Frustrasi, itulah yang sering kita dengar, ucapkan, dan alami. Frustrasi digambarkan sebagai sebuah keadaan dimana orang yang mengalaminya seakan-akan sudah tidak punya harapan lagi untuk menghadapi segala sesuatu. Penyebabnya bisa bermacam-macam seiring pula dengan tindakan dan akibat yang ditimbulkan. Orang bisa melakukan apa saja bila frustrasi, padahal kalau dipikir orang bisa frustrasi karena mengalami jalan buntu, tapi kenyataannya “ide kreatif” bisa muncul saat itu. Entah ada atau tidak, orang yang frustrasi bisa membuat sebuah terobosan dengan “ide kreatif”-nya yang disalurkan secara positif. Namun yang terbanyak tentunya “ide kreatif” itu kemudian disalurkan pada hal-hal yang negatif.
Kejahatan-kejahatan yang ada di sekitar kita, kebanyakan tak lepas dari sikap frustrasi dari pelakunya. Entah itu butuh uang untuk membayar hutang, sampai butuh uang hanya untuk beli makan/minum. Frustrasi pun bisa menimbulkan korban jiwa, seperti orang yang membunuh saingannya atau orang tua yang membunuh bayinya karena belum menghendakinya (tapi kebobolan dulu), bahkan orang yang membunuh dirinya karena merasa tak kuat menjalani hidup.
Kenapa frustrasi bisa sampai terjadi? Tentunya kita harus melihat kembali pada diri sendiri dan lingkungan di sekitar kita. Lingkungan di sekitar kita dapat menjadi faktor yang dominan dalam menciptakan frustrasi. Tuntutan kerja/organisasi, kondisi perekonomian/perdagangan yang lesu, sikap yang kurang bersahabat dari orang-orang sekitar kita, dan lain sebagainya. Hal itu membuat kita seakan-akan “tidak diterima” di lingkungan itu. Bila dibiarkan terus, maka timbullah frustrasi tadi. Diri sendiri pun bisa membuat kita frustrasi, mungkin karena kita terlalu menekan dan men-target diri untuk mencapai hal-hal yang terlalu tinggi atau mungkin karena kita senantiasa menjalani hidup ini hanya untuk dan oleh diri kita tanpa mau membantu/dibantu orang lain. Pada titik tertentu, target yang terlalu tinggi akan menimbulkan sebuah kejenuhan/kekecewaan apabila kita tak berhasil menggapai target itu. Berjalan sendiri tanpa bersama orang lain pun suatu saat akan menimbulkan sebuah kekosongan diri, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Repot khan? Manusia adalah makhluk sosial, tapi masih bisa frustrasi karena bersama orang lain.
Entah apakah sekarang ini sudah menjadi trend atau tidak, tapi frustrasi saat ini diwujudkan dalam cara-cara yang “unik” dan semakin beragam. Penyebabnya pun semakin sepele (tapi pada prinsipnya semua masalah itu sepele, tinggal kita melihat dari kacamata mana). Kalau dulu orang mungkin akan frustrasi dan bunuh diri karena terlilit hutang sekian juta, tapi sekarang malah terbalik… yang hutang sekian milyar malah santai-santai, sedangkan yang cuma hutang sekian ratus ribu bisa bunuh diri atau bahkan menjual diri. Sering di surat kabar dijumpai orang membunuh tetangganya hanya lantaran tetangganya menggoda (dengan ucapan) istrinya. Bahkan pernah di televisi dikabarkan seorang anak membunuh seluruh keluarganya hanya lantaran keinginannya tidak dituruti. Di kalangan remaja pun frustrasi tak kalah heboh. Cinta ditolak, dukun pun bertindak, begitulah “sindiran” (atau mungkin motto?) yang sering dipakai. Aborsi pun bagai jamur di musim hujan, lantaran banyak pasangan muda yang sebenarnya belum (bahkan tidak!) siap berumah tangga, namun ingin “test drive” dulu. Hasilnya? Kondom bocorpun dijadikan alasan dan segala jenis pengguguran dicoba. Lalu, pernah juga dikabarkan bahwa sepasang remaja memilih mati berdua, hanya lantaran hubungan mereka tidak disetujui oleh orangtua. Masih banyak lagi contoh-contoh frustrasi yang kini tengah menghinggapi banyak orang.
Lalu bagaimana biar tidak frustrasi? Ya jangan mau frustrasi! Maksudnya, selama kita sadar dan tidak membiarkan diri kita terbawa dalam arus ke-frustrasi-an itu, maka tentunya kita bisa mengubah sebuah ke-frustrasi-an menjadi sebuah peluang. Kesadaran bahwa kita sebagai manusia yang lemah dan serba terbatas bisa menjadi obat yang mujarab agar kita tidak tertekan. Yang paling utama adalah mau menghadirkan Tuhan (dalam agama apapun yang kita yakini) ke dalam setiap langkah kita. Menyertakan-Nya dalam setiap karya dan karsa kita, bisa membuat beban kita berkurang. Apa yang kita lakukan tentunya tidak akan terwujud bila Ia tidak menghendakinya. Selain itu, teman atau sahabat bisa menjadi “tempat sampah” yang baik pula bagi segala keluh kesah kita. Mengeluh tidak selalu berarti kita menyerah begitu saja. Mengeluh kadang mengingatkan bahwa kita ini lemah dan kadang itu perlu untuk memacu kita untuk berani melangkah maju. Menjalani hidup dengan apa adanya membuat kita semakin ringan dan tak berbeban, melakukan apa yang bisa dilakukan pada hari ini dan bukan menundanya sampai besok, berpikiran positif akan segala sesuatu, serta memelihara rasa humor dalam diri kita (bahkan perlu sekali-kali mentertawakan diri sendiri) bisa menjadi obat awet muda dan obat sakit kepala yang manjur.
Frustrasi memang bisa menjangkiti setiap orang, bahkan Yesus pun pernah frustrasi di atas kayu salib, namun Ia pun menyerahkan semuanya pada Bapa di Surga. Frustrasi adalah sebuah proses yang tidak bisa dihindari, tinggal bagaimana kita mengolahnya dan membuatnya menjadi sebuah kemenangan. Sanggupkah kita menghadapi frustrasi?
“Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Masih banyak teman-temanku di sini menemaniku. Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Wajahku juga gak jelek-jelek amat, banyak yang mau. Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Paling-paling juga kalau kamu mentok, balik padaku.” – Shaden
Be Optimist!
JN. Rony
20020720