang TIDUR! Nah, dengan segala aktivitas tersebut (sekalipun ber-rosario!) bagaimana kita bisa menangkap apa yang hendak disampaikan oleh imam dalam kotbahnya? Memang, ada orang yang panda berkotbah, ada pula yang tidak… namun akan lebih baik bila kita mau bersikap menghargai mereka yang sudah berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk berkotbah di depan umat. Tidak mudah lho untuk berkotbah di mimbar! Kalau tidak percaya, cobalah untuk tampil di depan umat, menjadi seorang lektor misalnya… kita bisa merasakan yang namanya grogi di mimbar gereja akibat pandangan mata satu gereja mengarah ke diri kita. Apalagi buat lektor yang kurang percaya diri atau tidak siap, akan kelihatan seperti membaca buku ketimbang firman Tuhan. Juga tidak semua kotbah pastor yang membosankan itu tidak enak, bahkan banyak kali inti sebuah kotbah yang membosankan itu punya arti yang sangat mendalam. Pernah saya mendengarkan kotbah dari seorang pastor tua, pastor bule lagi! Dari cara bicara, susah sekali untuk menangkap apa yang disampaikannya, sebab sekalipun menggunakan speaker, tetap saja tidak jelas. Begitu suasana gereja ramai sedikti saja, langsung apa yang disampaikan pastor tua ini hilang ditelan keramaian, apalagi kalau mike-nya mati. Dulu saat pastor ini masih membawakan misa mingguan, pernah kulihat dia marah besar sampai menangis karena merasa tidak di-orang-kan akibat sebagian besar umat di gereja ramai sendiri. Lalu dalam beberapa kesempatan kucoba untuk mendengarkan isi kotbah pastor ini (caranya ya duduk di depan sendiri atau di sebelah speaker :), hasilnya sungguh mengejutkan! Bagi saya pribadi, “isi otak” dari pastor tua ini sungguh brillian dan membumi. Hanya karena cara penyampaian yang tidak jelas, dia menjadi salah satu imam yang dihindari saat misa. Tapi uniknya! Saat pengakuan dosa, imam ini malah ramai di-antri oleh umat. Lho? Rupanya umat banyak yang mau menang sendiri, saat sang pastor kotbah langsung di-cap “gak enak”, “gak jelas”, dsb. tapi saat pengakuan dosa malah mencari pastor tua yang notabene pendengarannya sudah melemah dan bicaranya sudah tidak jelas, dengan harapan tidak merasa berdosa bila ada penitensi (denda dosa) yang tidak dilakukan akibat tidak terdengar 🙂
Fakta memang membuktikan bahwa sedikit sekali imam yang mampu menyampaikan kotbahnya dengan kemasan yang lucu, kocak, menarik bagaikan srimulat saat tampil. Namun, masih banyak hal yang lebih penting daripada sebuah kotbah yang enak didengar, yaitu pemahaman akan inti kotbah itu sendiri. Kalau hanya untuk mendengarkan humor-humor atau lelucon-lelucon, rasanya lebih asyik bila kita nonton srimulat atau ketoprak humor ketimbang susah-susah ke gereja. Memang menyenangkan bila bisa mendengarkan seorang imam dengan kotbahnya yang lucu dan diselingi dengan tawa, namun bila memang sang imam tidak mampu berkotbah… mengapa kita tidak berusaha menyerap pengalaman iman yang disampaikan oleh imam tersebut daripada langsung menutup diri dengan segel “ach, kotbahnya gak enak!” Sesi kotbah bagaikan sebuah kelas, enak atau tidaknya guru yang di kelas tersebut menyampaikan bahan pelajaran… yang bisa merasakan gunanya hanya kita sebagai murid. Bila kita tidak menyimak, ya yang rugi juga kita, si guru sich tidak kehilangan apapun. Yang terpenting adalah dari dalam diri kita saat mengikuti misa tersebut untuk apa? Menghadiri perjamuan Tuhan? Ataukah untuk hal-hal yang lain, seperti berpacaran rohani (pacaran sopan di dalam gereja :)? Atau pindah tempat ngobrol? Ataukah pindah tempat nyuapin makan anak? Atau malah menjadikan gereja sebagai tempat “hunting” orang cakep atau yang parah, dompet (copet kali? :). Atau???
Ingat! Keselamatan tergantung pada diri kita pribadi, bukan pastor atau siapapun.
JN. Rony
20030811
yang sempat tertidur saat kotbah misa minggu 🙂