Menjadi seorang katolik adalah “cita-cita” Nico sejak kecil, sebuah keinginan terpendam sejak Nico mengenal gereja dan ritus misa sewaktu belajar di Sekolah Dasar. Begitu kagum dan mungkin mayoritas murid di SD adalah Katolik (maklum SD Katolik sich) maka Nico pun menyimpan erat-erat keinginannya untuk bisa menjadi “satu dari antara mereka” yang bisa menerima hosti… saat itu begitu bangganya diri Nico bila membayangkan bisa maju dan menerima komuni. Keinginan terpendam itupun tercapai sudah saat Nico dibaptis dan menerima komuni pertama saat kuliah. Sesbuah perjalanan panjang, sehingga Nico begitu senang dan iapun menjadi lebih giat lagi ke gereja serta mulai aktif di organisasi katolik serta mengikuti acara-acara rohani katolik. Apalagi saat itu sedang hangat-hangatnya gerakan karismatik di kalangan muda-mudi. Tak terasa Nico pun mulai mempelajari perihal iman katolik dari buku-buku dan bertanya serta berdiskusi dengan orang-orang yang dianggapnya mengerti.
Akibat kebiasaan ini, Nico sering dijadikan semacam “kamus berjalan” alias tempat bertanya oleh teman-temannya perihal sesuatu yang menyangkut iman katolik, mulai dari hal yang kecil sampai yang sulit-sulit… ada kalanya Nico bisa menjawab pertanyaan mereka, ada kalanya juga tidak bisa menjawab dan hal ini biasanya menjadi semacam PR buatnya, sehingga untuk menghilangkan rasa penasarannya, maka Nico pun segera mencari tahu penjelasan dari pertanyaan sulit itu. Namun, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan itu, Nico sering menjawab dengan, “menurut bukunya romo ini, tertulis…”; “menurut suster itu, katanya…”; “katanya pak/bu itu, harus begini… harus begitu…”; “kalau tidak salah, aku pernah dengar/lihat kalau itu seharusnya begini… begitu…”; dan masih banyak segudang jawaban yang diberikan Nico berdasarkan referensi yang pernah diperolehnya lewat buku ataupun lewat diskusi dengan romo/awam, bahkan ada juga yang hanya dari kejadian sesaat yang dilihat atau didengarnya.
Seperti halnya Nico, kita pun seringkali menjalani kehidupan iman katolik kita dengan referensi atau “kata orang” saja. Seringkali kita tidak menyadari bahwa menjadi seorang Katolik tidak cukup hanya dengan dibaptis, menerima komuni setiap minggu, mengaku dosa setahun minimal 2 kali, atau syukur-syukur bisa menerima sakramen krisma. Kita lebih sering mengimani iman Katolik kita melalui buku, melalui kata romo kita, kata teman kita, dsb. Kita cenderung untuk mengupas iman kita sampai kulitnya saja tanpa mau merasakan sendiri bagaimana rasa dari isi iman itu sendiri… kita lebih suka mencari amannya. Bila kata orang enak, maka saya akan mencobanya… bila tidak, ya berarti saya selamat karena tidak ikut merasakan susahnya. Dalam beriman kita cenderung membebek apa yang kita dengar atau kita lihat. Memang, tidaklah salah bila kita mencari tahu perihal iman melalui buku atau referensi dari berbagai sumber. Namun, sekiranya hal itu perlu dibarengi dengan penghayatan kita. Akan percuma bila kita mengetahui segala sesuatu tentang iman, tapi kita tidak mengimaninya dalam kehidupan sehari-hari kita. Bila demikian, kita hanya akan seperti orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang hanya bertindak saleh untuk dipuji orang lain.
Mengimani secara sungguh apa yang kita lihat dan kita dengar serta kita alami dalam hidup beriman adalah lebih penting dan lebih berharga daripada seluruh fakta yang ada di sekitar kita. Dengan kata lain, bisa jadi apa yang dikatakan orang lain itu berbeda dengan pengalaman iman kita. Mengapa bisa demikian? Sebab ini masalah iman dan iman itu hanya bisa dirasakan oleh masing-masing orang yang mengimaninya. Dalam Injil saja, terdapat beberapa versi “kata orang” tentang siapakah Yesus itu. Ada yang bilang Yohanes Pembaptis, ada yang menjawab Yeremia, ada yang mengatakan Elia, ada juga yang berkomentar salah satu dari para nabi (Mat 16:14). Nah, manakah yang benar? Seandainya kita sedang bersama-sama dengan Yesus, sedang makan dan minum bersama Yesus, sedang bercakap-cakap dengan Yesus, apakah kita akan percaya dan berpendapat sama dengan yang dikatakan oleh orang-orang itu? tentu tidak bukan? Bagaimana mungkin kita yang sudah mengenal siapakah Yesus saat kita berjalan, makan dan minum, berbincang denganNya akan mengatakan Yesus adalah orang lain? Sudah selayaknyalah bila kita dekat dengan Yesus kita akan menjawab seperti Simon Petrus, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat 16:16).
Marilah kita mulai menghayati apa yang kita imani, bukan hanya menjadi pengetahuan otak kita saja, melainkan kita mau menjadikan sebagai pengetahuan hati kita. Dengan demikian, apa yang kita imani ini dapat menjadi semakin sempurna dan segala kemuliaan dapat dikembalikan hanya kepada Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus, seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang segala abad. Amin!
Selamat HUT ke-21 PDMPKK St. Petrus Paulus! Semoga Tuhan memberkati pelayanan kami.
JN. Rony
29 Juni 2001
Hari Raya Santo Petrus dan Paulus
Suatu kali Joko dimintai tolong untuk mempersiapkan suatu acara pesta. Dengan berbekal sedikit petunjuk, maka Joko bersama dengan teman-teman yang lain mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan agar pesta itu dapat berlangsung dengan baik. Pada saat itu, Joko begitu bersemangat sekali dalam mewujudkan segala rencana yang telah disusun, Joko berusaha memberikan yang terbaik, Joko ingin agar namanya tercatat sebagai penyumbang tenaga dan pikiran dengan porsi terbesar sehingga acara tersebut dapat berlangsung. Ditanamkannya dalam otak bahwa tanpa aku, semua rencana itu pasti tidak akan terwujud.
Namun, apa yang terjadi? Ternyata pada hari H-nya, seakan-akan nama Joko hilang ditelan oleh kemeriahan acara. Semua orang sudah tidak lagi menghiraukan bagusnya hiasan, tidak memuji melihat bagusnya panggung, tidak berdecak melihat bagusnya dekorasi, bagusnya apa saja… mereka semua lebih terlihat memuji para pemain yang tampil, memuji idola mereka. Joko dan teman-teman yang lain yang telah bekerja keras untuk mewujudkan pesta tersebut dari segi perlengkapan seakan tak pernah ada dan nama-nama mereka seakan tak pernah terlintas dalam pikiran para penonton yang hadir. Entah kenapa, hati Joko sungguh sakit… hatinya sungguh kecewa… Joko bertanya dan bertanya terus, mengapa? Apakah kerja kami kurang bagus? Apakah hasil kerja kami kurang sempurna? Hati Joko sungguh hancur…
Dalam hidup, sering pula kita mengalami hal yang sama. Kita telah bersusah payah mengerjakan sesuatu, namun yang dipuji adalah orang lain. Kita sebagai pendahulu sebuah pekerjaan sering dilupakan dan kejayaan kita digantikan oleh orang yang mengakhir pekerjaan kita. Kita pun sering protes, kita sering tidak terima karena kita dilupakan. Kita merasa bahwa tanpa kita maka acara tidak dapat berlangsung, tanpa kita pekerjaan tidak dapat selesai, tanpa kita sebuah organisasi tidak dapat berjalan dengan baik.
Hari ini Tuhan menegur lewat sabdaNya. Kelahiran Yohanes Pembaptis mencelikkan mataku. Yohanes telah diutus mendahului Tuhan Yesus untuk mempersiapkan jalan bagiNya. Yohanes telah diutus mendahului agar mempersiapkan dunia untuk menyambut putra Allah yang akan berkarya… Dengan kata lain, Yohaneslah yang membuat fondasi iman dan Yesus tinggal menerima buah-buah dari pekerjaan Yohanes. Lalu, apakah Yohanes protes? Apakah Yohanes sakit hati ketika murid-muridnya pergi meninggalkan dia dan mengikuti Yesus? Apakah Yohanes marah karena seketika Yesus muncul, namanya sudah dilupakan oleh orang banyak?
Tidak! Justru Yohanes begitu bangga bahwa dia dapat mempersiapkan jalan bagi seorang penebus. Dia begitu bangga dapat mengumpulkan murid-murid untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Bahkan dengan terang-terangan Yohanes berkata pada para pengikutnya, “Aku bukanlah superstar yang kalian tunggu… Superstar itu akan datang setelah ini dan aku tidak ada apa-apanya” (Kis 13:25)
Yohanes Pembaptis menyadari bahwa panggilannya bukanlah untuk menjadi bintang utama, melainkan hanya sebatas tukang dekorasi saja… Yohanes menyadari bahwa tugasnya bukanlah untuk menjadi aktor di panggung, melainkan hanyalah sebagai tukang yang mempersiapkan panggung. Yohanes menyadari bahwa keahliannya bukanlah menjadi sang tokoh, melainkan hanya mempersiapkan karpet merah sebagai jalan bagi sang tokoh. Dan itu diterimanya dan dikerjakan dengan penuh syukur!
Sering memang, orang lebih memilih menjadi Yesus ketimbang Yohanes. Orang lebih ingin jadi aktor utama (terkenal) daripada hanya menjadi aktor pengganti (dilupakan). Orang lebih memilih menjadi pemain cadangan (bermain di lapangan) daripada jadi pemain cadangan (sering tidak dimainkan). Orang lebih memilih menjadi bos (dikenal) daripada menjadi anak buah (tidak dikenal).
Peran Yesus ataupun peran Yohanes, keduanya sama-sama penting. Tanpa Yesus… apa yang dikerjakan oleh Yohanes rasanya tidak ada artinya. Sedangkan tanpa Yohanes, rasanya karya Yesus juga tidak akan berjalan baik, bahkan tidak mungkin tidak ada. Yohanes telah dipilih sejak dari kandungan untuk mempersiapkan karya Yesus. Satu yang membedakan dengan kasus Joko, yaitu Yohanes sadar bahwa apa yang dikerjakannya bukanlah untuk dirinya, melainkan untuk orang lain yang akan menggunakan “hasil karyanya” itu. Dengan penerimaan diri itulah Yohanes tetap menganggap apa yang dikerjakannya tak akan sempurna tanpa kehadiran Yesus. Dengan pemahaman diri itulah Yohanes mampu bersyukur dalam segala langkahnya, walaupun tahu nantinya dia akan dilupakan saat Yesus muncul.
Hidup bermasyarakat ini seperti sebuah kereta yang punya empat rodanya. Sebuah kereta akan berjalan dengan baik apabila keempat rodanya bundar semua dan dapat berputar dengan baik. Bila kita bisa menjalankan hidup ini seperti kereta dengan empat roda yang baik, maka hidup akan penuh dengan warna. Namun, jika salah satu roda di kereta rusak/patah, maka tentunya hidup tidak akan berputar dengan baik. Itu artinya roda depan dan belakang saling mendukung satu sama lain. Tidak bisa roda belakang ingin mendahului roda depan. Semua telah punya posisi masing-masing dan semuanya PENTING. Tidak ada satu roda yang lebih penting dari roda yang lain. Roda depan tidak lebih istimewa daripada roda belakang.
Sekarang bagaimana dengan kita? Apakah kita mampu untuk menerima posisi kita yang mungkin lebih rendah dari orang lain? Apakah kita mampu untuk menghargai pekerjaan kita yang mungkin hanya di belakang layar? Apakah kita mampu memahami talenta kita sendiri? Injil telah memberi kita pilihan, bila kita dipanggil menjadi Yohanes, apakah kita akan tetap jadi Yohanes ataukah kita memaksa menjadi Yesus?
JN. Rony
24 Juni 2001
Hari Raya Kelahiran Santo Yohanes Pembaptis
Pembalasan lebih kejam!
Kalimat ini sering kudengar dan kuucapkan,
entah dalam guyon ataupun marah…
seakan telah menjadi bagian dari diriku.
Seperti ada pepatah,
hutang uang dibayar uang, hutang nyawa dibayar nyawa.
Seperti hukum rimba,
yang kuat menang, yang lemah kalah
Kulihat diriku di masa lalu dan kini,
masih banyak mata ganti mata dan gigi ganti gigi,
bahkan lebih kejam lagi.
Terlalu sering kulakukan saat aku marah.
Hari ini Yesus berkata padaku,
Siapa menampar pipi kananmu, beri pipi kirimu!
Kasihilah musuhmu dan berdoalah baginya!
Kata-kata yang sungguh menyentakkanku.
Apalah hakku untuk membenci orang lain?
Apalah hakku untuk mengasihi orang yang kusukai saja?
Kata Yesus, Bapa saja tidak membedakan orang baik dan orang jahat…
semua Dia beri matahari dan hujan!
Lalu apalah hakku untuk membeda-bedakan?
Apa bedanya diriku dengan orang yang tidak mengenal Allah?
Aku pengikut Kristus! Aku harus beda!
Sanggupkah aku? Harus sanggup dong!
Bukankah aku telah beroleh kasih karunia yang berlimpah?
Bukankah aku telah menerima berkat penebusan yang menyelamatkan?
Lalu kenapa aku menyia-nyiakan semua itu?
Bila aku mau mengampuni orang lain…
Bila aku mau mengasihi orang lain…
Bila aku mau mengerti orang lain…
Bila aku mau memahami orang lain…
Tentunya aku pun bisa berkata,
dalam segala hal, aku bisa menunjukkan bahwa aku ini anak Allah!
Maukah aku?
Reflection from Matthew 5:38-42
JN. Rony
20010620