Untung ataukah malang? Pertanyaan ini tidak berani kujawab, sebab memang aku tidak tahu apa yang direncanakan Tuhan. Namun memang liburan lebaran kali ini “kelihatan” aku telah salah mengambil keputusan untuk mudik. Berawal dari mepetnya keputusan untuk mudik, aku akhirnya menyetir dalam keadaan yang kurang fit dan dalam waktu yang salah. Sejak awal beberapa teman sudah mengingatkan bahwa aku akan terjebak kemacetan di penyeberangan Gilimanuk – Ketapang, dan ternyata terbukti! Untuk menyeberang saja aku butuh waktu 4 jam, padahal biasanya tidak lebih dari 1 jam, apalagi kalau jadi mobil terakhir dalam kapal, bisa hanya 45 menit saja sudah sampai di seberang. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya perjalanan kutempuh dengan waktu kurang lebih 14 jam. Perjalananku kali ini hanya demi menuntaskan misi membeli “mainan baru” untuk mencoba mengisi waktu luang dan mengurangi kebosananku. So, sepanjang liburan hanya kupergunakan untuk mempelajari “mainan baru”-ku itu.
Nah, sesudah cukup bete dengan antrian lama dan perjalanan panjang yang melelahkan itu, sesampai di Probolinggo AC mobil tiba-tiba mati. Doh! Kacau dah! Akhirnya setelah putus asa nyoba-nyoba ga berhasil, kutempuh perjalanan 4 jam tersisa dengan tanpa AC di tengah siang terik yang bukan main. Doh! Sesampai di Surabaya, segera ke Auto 2000 untuk cek AC, ternyata magnetiknya rusak dan yang bikin shock, katanya spare partnya hampir sejuta! Argh!!! Itu karena partnya ambil dari toko, karena di Auto 2000 sedang kosong. Duh, dilema juga karena toko-toko sudah banyak yang tutup karena lebaran. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu hari Senin pagi saja dan ke bengkel AC yang bisa kasih harga yang lebih bersahabat.
Senin pagi segera kutuntaskan AC dan setelah mobil bisa dapat hawa dingin nan sejuk, aku segera kembali ke Denpasar dengan harapan bisa tiba sore hari. Perjalanan kembali ternyata tak berbeda jauh dengan perjalanan ke Surabaya sebelumnya, banyak sekali para bikers (mudikers yang pakai sepeda motor) berseliweran di jalan, membuatku harus lebih berkonsentrasi. But, yeah… shit always can happen anytime. Baru saja keluar dari Probolinggo (napa ya bermasalah terus di sono?), tahu-tahu mobil di depanku berhenti mendadak! Gosh! Injak sekuat tenaga sampai mentok ternyata tidak cukup menghentikan menghentikan laju mobilku. Brak! Kap mobil Avanza menghantam bagian bawah bak pick-up Mitsubishi di depanku dan tak lama disusul suara BRAK! dari belakang. Sepintas kulihat di spion, ada motor menabrak mobilku. Argh… mati dah. Semoga ga sampai ada korban jiwa, pikirku. Ga butuh waktu lama untuk bikin jalanan yang sudah kecil itu macet dan datanglah pak polisi yang gagah dan baik hati meminta kami ber-3 (pick-up, aku dan motor) ke pos polisi yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi kejadian. Singkat cerita, muka manis bapak polisi ternyata punya tujuan tidak lain dan tidak bukan membuat kami makin lelah menunggu dan menunggu. Kemudian datanglah seorang bapak polisi yang ternyata bos di pos tersebut dan bla-bla-bla, ujung-ujungnya dia mengatakan bahwa kami semua harus pergi ke kantor polisi Probolinggo menghadap atasannya lagi dan bla-bla-bla. Kontak kami menolak dan bilang bahwa sejak awal kami tidak ada masalah satu sama lain dan kami memutuskan untuk tidak meneruskan masalah tabrakan sial tadi. Namun, si bapak polisi yang terhormat dan baik hati itu ternyata gigih dalam memperjuangkan “hukum” (yang ga jelas yang mana) dan mengatakan bahwa “seharusnya tadi tidak perlu memanggil dia dan selesaikan sendiri.” Lah? Siapa juga yang manggil dia kalo bukan anggotanya sendiri? Siapa juga yang nyuruh kami semua kumpul dan nunggu kalo bukan anggotanya? Setelah diberondong dengan “permohonan” selesaikan kasus di tempat dengan “musyawarah” barulah keluar “resep” agar kami tidak perlu pergi ke kantor polisi, yaitu dengan memberikan uang jaminan sebagai ganti kendaraan tidak ditahan, per mobil dikenakan 500 Ribu. Dieng! Itulah wajah pak polisi kita yang setia melindungi dan mengayomi masyarakat. Akhirnya karena masing-masing punya kesibukan dan hari pun makin gelap, akhirnya kami masing-masing menyerahkan uang 500 Ribu pada si bapak yang masih pasang tampang “ja-im” dan “shy-shy cat” langsung menutupi tumpukan uang di meja dengan kertas. Dasar!
Well… diperas atas nama hukum, apes banget! Padahal mobilku udah jelas parah rusaknya, masih aja diperas. Akhirnya kuteruskan perjalanan dan baru tiba di kost pukul 4 pagi! Ngeliat model aparat yang ga tau malu cuma bisa membuatku ngelus dada. Gimana negara ini mau maju kalo yang menyebut dirinya penegak hukum ternyata malah sengaja menyulitkan warga, bukannya menyelesaikan perkara secepat mungkin. Benar juga kalo ada istilah: “kalo bisa dipersulit, buat apa dipermudah?”
What can i say? Makan tuh duit pak, semoga ga bikin perut mules…
JN. Rony
20081008
Lentera Jiwa
dikutip dari: http://www.kickandy.com/index.php?ar_id=MTEzOA==
Banyak yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk meyakinkan setiap orang yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena ‘pecah kongsi’ dengan Surya Paloh, bukan karena sedang marah atau bukan dalam situasi yang tidak menyenangkan. Mungkin terasa aneh pada posisi yang tinggi, dengan ‘power’ yang luar biasa sebagai pimpinan sebuah stasiun televisi berita, tiba-tiba saya mengundurkan diri.
Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan sulit. Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak mengambil peluang beasiswa ke IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta walau harus menanggung sendiri beban uang kuliah. Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Metro TV.
Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya kagumi, sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba menganalisa mengapa saya keluar dari Metro TV. ‘’Andy ibarat ikan di dalam kolam. Ikannya terus membesar sehingga kolamnya menjadi kekecilan. Ikan tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih besar.’’
Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja, sejak lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari Metro TV. Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My Cheese. Bagi Anda yang belum baca, buku ini bercerita tentang dua kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju. Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat mereka tinggal akan habis. Karena itu, dia selalu menjaga stamina dan kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi siap mencari keju di tempat lain. Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu yakin sampai kiamat pun persediaan keju tidak akan pernah habis.
Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya ‘dipindahkan’ oleh seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka dia memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai suatu hari keju yang hilang akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci itu menunggu dan menunggu sampai kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu siap tadi sudah menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan jauh lebih banyak dibandingkan di tempat lama.
Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan mati digilas waktu.
Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah yang luar biasa yang mendorong saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar dari labirin yang selama ini membuat saya sangat nyaman karena setiap hari ‘keju’ itu sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin mengikuti ‘lentera jiwa’ saya. Memilih arah sesuai panggilan hati. Saya ingin berdiri sendiri.
Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul ‘Lentera Jiwa’ yang dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata hati saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada banyak orang. Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang kenalan saya, yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan asuransi asing, mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia merasa ‘lentera jiwanya’ ada di ajang pertunjukkan musik. Tetapi dia takut untuk melompat. Takut untuk memulai dari bawah. Dia merasa tidak siap jika kehidupan ekonominya yang sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia.
Ketika diminta untuk menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga menemukan banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka tekuni sekarang. Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi apa, ada yang jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata putus juga) atau ada yang karena solider pada teman. Tetapi yang paling banyak mengaku jurusan yang mereka tekuni sekarang — dan membuat mereka tidak bahagia — adalah karena mengikuti keinginan orangtua.
Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus 2008), kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan besar dalam hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat dan lulusan Hubungan Internasional, yang pada satu titik mengambil keputusan drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia masak memasak. Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan yang sangat dia sukai dan menghantarkannya sebagai salah satu pemandu acara masak-memasak di televisi dan kini memiliki restoran sendiri. ‘’Saya sangat bahagia dengan apa yang saya kerjakan saat ini,’’ ujarnya. Padahal, orangtuanya menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai dpilomat.
Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya mendapat beasiswa dari British Council. Kini Adit bahkan membuka sekolah animasi. Padahal, ayah dan ibunya lebih menghendaki anak tercinta mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter. Simak juga bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak sebuah perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa perusahaan. Konsultan manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di Bali dan bekerja untuk dirinya sendiri sebagai public speaker.
Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam kehidupan yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya.
Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu gembira dalam menikmati hidup. ‘’Bagi saya, bekerja itu seperti rekreasi. Gembira terus. Nggak ada capeknya,’’ ujar Yon Koeswoyo, salah satu personal Koes Plus, saat bertemu saya di kantor majalah Rolling Stone. Dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh enerji. Dinamis. Tak heran jika malam itu, saat pementasan Earthfest2008, Yon mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. Sungguh luar biasa. ‘’Semua karena saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah dunia saya. Cinta saya. Hidup saya,’’ katanya.
Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya. Berbahagialah mereka yang sudah mencapai taraf bekerja adalah berekreasi. Sebab mereka sudah menemukan lentera jiwa mereka.
—oOo—
Catatan pribadi:
Seorang CEO Wanita asal India, bernama Narayana Murthy yang merupakan salah satu pendiri Infosys Technologies (http://en.wikipedia.org/wiki/N._R._Narayana_Murthy), sebuah perusahaan IT kelas dunia pernah mengatakan demikian: “Cintailah pekerjaanmu, tapi jangan pernah jatuh cinta kepada perusahaanmu, karena kamu tidak pernah tahu kapan perusahaanmu berhenti mencintaimu”. Well… i think it’s true. Aku orang yang tidak mudah kagum pada para movitator yang saat ini bertebaran seperti jamur di musim hujan. Tung Desem Waringin, siapa tuh? Gombal BUMI menurutku. Hermawan Kertajaya, ah… dia cuma kekaguman masa laluku, sekarang tak lebih daripada pemilik team sampah spammer via email. Namun aku kagum pada orang seperti Andy F. Noya yang dengan gaya “rendah hati” tapi sanggup meluluhkan kebekuan hati. Tak heran, banyak yang menyandingkan si kribo berkacamata ini dengan presenter dunia sekelas Oprah Winfrey. Kalimat bijak dari Narayana Murthy itu sungguh cerminan dari Kick alias Tendangan si Andy. Kalimat itu juga lah yang menggugahku beberapa tahun yang lalu dan selalu berusaha untuk kuaplikasikan dalam keseharianku. Mencintai apa yang kukerjakan ternyata memang membuat langkahku terasa jauh lebih ringan. Semoga aku bisa “berani” seperti Andy F. Noya.
JN. Rony
20080903
Dalam perjalanan ke lapangan badminton kemarin, BlackTie-ku mengeluarkan bunyi ringtone “Whaaddaaaap!”. Ouw, tanda SMS dari teman, pikirku. Well, ternyata one of my ganks who called “piglet” mengirimkan kabar gembira kalau anaknya sudah lahir. Glory to the Lord! Akhirnya anak yang ditunggu-tunggu hadir juga dengan selamat. Congrats to piglet & hubby, semoga kalian bisa membina keluarga yang shakinah… ceileee… :p
One of my friends, wrote: “the most amazing job on earth : being a mom :)” about her occupation in her Friendster profile. Memang, sejak menikah dan saat ini dia sudah punya 2 anak yang lucu-lucu; temanku ini hampir tak pernah lagi banyak berkeliaran di jalanan, lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan kurasa hiburannya adalah komputer. Main game dijadikan sebagai hobi dan nge-net dijadikan sebagai sarana agar tetap kontak dengan dunia luar… hmmm… you really great mom, Clod! even you still doing wrong… hehehe :p
Ada pula temanku di PD dulu yang walau sudah punya 2 anak, namun keduanya masih tetap aktif kerja. Memang untuk mengurus anak, mereka menggunakan suster dan dibantu oleh orang tua mereka, namun sebagai orang tua, temanku itu tetap berusaha menanamkan ajaran-ajaran baik pada anaknya. As a mom, temanku ini cukup tegas pada anaknya, tanpa mengurangi rasa sayangnya. Setiap kali aku berkunjung, gemas rasanya melihat anaknya yang bisa ingat padaku; padahal kami jarang bertemu. Kadang jika bepergian bersama, anaknya kugendong… ga peduli temanku bilang nanti “pasaranku turun”. Hahaha… abis lucu banget, cukup nurut lagi tuh 🙂
Dari sekian banyak teman-teman atau orang yang kukenal yang sudah berkeluarga, memang tidak semuanya bisa “beruntung” memiliki keluarga yang berbahagia, memiliki anak yang lucu dan berbakti pada orang tuanya. Pun tidak semua orang tua bisa mendidik anaknya dengan baik dan penuh kasih sayang. Ada orang tua yang kewalahan dengan kelakuan anaknya yang tidak bisa diatur, ada pula yang mendidik dengan cara yang sangat keras. Dalam cerita kehidupan yang lain, ada pula keluarga yang tidak bisa mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka, sehingga akhirnya anak harus tumbuh dengan ayah atau ibu saja. Yang sangat disesalkan adalah orang tua yang tidak menginginkan anak dalam kehidupan mereka, kemudian membuang anak mereka atau lebih kejam lagi melakukan aborsi.
Aku adalah salah satu contoh produk anak yang dididik dengan cara yang keras sejak kecil. Tak terhitung lagi berapa kali badanku menerima pukulan-pukulan sejak aku kecil, bahkan sebelum aku duduk di bangku sekolah, aku tak ingat lagi kapan. Seingatku, sabuk adalah alat siksa pertama yang kurasakan, dilanjutkan dengan rotan dari kemoceng (sulak) yang sudah dibersihkan bulu-bulu ayamnya. Yang paling kutakuti adalah saat aku beranjak besar dan duduk di bangku SD, my dad menggunakan salah satu spare part mesin yang terbuat dari plastik padat untuk memukulku jika aku berbuat salah. Aku ingat betul, saat sekolah dulu, badanku sering penuh dengan bekas pukulan rotan yang meninggalkan luka-luka berupa 2 garis sejajar yang berwarna merah-biru lebam, kadang sampai berdarah. Untuk mengatasi rasa maluku, aku menempelnya dengan plester seolah baru jatuh. Masa-masa keras itu kulalui hingga SMA dan sempat meninggalkan luka mendalam di diriku. Namun, mungkin dasarnya aku orangnya juga bandel, aku malah menjadi lebih “kreatif” dalam menghindari hukuman-hukuman keras itu, walaupun kadang berakibat fatal jika ketahuan. Pernah aku harus makan sayuran yang ketahuan kubuang ke sampah karena tidak kusukai… hehehe… 🙂
Tidak mudah untuk bisa memaafkan. Kata suster di Pertapaan Karmel saat dulu aku sering berkonsultasi dan aktif di PD, aku mengalami luka batin yang dalam. Dengan bantuan beberapa suster, romo dan seniorku, aku berusaha mengangkat beban-beban itu. Butuh waktu cukup lama untuk bisa memaafkan kedua orang tuaku. Lewat banyak peristiwa dan pengalaman hidup, perlahan aku berusaha untuk menerima dan memaafkan. Seiring bertambahnya umur, aku pun menyadari bahwa itulah “cara” orang tuaku menyayangi kedua anaknya. Sebagai keluarga yang harus bertahan tanpa sanak saudara, kami diajar untuk bisa bertahan tanpa menggantungkan diri pada orang lain. Aku menyadari bahwa aku bisa menjadi seperti sekarang, sedikit banyak karena didikan keras dari keluarga. Walau masa kecilku bukanlah masa yang menggembirakan, namun aku cukup berterima kasih dan bangga punya orang tua yang lain daripada yang lain, keras dan berprinsip.
Hmmm… being parent tidaklah mudah, terlebih di jaman sekarang ini. Kulihat dan kurasakan anak-anak saat ini teramat sangat manja oleh karena keadaan. Dunia saat ini sudah sangat maju dan canggih, tidak lagi seperti jamanku kecil. Sebagai orang tua tentu kuyakin akan sangat dilema, menuruti anak bisa berakibat anak menjadi manja dan tidak bisa mandiri; namun bersikap keras pun salah karena kuyakin tidak semua anak bisa bertahan bila dididik dengan cara yang keras. Itulah yang membuatku salut pada beberapa temanku yang kebetulan satu per satu mulai menjadi mom or dad dari anak mereka yang lucu-lucu, dan mendidik anak-anak mereka dengan cinta namun tegas. Menanamkan pengertian akan baik dan buruk tanpa kekerasan pada anak, memerlukan perjuangan yang sangat berat dari kedua orang tua. Mungkin dulu aku sendiri ga pernah menyadari how amazing being a mom. Namun, seiring dengan waktu (maksudnya tambah tua ^_^ ) aku mulai menyadari being a mom is a most incredible job in this earth.
Be great mom and dad, everyone!
JN. Rony
20080427