Beberapa hari yang lalu sebuah bom telah mengguncang ibu kota Jakarta. Saat itu aku sedang beristirahat makan siang sambil mengunjungi almamaterku. Sekitar pukul 13.25 aku tiba kembali di kantorku dan melihat temanku seorang diri kerepotan dengan 2 buah telepon di telinga kanan-kirinya. Belum lagi aku sempat meletakkan barang-barangku di meja, telepon sudah berdering dan dari sana aku mengetahui bahwa JW Mariott di-bom. Praktis sesi siang itu kami sekantor dibuat tak bisa lepas dari telepon, maklum rata-rata klien kami langsung bereaksi terhadap peristiwa ini. Ada yang langsung menjual saham-sahamnya, ada pula yang memanfaatkan momen ini untuk membeli saham dengan harga murah. Hari itu, indeks saham benar-benar terpuruk dan saham-saham unggulan rontok cukup dalam.
Beberapa hari ini masa-masa sibuk itu telah lewat, market kembali normal seperti biasa, walaupun masih banyak ketakutan-ketakutan akan ancaman bom yang lain. Aku pribadi selama beberapa hari ini menerima beberapa email kesaksian-kesaksian tentang peristiwa ini ditambah lagi membaca dan menyaksikan beberapa selebritis atau tokoh masyarakat yang diwawancarai beberapa media sehubungan dengan peristiwa bom tersebut. Dari semua kesaksian yang kubaca, semuanya mengucapkan syukur tak terhingga pada Tuhan masing-masing, sebab pada mereka terselamatkan dari bom mengingat pada saat bom meledak “seharusnya” mereka pun berada di lokasi ledakan. Memang, sebuah peristiwa yang patut disyukuri. Namun, di sisi lain aku pribadi pun melihat bahwa begitu banyak orang-orang yang tidak bisa ikut bersyukur, entah itu karena mereka sudah tidak bernyawa lagi atau anggota keluarga mereka menjadi korban bom tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah ini rencana Tuhan? Apakah salah bila mereka yang selamat ini bersyukur? Lalu bagaimana dengan para korban, apakah mereka tidak disayangi oleh Tuhan? Dan masih banyak lagi.
Pagi ini, aku mengelus dada saat membaca berita di Jawa Pos tentang “kelakuan” Imam Samudra yang begitu gembira akan bom Mariott ini (baca: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail&id=1724 ). Di sana tertulis: “Alhamdulillah, saya bersyukur. Saya bahagia, terlebih lagi apabila pelakunya muslim,” teriak Samudra. Lalu di bagian lagi ditulis Samudra berteriak: “Go to hell Australians! Di mana Australia? Di mana mereka?”. Aku jadi semakin berpikir, apakah Samudra ini gila atau paranoid? Dia mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang Islam, namun apakah dia tidak berpikir bahwa korban bom ini justru mayoritas muslim? Lalu apakah dia sadar bahwa justru korban “ekspariat” asal Australia hanya 1-2 orang dan selebihnya malah mayoritas orang Indonesia? Itulah dunia nyata yang kadang sulit dimengerti…
Pertanyaannya sekarang adalah apakah memang Tuhan menginginkan semua ini terjadi? Ada yang menyebut dirinya sangat beruntung dan dikasih Tuhan karena bisa terlepas dari peristiwa itu, tapi kemudian timbul pertanyaan lalu kalau begitu Tuhan tidak sayang pada korban yang meninggal atau luka? Bicara soal untung dan malang, aku jadi teringat akan seorang teman yang kebetulan memang merasa terselematkan dari musibah ini. Saat ini dia sedang mempunyai masalah dengan pekerjaannya dan sudah beberapa minggu ini dia selalu merasa tertekan dan begitu malang nasibnya. Namun, dia terselamatkan karena pada saat bom meledak dia masih berkutat dengan “masalah” dan “kemalangannya” di kantor sehingga tidak bisa segera menuju ke daerah Mariott. Atas kejadian ini, dia merasa betapa untungnya dirinya! Namun, di sisi lain… “kemalangan” tetap ada padanya, mengingat problemnya masih belum terselesaikan. Apakah ini untung… atau malang? Lalu ada pula teman yang saat ini menderita “kemalangan” karena sakit berkepanjangan sampai sekarang, tapi dalam kemalangan tersebut keluarganya yang dahulu dengan yang sekarang menjadi begitu berbeda, bila dulu sering bertengkar, sekarang menjadi lebih erat hubungannya… bahkan mama dan koko teman ini mulai ke gereja, padahal dulunya cuma sembahyangan di klenteng. Belum lagi, usaha tokonya tetap laris manis, seiiring dengan pengeluaran untuk pengobatan yang mengalir bagaikan air dari pegunungan. Apakah ini untung… atau malang?
Dari sini kita bisa belajar bahwa untung dan malang adalah urusan Tuhan. Manusia tidak bisa begitu saja menentukan untung dan malang. Kadang kita merasa untung, padahal tak lama kemudian kita langsung melupakan keberuntungan kita saat menyumpah-nyumpah kesialan kita. Begitu juga kadang kita merasa sial, padahal tak lama kemudian kita dengan mudah melupakan kesialan kita dan merasa menjadi orang paling beruntung sedunia… Biarlah segala sesuatu itu kita syukuri sebagai sebuah berkat dari Tuhan. Bukankah kita yakin bahwa Tuhan tak pernah memberikan pencobaan yang lebih berat dari yang bisa kita tanggung? Bukankah kita yakin bahwa dalam segala peristiwa Tuhan punya rencana yang indah pada waktunya?
Aku jadi teringat lagu “From a Distance” -nya Bette Midler…
From a distance the world looks blue and green,
And the snow-capped mountains white
From a distance the ocean meets the stream,
And the eagle takes to flightFrom a distance, there is harmony,
And it echoes through the land
It’s the voice of hope, it’s the voice of peace,
It’s the voice of every manFrom a distance we all have enough,
And no one is in need
And there are no guns, no bombs, and no disease,
No hungry mouths to feedFrom a distance we are instruments
Marching in a common band
Playing songs of hope, playing songs of peace
They’re the songs of every man
God is watching us, God is watching us
God is watching us from a distanceFrom a distance you look like my friend,
Even though we are at war
From a distance I just cannot comprehend
what all this fighting is forFrom a distance there is harmony,
And it echoes through the land
And it’s the hope of hopes, it’s the love of loves,
it’s the heart of every manIt’s the hope of hopes, it’s the love of loves
This is the song of every man
And God is watching us, God is watching us,
God is watching us from a distance
Oh, God is watching us, God is watching
God is watching us from a distance
Tuhan selalu mengawasi kita!
JN. Rony
20030807
yang baru diingatkan kalau kemarin adalah hari peringatan bom Hiroshima
Hari ini seorang adik tersayang pergi meninggalkan kota tercinta ini untuk meneruskan sekolahnya di benua tetangga, Australia. Persiapan keberangkata untuk meneruskan study awalnya cukup mepet, mulai dari mendaftar di sekolah tujuan, test IELTS sampai pengurusan Visa. Agaknya karena waktu yang terlalu mepet inilah, akhirnya keberangkatan yang seharusnya terjadwal minggu lalu jadi tertunda. Dan hari inilah saatnya perpisahannya dengan kami yang ada di kota tercinta ini.
Sebelum berpisah, kami beberapa kali mengadakan acara bersama, entah itu hash atau makan. Begitu pula dia, mengadakan acara kumpul-kumpul bersama teman-teman sekelasnya, entah itu menginap bersama di sebuah villa di Tretes atau jalan-jalan santai di mall. Namun, yang namanya akan berpisah tentunya perasaan kangen atau takut untuk berpisah itu selalu ada, sehingga seberapa pun seringnya bersenang-senang tapi tetap saja kurang dan perasaan sedih selalu ada.
Panasnya siang hari di kota Surabaya seolah tak dirasakan lagi saat kami bersama mengantar ke airport Juanda. Bersama pula dengan teman-teman sekelasnya dulu, terdengar tawa canda yang mewarnai suasana terminal keberangkatan domestik di Juanda. Sedianya si adik akan berangkat transit dahulu di Bali dan baru melanjutkan ke Australia malam harinya. Setelah mengurus segala sesuatunya untuk cek-in, kami sempat berfoto bersama dan bersiap untuk mengantar ke gerbang pemberangkatan. Saat itu terjadi sedikit tangis perpisahan di antara kami.Yah, sebuah suasana yang selalu ingin aku hindari (tapi tak bisa) saat mengantar seseorang ke airport. Dalam hatiku sendiri pun ingin menangis tapi tak bisa. Saat kami di gerbang pemberangkatan, sekali lagi terjadi salam perpisahan disertai dengan pengumpulan tanda tangan di selembar uang seribu rupiah sebagai kenang-kenangan untuknya. Di sela-sela salam perpisahan, terucap kalimat yang sungguh menggugah aku, “Jangan lupakan Indonesia ya!”
Ya! Kalimat ini sungguh menggugah aku. Aku sungguh kagum pada si anak yang mengatakan itu, walaupun aku tak tahu pasti siapa yang mengucapkan itu. Mungkin kalimat itu terasa biasa saja, “Jangan lupakan Indonesia”, siapapun pasti tidak akan lupa bukan? Apalagi kalau ini adalah tanah kelahirannya. Namun, aku sadar bahwa seringkali “Indonesia” menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan untuk diingat bagi sebagian orang. Banyak yang tidak suka lagi mengingat Indonesia setelah dia ke luar negeri. Memang, “Indonesia” punya kenangan pahit di sebagian besar (atau semua?) rakyatnya. Bagi mereka yang sempat mengalami peristiwa pahit sepanjang 6 tahun terakhir ini mungkin bisa kumaklumi bila mereka jadi benci “Indonesia”. Atau mungkin mereka yang notabene menyandang gelar “keturunan cina” atau yang kerapkali dipanggil “cino singkek” dan yang sering dipersulit bila mengurus akte kelahiran, ktp, dsb. juga bisa dimaklumi bila mereka jadi benci “Indonesia”. Atau masih banyak sekali alasan yang bisa membuat kita jadi benci “Indonesia”.
Sebagai orang Indonesia, aku bukanlah orang yang terlalu nasionalis. Aku hanya menempatkan diriku sebagai orang yang hidup, bernapas, dan menimba pengalaman di bumi Indonesia. Peristiwa manis dan pahit aku peroleh di sini. Aku sadari, aku pun benci Indonesia. Tapi apakah aku harus melupakan Indonesia? Aku tahu itu tidak mungkin. Indonesialah yang membentuk aku. Begitu banyak kenangan yang terpendam di sini. Yah, mungkin aku memang belum beruntung untuk bisa merasakan enaknya hidup di negeri orang seperti yang diceritakan oleh banyak teman. Betapa bebas dan teraturnya kehidupan di luar Indonesia. Bahkan seringkali “Indonesia” digambarkan sebagai dunia yang kacau balau dan seakan penuh dengan kebusukan. Bahkan ada yang menggambarkan “Indonesia” sebagai neraka dunia yang patut untuk ditinggalkan. Namun, entah kenapa “Indonesia” selalu mendapat tempat di hatiku.
Beberapa minggu yang lalu, aku terpesona oleh seorang teman yang mudik dari Jepang dan membawa serta calon istrinya yang orang asli Jepang. Dari cerita yang kudengar, si gadis Jepang ini menyelesaikan studynya tentang Indonesia dengan mengambil objek Bali. Praktis, dia harus menguasai bahasa Indonesia (walaupun hanya sepotong-sepotong) dan hebatnya, dia sering meluangkan waktunya ke Bali. Bayangkan, demi thesis (skripsi) dibela-belain dech traveling Jepang-Bali. Lalu, beberapa waktu yang lalu kubaca pula di koran tentang beberapa relawan asal Amerika, Inggris, Australia dan beberapa negara lainnya yang memutuskan diri untuk langsung terbang ke Bali pasca kejadian Bom Bali yang tragis itu. Alasan mereka hanya singkat, yaitu mereka punya kenangan di Bali, atau ada juga yang mengatakan Bali sudah seperti tanah kelahiran kedua baginya. Aku jadi berpikir, bila orang asing saja mengingat begitu dalam tentang “Indonesia”, lalu kenapa aku harus melupakannya? Semoga aku tak pernah lupa akan Indonesia… seperti lagu sebuah iklan rokok, “I love blue of Indonesia…”
Lambaian tangan kami semua mengiringi keberangkatan si adik menuju tangga pesawat. Aku pun berjalan menuju parkiran dengan diam seribu bahasa. Sedih? Memang… tapi kuiringi kepergian sang adik dengan doa agar berhasil di tanah seberang… dan tentunya dengan harapan: “Jangan lupakan Indonesia ya!”
Siang hari ini berjalan begitu lambat… kusetir mobil dengan kecepatan standar dalam kota sambil mengingat kenangan manis saat kami masih bersama…
Oleh seorang teman, aku dikirimi lagu: “I’m livin’ on a jet plane, don’t know when I’ll be back again. O babe, I hate to go…”
Goodbye dear sis,
JN. Rony
20030724
To Poy, wish you luck and sucsses!
Perkenalanku dengan A’i (kalo gak ngerti, artinya tante π satu ini bisa dibilang biasa-biasa saja. Kebetulan dia adalah ibu seorang teman yang sudah lama tidak berjumpa, karena temanku ini memutuskan untuk studi di benua seberang lautan. Dimulai dari waktu temanku mudik sambil menunggu ijin kerja dan menetap turun dari kedutaan. Sepintas, si A’i ya seperti para ibu lainnya, nothing special. Dan waktu pun terus berjalan…
Lewat banyak aktivitas dan pertemuan, aku semakin mengenal lebih dalam keluarga ini. Mungkin yang kuketahui hanya seper-sekian persen, namun bagiku cukup memberiku inspirasi untuk merenungkan lebih dalam akan pengorbanan yang dilakukan seorang ibu. Lewat cerita demi cerita yang aku dapat secara sukarela (aku tidak pernah mengorek karena aku bukan termasuk orang yang mau tahu urusan orang lain :), aku tahu bahwa mama temanku adalah seorang vegetarian, bahkan boleh dibiang vegetarian sejati. Aku lupa berapa lama tepatnya dia menjadi vegetarian, tapi kira-kira sudah 20 tahun lebih. Penyebabnya kurasa tidak perlu diceritakan, sebab itu hak masing-masing pribadi bukan?
Proses menjadi seorang vegetarian kurasa tidaklah mudah. Menurut cerita-cerita dari beberapa teman yang punya pengalaman dengan keluarga yang punya anggota keluarga (terutama ibu sebagai kepala dapur) yang vegetarian, yang sering menjadi korban adalah anggota keluarga yang tidak vegetarian. Mengapa? Sebab praktis makanan yang dimasak setiap hari “agak jauh” dari bau daging. Praktis, hal ini terkesan seperti “memaksakan” vegetarianisme-nya ke anggota keluarga yang lain. Beda dengan keluarga temanku ini, si ibu tetap memasak masakan-masakan yang biasa dinikmati keluarga “omnivora” pada umumnya. Aku yakin pasti ada yang berkata dalam hati, “ach… ya kalau sudah biasa vegetarian, tentu tidak jadi masalah” π Pernah juga di suatu kesempatan ada seseorang (yang bukan vegetarian tapi berkata seolah sok mengerti rasanya jadi vegetarian) berkata, “kalo mau jadi vegetarian itu harus benar-benar makan sayur-mayur, bukannya malah makan di restoran vegetarian, itu namanya menipu diri, nanti mudah tergoda.” Tapi sewaktu aku mencoba untuk merenungkan lebih jauh, susah sekali lho untuk bisa senantiasa menahan diri untuk tetap pada komitmen yang telah kita buat, apalagi ini soal “kedagingan” tubuh kita. Hal yang paling membuatku tertegun dan jadi merasa tidak enak adalah di setiap kali kami bepergian dan makan bersama, si A’i tidak ambil pusing mau makan dimana, asalkan orang-orang yang bersamanya bisa makan enak. Permintaannya pun tidak banyak, hanya bertanya kira-kira di sana (tempat makan) ada sayur-mayur gak ya? Kalau diperkirakan tidak ada, si A’i lebih banyak “membungkus” sendiri makanan pribadinya dari rumah. Jadi, di saat kami makan enak ala restoran… si A’i makan makanan “biasa ala rumah” atau kalau bisa memesan sayur yang dimasak ala vegetarian. Bahkan yang lebih membuatku tercengang adalah kerelaan si A’i untuk mengupaskan makanan daging (entah udang, kepiting, ikan, dsb.) yang keras untuk diberikan pada anaknya. Hmmm… sebuah situasi yang membuat selera makanku jadi berkurang π
Dari hari demi hari lewat pertemanan yang kulalui bersama si A’i ini membuatku merenungkan kembali kehidupan imanku sebagai seorang Katolik. Gereja selama ini tidaklah “neko-neko” (aneh-aneh) dalam menerapkan aturan pantang dan puasa. Gereja juga tidaklah mengeluarkan aturan keras untuk berpantang dan berpuasa. Tapi aku seringkali mengeluhkan “aturan” yang begitu ringan. Bila mau dibandingkan dengan puasa dan pantang yang dijalankan oleh Yesus sendiri pada saat di padang gurun selama 40 hari 40 malam lamanya, aturan Gereja saat ini sudah sangat ringan. Aku coba membayangkan selama aku menjadi Katolik dan harus melewati masa puasa-pantang selama pekan Suci, sangatlah susah. Padahal aku hanya perlu menyisihkan 1 hari saja dalam seminggu untuk berpantang daging, tapi toh berkali-kali aku sering tidak tahan godaan.
Pertemananku dengan si A’i tidak saja membuka mataku tentang artinya sebuah pengorbanan diri dalam menahan hawa nafsu kedagingan, melainkan juga sebuah bukti nyata pelayanan dan pengabdian dengan penuh kasih dari seorang ibu kepada keluarganya. Kini pertanyaan kembali ditujukan pada diriku, sanggupkah aku mencontoh si A’i dan menerapkannya pada kehidupanku? Sanggupkah aku menahan emosi bila dicemooh orang lain? Sanggupkah aku melayani sesama dengan penuh kerendahan hati? Sanggupkah…??? Begitu banyak pertanyaan dalam hatiku…
Dalam kasihNya,
JN. Rony
20030720
Thx to B, u have special mom!