(inspirated by Catch Me If You Can)
Dua ekor tikus jatuh ke dalam seember krim. Yang seekor menyerah dan lantas mati. Seekor yang lain, berjuang keras mengaduk krim itu menjadi mentega dan keluar dengan selamat. Kisah ini sangat menempel di otakku, sangat indah menggambarkan perjuangan seekor tikus yang tidak ingin mati begitu saja.
Seringkali kita menghadapi masalah pelik dalam hidup. Saat itulah kita menghadapi cobaan-cobaan iman, kita dituntut untuk memilih atau membuat keputusan. Entah itu persoalan keluarga, pekerjaan, pasangan, dan lain sebagainya. Aku teringat pada beberapa peristiwa di masa laluku, di mana aku sering dihadapkan pada pilihan yang sulit. Aku juga teringat pada beberapa kisah dari teman-teman perihal pilihan dalam hidup mereka.
Hari ini aku melihat “seekor tikus yang berjuang” pada diri seorang teman. Kalau tidak salah hitung, hampir sekitar 10 bulan dia tergeletak sakit tak berdaya. Awalnya hanya sakit kecil, namun kian hari bertambah parah. Sepanjang perjalanan waktu, dirinya mengalami berbagai cobaan, mulai dari rasa minder sampai ketidakpercayaannya pada kehadiran Tuhan di sisinya. Memang, sakit itu tidaklah menyenangkan… bayangkan, sariawan saja sudah mengganggu aktivitas kerja kita, apalagi harus sampai tergeletak tanpa bisa menggerakkan anggota tubuh sama sekali selama berbulan-bulan. Aku pribadi memang percaya bahwa hanya lewat berkat dari Tuhanlah, dia bisa survive sampai sekarang. Tapi aku juga percaya, kalau seandainya dia tidak punya tekat untuk berjuang melawan penyakitnya, tentu ceritanya akan lain.
Kisah 2 ekor tikus mengajarkan pada kita agar tidak mudah menyerah dalam hal apapun juga. Sebab bila kita menyerah, maka apa yang kita perjuangkan selama ini akan sia-sia. Memang, suatu saat kita pasti ada di ambang pilihan yang sulit, istilahnya seperti telur di ujung tanduk. Semua posisi menyulitkan kita untuk menentukan pilihan/sikap. Namun, itu tidak berarti kita harus pasrah terhadap keadaan. Kita harus tetap berjuang dan tentunya juga berharap pada Tuhan. Bila kita hanya berharap pada Tuhan tanpa mau berjuang, saya rasa pertolongan pun tidak akan datang dengan sendirinya. Tuhan tidak akan membuat keajaiban seketika (kecuali untuk kasus tertentu yang sangat jarang), namun Tuhan lebih sering membuat keajaiban melalui bantuan di sekitar kita. Kita juga tidak bisa hanya berjuang tanpa berharap pada Tuhan. Ora et Labora, kerja dan doa… itu sebuah kombinasi yang paling manjur. Maka dari itu, dalam menentukan pilihan kita pun harus bertanggung jawab atas pilihan kita itu. Apapun yang telah kita pilih, harus kita jalani tanpa sesal di kemudian hari. Seberapapun ruwet jalan yang kita pilih, kita harus mempercayai itu sebagai yang terbaik yang bisa kita lakukan.
Jadi bila suatu ketika kita dihadapkan pada kisah ini: Dua ekor tikus jatuh ke dalam seember krim. Yang seekor menyerah dan lantas mati. Seekor yang lain, berjuang keras mengaduk krim itu menjadi mentega dan keluar dengan selamat. “Tikus” yang manakah diri kita?
Akulah tikus yang kedua!
JN. Rony
20030501
untuk Meme yang sedang sakit dan berulang tahun.
Menjadi seorang Katolik tidaklah mudah. Yang jelas, tugas kita setelah dibaptis bukanlah wajib pergi ke gereja tiap hari Minggu saja. Begitu banyak tugas yang menanti di depan mata kita. Ada (bahkan banyak! ๐ yang bilang kalau ikut katolik itu membosankan dan monoton. Bagaimana kita sebagai seorang katolik menjawab tantangan itu? Tentunya dimulai bagaimana diri kita menyikapi dan bertindak sebagai seorang katolik. Dulu, yang namanya misa itu ya begitu-begitu saja. Kini dengan segala kreativitas, misa mampu dihidupkan dengan cara-cara yang unik. Kalau dulu retret itu dianggap “liburan” yang membosankan, sekarang justru orang berbondong-bondong untuk mengikuti retret, bahkan ada yang tak peduli berapa jauh lokasi retretnya. Selama semua itu dijalankan dengan benar dan tidak menyimpang dari ajaran-ajaran katolik, hal itu tidaklah perlu untuk dipermasalahkan. Apalagi bila hal baru itu mampu membuat orang menjadi lebih baik, jadi… mengapa tidak?
Ada kalanya dalam perjalanan waktu, kita mengalami cobaan-cobaan yang sering membuat kita jadi stress, down, frustrasi, bahkan bila kita tidak kuat, bisa-bisa ngambek jadi katolik. Bagaimana pula kita mengatasinya? Tak jarang kita merasa kecewa saat iman yang kita miliki tidak sanggup untuk menyelamatkan dari masalah-masalah yang menghimpit kita. Kita sering protes pada Tuhan, “kenapa harus aku? Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa Tuhan tidak mau mengabulkan doaku? dst.” Ada hal yang sering kali kita lupakan, yaitu “rencana kita bukanlah rencana Tuhan” (bdk. Yes 55:8). Lalu, apakah ini berarti iman tidak lagi bisa menyelamatkan kita? Tentu saja YA! Namun untuk menuju keselamatan itu sendiri, tidaklah cukup hanya dengan iman saja. Bahkan bisa dibilang iman tidak lagi berperan utama dalam “jalan menuju keselamatan” tersebut. Kok bisa? Tentu saja! Sebab ada hal yang lebih mendasar lagi, yaitu Pengharapan!
Suatu waktu, ada seorang teman yang tiba-tiba jatuh sakit. Setelah melewati sekian waktu untuk pengobatan, ternyata tak kunjung sembuh. Dalam kesakitannya yang berlarut-larut itu, dia terus berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa imannya akan menyembuhkan dia. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa Tuhan akan menyembuhkannya secara ajaib karena dirinya adalah seorang katolik. Namun, sayangnya iman yang ingin diyakininya itu tidak disertai dengan sebuah pengharapan. Dalam dirinya begitu pesimis bisa sembuh, mengingat vonis dokter yang sudah angkat tangan, yang membuatnya seolah tiada harapan sembuh lagi. Hari demi hari berlalu dan fisiknya semakin lemah, hingga pada suatu saat lewat sebuah peristiwa dia mendapatkan keyakinan untuk berharap pada Tuhan. Dengan menumbuhkan pengharapan itu, semakin hari dirinya pun berubah. Kesedihan pun berubah menjadi sebuah kecerian penuh harapan. Lewat pengharapan inilah, iman yang sudah diyakininya itu semakin kuat. Keinginan untuk sembuh pun tumbuh dalam dirinya. Banyak sekali kesaksian yang kita dengar tentang kesembuhan yang ajaib, dimana saat para dokter ahli sudah menyerah, saat itulah kuasa Tuhan bekerja. Bila kita mau meneliti satu per satu kasus kesembuhan itu, kita bisa melihat bahwa adanya pengharapan yang besar dari si sakit akan jamahan Tuhan. Kasus lainnya, rumah tangga yang terancam buyar, karena salah satu pihak (suami/istri) berselingkuh. Bagaimana rumah tangga ini bisa diselamatkan? Ya dengan pengharapan pula. Selama suami/istri yang dikhianati mau berharap pada Tuhan agar pasangannya mau kembali kepadanya, maka tidaklah hal itu mustahil. Masih banyak kisah-kisah indah tentang pengharapan manusia pada Tuhannya.
Di sini kita bisa melihat bahwa sesungguhnya hal yang terpenting dalam kehidupan sebagai seorang katolik, bukanlah iman atau cinta kasih saja, melainkan juga pengharapan kita pada Tuhan. Dengan senantiasa berharap pada Tuhan, maka secara otomatis iman akan tumbuh dalam diri, dan dengan iman itulah kita bisa memberikan cinta kasih pada sesama kita. Agaknya percuma bila kita mengaku telah beriman dan menerapkan cinta kasih pada sesama apabila kita tidak mau/pernah berharap pada Tuhan. Bukankah semua yang kita peroleh ini adalah anugerah, sehingga sudah sewajarnya kita membagikannya pada sesama? Apalagi iman sendiri adalah suatu yang tidak kelihatan, jadi bila berharap saja kita tidak pernah/mau, bagaimana kita bisa beriman? “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya?” (Rom 8:24).
Marilah lewat Paskah ini kita mau semakin berharap pada Tuhan dalam hidup kita!
Terinsipasi oleh kotbah Minggu Paskah,
JN. Rony
20030421
Memaafkan, kata ini tergolong kata yang mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan. Seorang anak kecil yang mendapat perlakuan kejam semasa kecil dan tidak mendapat tempat dalam keluarganya, mempunyai kecenderungan untuk berbuat hal yang sama saat ia besar nanti. Keinginan untuk membalas dendam dan memperlakukan orang lain sama seperti yang ia rasakan (bahkan lebih kejam) akan tertanam dalam dirinya. Namun ada hal yang bisa mengubah semua itu, yaitu keinginan untuk memaafkan. Memaafkan dalam hal ini bukan hanya memaafkan orang lain yang telah berbuat kejam pada dirinya, melainkan juga pada dirinya sendiri.
“A Man Named Dave”, sebuah buku yang merupakan kelanjutan dari 2 buku terlaris tulisan dari Dave Pelzer, yaitu “A Child Call It” dan “The Lost Boy”. Dalam buku ini, digambarkan bagaimana perjuangan Dave Pelzer dalam hidupnya agar tidak terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya. Bagaimana ia mewujudkan cita-citanya sebagai seorang aircrew, padahal saat itu tidak berpendidikan. Bagaimana ia berusaha menghadapi kembali sosok ibunya setelah sekian lama terbebas dari kekejaman sang ibu. Dan bagaimana ia berusaha untuk mengenal kembali ayahnya di saat ajal akan menjemput ayahnya. Dan yang terpenting adalah bagaimana ia memberikan cinta pada anaknya. Dave Pelzer, sebuah sosok yang mengalami penyiksaan semasa kecil membuktikan dirinya mampu mengalahkan semuanya dengan cara tidak menyerah pada keadaan, selalu berusaha membuat yang terbaik, dan yang terpenting adalah memaafkan diri sendiri dan orang lain.
Dalam diri kita ada sosok-sosok kecil yang tersiksa seperti Dave Pelzer. Kejadian-kejadian di masa lalu yang membuat kita menjadi takut, malu, minder, emosional, atau apapun yang berusaha merusak diri kita atau orang di sekitar kita. Dibutuhkan kebohongan lain yang lebih besar untuk menutupi kebohongan saat ini, begitu yang ditulis oleh Dave. Untuk itulah kita perlu belajar untuk mengampuni, dan memang itu tidak mudah. Luka batin memang tidak mudah, apalagi jika orang-orang yang menyakiti kita sudah tidak ada (entah meninggal atau di lain kota/negara). Namun, hal itu pun masih mungkin dihapuskan dari dalam diri kita, HANYA bila kita mau mengampuni secara tulus. Setelah kita bisa mengampuni (dan memahami) orang tersebut, maka tinggal kita mengampuni diri sendiri. Dave sendiri pun bergulat dengan dirinya. Walaupun dia memaafkan ibunya, namun dia tetap merasa dialah penyebab semuanya. Dan setelah dia mau memaafkan dirinya, dia pun terbebas dari bayang-bayang masa lalunya.
Bila seorang Dave Pelzer bisa mengampuni (walau perlu perjuangan bertahun-tahun), bagaimana dengan diri kita? Apakah kita mau mengampuni orang lain, terlebih lagi diri kita sendiri? Masih banyak contoh orang-orang seperti Dave Pelzer ini… seperti teladan para martir, Santo Stefanus, dan terlebih lagi dari Tuhan kita, Yesus Kristus. Di atas kayu salib pun Ia masih sempat mengampuni, “Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”. Kembali pada diri kita, apakah kita ingin tetap berada dalam kerangkeng masa lalu dan melampiaskan dalam bentuk yang destruktif? Ataukah kita mau terbebas dari masa lalu dan berjalan dalam terang? Bila kita memilih untuk mengampuni, maka dalam segala hal, kita bisa menunjukkan bahwa kita ini anak Allah!
A Man Named Rony
20021222