Terkadang kita berpikir bahwa Tuhan melupakan kita dan aku yakin itu banyak terlintas di pikiran kita yang sedang frustasi. Demikian halnya aku waktu itu, saat menghadapi evaluasi yang amat menentukan terus tidaknya saya di kuliah. Di kampusku ada semacam “penyaringan”, diantaranya adalah evaluasi 2 tahun pertama. Syarat untuk lolos adalah nilai IPK minimal 2 dan harus lulus mata kuliah Fisika I dan Matematika I. Aku sendiri masuk kuliah dengan jurusan yang boleh dibilang “nyeleneh”, yaitu masuk ke fakultas teknik, padahal aku berasal dari jurusan sosial (A3) semasa SMA. Akibatnya syarat untuk lolos ini benar-benar membuat aku sempat frustasi pada akhirnya.
Berhubung sejak SMA kelas 2, aku nggak pernah nyicipi “kenikmatan” pelajaran Fisika, maka otomatis sejak aku kuliah, aku nggak ngerti sama sekali mata kuliah ini, yang aku senangi hanya praktikumnya saja, tapi aku juga benci dengan laporannya… Maka semester demi semester pun berlalu, dan hasil yang aku peroleh untuk Fisika dan Matematika selalu E ! Aku jadi frustasi dan nggak tahu lagi apa yang harus kulakukan, sebab jika tidak lolos, maka itu artinya aku bakalan kena Drop Out (DO) dari kuliahku. Teman-teman seperjuanganku pun satu per satu tumbang, karena memang sama-sama berlatar belakang ilmu sosial. Bila mau jujur, memang aku sendiri tergolong malas dan ditunjang dengan ketidakadaan minat di bidang ilmu Fisika serta Matematika yang njlimet itu, maka otomatis aku pun gagal terus.
Akhirnya, tibalah pada saat-saat yang menentukan, yaitu semester 4 atau semester terakhir sebelum terkena evaluasi untuk bisa lolos atau tidak. Memasuki semester ini, aku sudah sedikit frustasi dan pesimis, karena banyak teman-temanku yang pindah ke jurusan/fakultas lain ataupun berhenti kuliah, belum lagi “tekanan” dari dosen waliku yang bilang bahwa lebih baik aku pindah universitas/fakultas saja. Tetapi aku punya satu pegangan yang membuat aku tetap bertahan, yaitu semangat untuk membuktikan bahwa aku bisa lolos evaluasi ini. Dengan berbekal tekat itu dan ditambah dengan permohonan melalui doa setiap kali aku menerima ekaristi, maupun setiap kesempatan berdoa, aku mencoba untuk yang terakhir kalinya. Targetku hanya satu, yaitu lulus secukupnya saja, cukup nilai D yang aku minta pada Tuhan, tidak kurang, tidak lebih.
Pada semester 4 inilah, banyak sekali godaan yang datang padaku, seperti ajakan dari teman-teman untuk “cuti” karena merasa nggak mampu, juga rasa malas yang mulai menghinggapi aku lagi. Apalagi saat itu aku sudah tidak mempunyai teman seangkatan di kelas, karena aku ikut kelas jurusan lain dan mayoritas angkatan di bawahku. Mau tak mau, aku pun menjadi penggemar tempat duduk VIP alias depan sendiri. Lalu, aku pun mulai berpasrah pada Tuhan, entah lulus atau tidak, aku percaya bahwa Tuhan bakal memberikan yang terbaik. Pada saat ujian tengah semester, aku pun berusaha mengerjakan dengan sebaik mungkin dan sebisaku. Hanya saja aku belum yakin apakah hasilnya bagus atau tidak. Sampai menjelang ujian akhir semester, nilai-nilaiku belum keluar sama sekali. Inilah yang membuat aku semakin takut. Ajakan dari teman untuk “mundur” kuliah semakin besar dan banyak, tetapi aku nekat untuk bertahan. Akhirnya ujian akhir pun aku hadapi dan ternyata soal-soalnya sulit sekali, sampai-sampai aku bisa memastikan bahwa nilaiku pasti jelek. Aku jadi frustasi dan aku hanya bisa berdoa pada Tuhan.
Sambil menunggu pembagian kartu studi, aku terus-menerus mencari dosenku, karena semua nilai-nilaiku belum keluar sama sekali. Ternyata belum semua ujian itu diperiksa. Entah kenapa, tapi aku merasa bahwa saat itu merupakan ujian buatku dari Tuhan. Aku tidak tahu harus berbuat apalagi. Aku hanya bisa tetap mempersembahkannya dalam setiap ekaristi yang aku terima tiap minggunya. Saat pembagian kartu studi tinggal beberapa hari, aku pun mendapat kabar bahwa aku pasti lulus, tapi nilainya masih belum tahu. Aku begitu gembira dan bersyukur pada Tuhan, karena bisa lulus dan aku tidak perduli berapa pun nilainya. Aku saat itu menebak bakalan mendapat nilai D, seperti yang kudambakan selama ini. Saat kartu studiku dibagikan, alangkah terkejutnya aku. Tuhan memang begitu baiknya, Dia tidak memberikan nilai D padaku, melainkan C untuk Matematika I dan AB untuk Fisika I ! Bayangkan, seorang lulusan ilmu sosial mendapat AB untuk Fisika ! Suatu kejutan di jurusanku… karena memang kejadian ini boleh dibilang langkah.
Aku jadi tersadar bahwa memang Tuhan selalu memberikan yang terbaik buat kita. Ada satu ayat yang menjadi peganganku selama aku frustasi, yaitu “Apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Markus 11:24). Saat itu, aku berusaha untuk percaya, walaupun masih diselingi dengan perasaan ragu-ragu. Kenyataannya memang terbukti, bahwa Tuhan bukan saja mengabulkan doa kita, melainkan juga memberikan sesuatu yang tidak kita duga, sesuatu yang lebih indah daripada yang kita minta. Hanya saja semuanya itu memerlukan kesetiaan kita.
Thank’s my Lord !
17 Februari 2000
Diceritakan oleh 6954044
Paskah, selalu mengingatkan aku bahwa untuk menjadi seorang Katolik, ternyata tidak semudah dugaanku. Begitu banyak perjuangan yang aku alami untuk bisa mendapatkan selembar surat baptis, yang ternyata bagiku sudah bukan merupakan sebuah surat lagi, melainkan perjuanganku dalam mencari dan mengenal sosok yang begitu banyak merubah hidupku hingga saat ini.
Bila dilihat dari unsur keluargaku, tidak seorangpun di keluargaku yang Katolik. Papaku Kong-Hu-Cu, mamaku Kristen, tapi keduanya bisa dibilang aliran KTP saja… sedangkan aku dan kakakku waktu kecil hingga remaja adalah manusia yang masih mencari “agama” dan “aliran” masing-masing. Otomatis kami sebagai anak, ikut saja… kadang ke gereja, kadang ke klenteng. Aku sendiri, sejak TK nol besar, sudah masuk di sebuah TK Katolik, dan berlangsung hingga SMA. Mulai dari TK, aku sudah diajarkan ke gereja, karena itu adalah kegiatan rutin sekolah. Entah kenapa, aku begitu menikmatinya dan aku begitu senang ke gereja. Pada waktu SD kelas 3, aku mempunyai seorang teman yang beragama Kristen (aku baru tahu saat SMP, karena baru bisa membedakan Kristen dan Katolik saat aku SMP), dia begitu semangat dalam hal iman/agama. Dia sering sekali “menceramahi” aku soal iman Kristen dan ini berlangsung sampai kami lulus. Kalau dilihat-lihat, memang temanku ini punya bakat menjadi seorang pendeta sejak kecil… Sayangnya, kerinduanku untuk masuk Katolik itu kurang direspon dengan keberanianku untuk mengungkapkannya pada siapa pun juga. Memang, itulah salah satu kelemahanku sejak kecil, tidak berani terus terang dan kurang yakin dalam mengambil keputusan.
Memasuki kelas 2 SMP, aku “nekat” untuk bilang pada guruku bahwa aku ingin pindah kelas agama ke bagian khusus untuk Calon Katolik. Ternyata guruku mengijinkanku. Alangkah bodohnya aku ! Selama ini aku takut akan sesuatu yang semestinya mudah saja, asal aku mau mengungkapkannya. Lalu selama 2 tahun aku mengikuti pelajaran Calon Katolik dengan tekun dan bisa dibilang aku sangat tertarik. Hanya waktu itu minatku ke gereja masih rendah sekali, pergi pun jika di sana ada teman. Nah, tibalah saatnya kelas 3 SMP diadakan “pencucian” bagi yang absensinya sudah mencukupi, ternyata punyaku masih kurang, sehingga aku nggak bisa ikut baptisan. Yang bikin aku sangat kecewa adalah, ternyata absensiku itu kurang 5 buah saja ! Aku begitu terpukul, karena aku harus mengulang lagi pelajaran agama di SMA, selama 3 tahun lagi… Hal inilah yang akhirnya bikin aku jatuh bangun dalam mengikuti pelajaran agama tambahan itu.
Saat itu, ternyata dari keluargaku menunjukkan gejala-gejala yang kurang baik untukku mengikuti “kursus” agama itu. Hal itu disebabkan karena frekuensiku ke gereja semakin sering dan juga kursus agama itu tidak dimasukkan dalam jam sekolah, sehingga mengakibatkan aku sering pulang terlambat atau berangkat lebih awal. Akibatnya, saat kelas 2 SMA, aku dilarang untuk ikut berbagai macam ekstra kurikuler, sehingga mengakibatkan kursusku terhenti juga. Lalu, saat kelas 3, aku mulai mengikuti kursus lagi, sayangnya tidak bisa membantu aku untuk baptis, walaupun dengan “katabelece” absensi dari SMP. Aku pun kecewa untuk kedua kalinya. Tapi ada satu kejadian yang membuat hidupku berubah, yaitu aku mulai mengenal karismatik saat itu melalui Camping Rohani Siswa. Dari sana, tekatku untuk menjadi seorang Katolik semakin besar, hanya kurang didukung dengan relasiku dengan gereja ataupun komunitas lain, yang membuat aku jadi “kuper”.
Masuk kuliah, aku pun langsung mengambil pilihan Katolik untuk mata kuliah agama. Aku sempat bingung, karena universitasku adalah universitas umum, sehingga tidak menyelenggarakan baptisan ataupun kursus untuk baptisan. Maka, berbekal nekat dan katabelece dari SMP dan SMA, aku cari-cari informasi di gereja tetangga sekolahku dulu. Sekolahku dari TK sampai SMA ada di satu jalan, sehingga bisa dibilang seperti rumah sendiri, bagaimana tidak, 13 tahun aku menghabiskan pendidikanku di sana ! Lalu aku pun masuk ke kelas calon baptis dan ikut kelas orang dewasa. Nah, tekatku benar-benar diuji, karena di kelas kali ini, aku tidak mempunyai kewajiban sama sekali untuk datang, selain kesadaran sendiri. Mengingat jarak rumah ke gereja yang cukup jauh, maka aku benar-benar harus niat untuk dibaptis, apalagi jam kursusnya malam hari. Wah ! Kusadari, bila Tuhan nggak menguatkan aku, mungkin aku sudah “mrotol” lagi…
Tibalah Paskah tahun 1996, aku mendapat restu dari romo pembimbingku untuk dibaptis. Aku begitu gembira, karena mengingat perjuanganku untuk menjadi seorang Katolik begitu lama. Mulai dari keinginan untuk masuk Katolik dipendam selama 4 tahun, lalu ikut kelas agama selama 6 tahun, jadi total 10 tahun ! Belum lagi, tantangan dari keluargaku yang kurang simpati merespon keinginanku untuk jadi Katolik. Maka, berbekal surat ijin palsu dari orang tua (walaupun sebenarnya tidak perlu, karena aku sudah masuk kategori dewasa alias nggak butuh ijin orang tua lagi), dan wali baptis yang kurang kukenal (saat itu aku masih belum akrab dengan seorang Katolik yang bisa dijadikan panutan, sehingga untuk wali, aku “nunut” sesama teman baptisan), maka aku baptis secara diam-diam pada malam Paskah, tepatnya 6 April 1996. Hari yang begitu bersejarah buatku. Aku begitu terharu, walaupun saat itu yang mengikuti misa tengah malam sangatlah sedikit.
Sungguh, untuk “memanggul” salib ternyata tidak semudah dugaan kita. Untuk “mengambil” salib itu sendiri diperlukan perjuangan, apalagi saat “memanggul”nya dan kelak saat kita “mengenakan” salib itu untuk menang bersama Kristus. Aku sendiri merasakan begitu beratnya mengikuti Kristus, tapi bebanku itu bisa berkurang dengan bantuan Kristus sendiri. Sering kali aku jatuh bangun sebagai seorang Katolik, tetapi aku pun kemudian berusaha untuk bangun lagi, seperti halnya Kristus yang jatuh berulang-ulang saat memanggul “salib penderitaan”-Nya, tetapi tetap bangkit untuk menjadikannya “salib kemenangan”.
Bagaikan bejana yang memakan waktu lama sekali untuk dibentuk sesuai keinginan sang “Maestro”, inilah diriku, Tuhan, siap untuk Kau bentuk. Walau sering bentukku sering tidak sesuai dengan yang Kau harapkan, tetapi Engkau tak pernah bosan untuk terus mencoba membentuk aku. Semoga Tuhan memberkati kita semua !
15 Februari 2000
Nicholas – bejana tanah liat