Mungkin cita-citaku ini termasuk cita-cita dari seorang anak cina SMA yang sudah kurang waras. Bagaimana tidak, saat akan lulus SMA, masa-masa dimana segala kesenangan akan datang menghampiriku, yang terpikir malah apakah bisa aku jadi seorang pastor? Apalagi saat itu aku masih belum dibaptis! Nah lho! Bahkan seorang guruku sampai tertawa mendengar penuturanku yang super duper lugu itu.
Tentunya semua itu bukannya tanpa alasan. Aku mengenal Katolik semenjak aku duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Ya, karena semenjak TK sampai lulus SMA, aku bersekolah di lingkungan sekolah Katolik yang bergengsi di kotaku ini. Apalagi saudara sepupuku mayoritas Katolik, kecuali keluargaku. Aku mulai “di-injil-i” tentang Kitab Suci dan segala isinya semenjak kelas 4 SD oleh seorang sebayaku (dan kabarnya kini ia telah menjadi seorang penginjil yang cukup sukses di Amerika). Cukup lama aku bergelut dengan hatiku sendiri sampai aku memutuskan untuk ikut pelajaran agama (katekumen) pada kelas 2 SMP. Bukannya tanpa halangan dan rintangan dalam pelajaran agama ini, ternyata baru 6 tahun kemudian, saat aku telah kuliah, baru aku berhasil dibaptis, sekaligus menerima sakramen krisma. Semuanya berawal dari sebuah retret yang cukup digandrungi anak muda saat itu, yaitu camping rohani di Pertapaan Karmel. Atas bujuk rayu seorang teman, aku memutuskan untuk memangkas liburan sekolahku demi ikut retret selama seminggu tersebut. Ternyata suasana camping begitu memukauku sehingga di tahun-tahun mendatang aku masih menyempatkan diri untuk ikut selama 6 kali berturut-turut.
Sebagai seorang anak muda yang begitu menggebu-gebu, istilah kerennya telah menerima curahan roh kudus, aku begitu semangat untuk ikut katekumen dan mulai gemar membeli dan membaca buku rohani. Saat itu buku rohani kegemaranku adalah katekismus singkat dan buku karangan Romo Pidyarto (Mempertanggungjawabkan Iman Katolik). Hampir-hampir aku menghapalkan isinya π Ditambah lagi, saat itu aku begitu terobsesi oleh 2 orang pastor, sebut saja pastor Y dan pastor E. Pastor Y begitu memukau melalui kharismanya dan pastor E adalah pastor yang saat itu cukup digandrungi di paroki karena lucu. Lewat kedua orang ini aku melihat betapa indahnya dan enaknya jadi seorang pastor. Gila khan?
Seiring dengan waktu, keinginan untuk jadi pastor tak kesampaian itu sempat memudar, terutama di masa-masa kuliah, masa yang penuh dengan tantangan dan kesibukan. Namun, lewat sebuah komunitas yang aku ikuti, aku teringat kembali pada “panggilanku” (kalau bisa disebut demikian) untuk jadi pastor. Tak terhitung berapa orang kuajak berbicara tentang ini dan tetap saja membuatku bimbang, sampai aku berkenalan dengan beberapa orang pastor yang menjadi motivatorku, salah satunya adalah pastor H. Lewat beliau, aku disarankan untuk mengadakan retret pribadi di sebuah biara, dan meminta pada seorang pater disana untuk membimbingku. Setelah berusaha meluangkan waktuku, aku nekat ke biara tersebut dan mengadakan retret pribadi untuk waktu yang belum ditentukan. Oleh pater tersebut (sebut saja pater V), aku tidak diijinkan menginap di biara dengan alasan terlalu ramai. Edan kupikir… biara aja masih dianggap terlalu ramai buatku… lalu aku menginap di rumah retret yang berada persis di belakang biara tersebut. Oleh pater V, ditunjuk frater A untuk mendampingi aku. Frater A ini kukenal saat camping di Tumpang, dan dia adalah seorang dokter gigi yang merelakan pekerjaannya untuk menjadi seorang biarawan. Retret pun dimulai dengan pekerjaan-pekerjaan sederhana, yaitu membaca 1 pasal buku “Mengikuti Jejak Kristus” (MJK) dan bermeditasi. Phew, 1 hari kulalui dengan 2 pekerjaan yang kelihatannya sederhana namun membuatku stress berat! Bagaimana tidak, dari suasana hingar-bingar kota, aku harus seorang diri berada dalam sebuah rumah retret yang mampu menampung 200 orang!
Pergulatan pun timbul, apalagi saat frater A mengajakku bersharing tentang niat panggilan tersebut… bagaimana dengan keluarga? Ya! Jujur saja aku punya masalah dengan keluarga (siapa sich yang tidak? π namun saat itu tiba-tiba timbul sebuah ketakutan untuk kehilangan… Lalu, muncul sebuah pertanyaan baru… apakah karena gagal dalam cinta? Wow! Sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak terlintas dalam benakku… Bagaimana pula dengan pekerjaan? Study? Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan dari frater A yang memojokkanku, sampai akhirnya sampai pada pertanyaan akhir, apakah ini sebuah pelarian? Diam. Hanya itu yang bisa kulakukan. Frater A bercerita, bahwa pertanyaan-pertanyaan itulah yang dulu juga dikemukakan padanya saat ia memutuskan untuk masuk ke dalam biara tersebut. Siang itu kulalui dengan kepala hampir meledak penuh dengan pertanyaan dan ketakutan.
2 hari sudah, beban di benakku semakin besar dan aku semakin bimbang akan panggilanku ini. Apakah benar? Ataukah aku hanya melihat “kenikmatan maya” dalam sosok seorang pastor? Bukankah melayani sesama itu tidak harus menjadi pastor? Bukankah untuk hidup suci juga tidak harus menjadi pastor? Pater V adalah pater yang arif dan pintar (mungkin karena sering bertapa :), sehingga ia tidak memberiku banyak tugas. Cukup dengan membaca berulang-ulang 1 pasal dalam MJK, sanggup membuatku menjadi lebih bodoh dari seekor keledai yang lupa arah. Saat kudatang ke biara, aku penuh dengan kemantapan. Tapi pada hari ketiga, saat aku memutuskan untuk mengakhiri retret, aku pulang bagaikan prajurit yang kalah perang.
Sampai kini pun, “panggilanku” tersebut masih tetap menjadi misteri. Tidak ada yang bisa menjawabnya kecuali aku sendiri. Namun, lewat beberapa pengalaman semenjak pulang dari retret pribadi tersebut, aku hanya berusaha untuk menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya. Jadi pastor atau tidak, bukanlah masalah. Masalah sesungguhnya adalah apakah kita siap menerima “panggilan” tersebut. Aku kemudian bercermin pada beberapa pastor yang kukenal, baik secara pribadi atau hanya sekedar tahu saja. Banyak pastor di kota ini yang terkesan hidup mewah. Maklum, kota besar… mau bagaimana lagi? Contoh singkat saja, ada pastor yang mau tak mau harus berkenalan dengan barang mewah dan canggih seperti handphone sampai pda, hanya karena diberi oleh umat. Apakah pemberian itu harus ditolak? Ataukah harus dibuang? Ada pula pastor makan enak setiap hari, namun semuanya itu berasal dari umat. Salah siapa? Tapi ada pula pastor yang “no reken” (tidak menganggap) walaupun kita bersikap sangat hormat untuk menyapanya. Sampai pernah kudengar ada pastor yang marah hanya karena keliru nulis nama dan gelarnya. Namun, bagiku semua itu adalah dunia nyata seorang pastor. Bukankah pastor juga seorang manusia seperti aku? Lalu mengapa aku harus menyalahkannya? Kenapa pula aku hanya melihat kejelekannya tanpa berusaha melihat kebaikan dalam dirinya? Pergulatanku dalam panggilan membuka mataku. Aktivitasku di komunitas menambah wawasanku. Aku jadi semakin mengerti seorang pastor walau tidak memahaminya. Pastor kadang hanya sebagai korban, korban dari segolongan umat yang ingin memanjakannya, serta korban dari segolongan umat yang hanya bisa menyalahkan tanpa mau tahu yang lain.
Banyak kali aku membaca pastor dikritik kanan-kiri. Borju dan mata duitan, sampai homo dan pemerkosa anak kecil. Entah benar, entah tidak, aku tidak berani untuk menghakimi. Kenapa? Karena tidak mudah menjadi seorang pastor! Dan aku mengalaminya! Begitu banyak tantangan yang harus dihadapi dan itu berasal dari diri sendiri. Bila seorang memutuskan untuk jadi pastor itu hanya karena haus harta dan kekuasaan, sungguh gila ia rela tidak kawin dan menjalani hidup di biara selama lebih dari 8 tahun! Aku tidak ingin membela para pastor, walaupun terkesan demikian. Aku hanya ingin memahami bahwa mereka seperti filmnya Wakop DKI yang terkenal, Maju Kena, Mundur Kena. Tidak semua kesalahan yang (mungkin) kita lihat adalah murni kesalahan dari pastor tersebut. Sebagai anak muda yang pernah bekerja selama setahun lebih di kamar seorang pastor, aku melihat banyak sekali peran dari umat yang menjengkelkan dan membuat pastor serba salah. Begitu banyak orangtua yang terlibat aktif di gereja, seakan-akan mendukung minggu panggilan… begitu banyak orangtua yang seakan-akan mendukung kehidupan membiara para pastor dan suster. Tapi aku tidak yakin bahwa 99% dari mereka akan RELA melepas anaknya untuk jadi pastor/suster.
Kini bisa kulihat, betapa susahnya menjadi seorang pastor. Pertama harus ada inisiatif dari diri sendiri, lalu harus menghadapi orangtua kita, sudah begitu belum tentu diterima oleh biara/seminari, kalaupun diterima masih harus hidup dalam biara/seminari selama bertahun-tahun yang artinya melepaskan semua kesenangan hidup dan segala macam harta benda, setelah itu masih harus menjalani praktek di pedalaman selama beberapa tahun. Setelah berhasil jadi pastor, masih harus “mbabu” di pedalaman lagi, syukur-syukur kalau malah dikirim study di luar negeri. Eeehhh, pas udah jadi pastor senior… masih harus tahan digodain ama umatnya. Kalau tahan, kadang malah dapat julukan mata duitan, kejam, dll… tapi kalau sampai “keplas” (keluar)… malah dicaci-maki dan dihina. Belum lagi ntar kalo udah tua bangka plus pensiun… phew… syukur-syukur kalau masih dibesuk ama umatnya. Yang terjadi malah, umat rame-rame membesuk hanya pas pengakuan dosa menjelang Natal dan Paskah, sampai-sampai pastor lain yang lebih muda, bisa menikmati ranjang pastoran lebih awal beberapa jam ketimbang pastor tua yang jalan saja harus dituntun ama suster. Hmmmm…. susah banget ya jadi pastor? Kadang aku aku bernostalgia, aku jadi ngeri… kenapa kok bisa-bisanya aku ingin jadi pastor? Mungkin aku lagi goblok-gobloknya…. khan mendingan jadi umat yang kerjaannya ngeritik para pastor? Bukankah itu lebih mudah?
Pastor memang bukan malaikat, namun bukan berarti pastor itu bertanduk dan berekor sambil bawa trisula… ada pastor yang baik dan ada pula pastor yang ndak baik. Namun dari yang ndak baik itu pun tidak semuanya karena kesalahan pribadi sang pastor. Aku jadi teringat beberapa minggu lalu saat aku akan bertugas dan koster menyerahkan secarik kertas berisi intensi misa pada pastor. Intensi itu tidak seperti biasanya berupa amplop, namun hanya secarik kertas alias gak ada duitnya! Dan tahu apa yang terjadi, malah seorang ibu yang juga bertugas nyeletuk, “Wes gitu thok? Gak onok duit’e?” (Udah, gitu aja? Tidak ada uangnya?) Nah!
NB: Aku pernah penasaran apakah Yudas Iskariot itu benar-benar bersalah telah mengkhianati Yesus? Dan aku telah menemukan jawabannya!
Dipersembahkan untuk keteguhan panggilan seorang pastor,
JN. Rony
20021010
yang gagal jadi pastor