Memaafkan, kata ini tergolong kata yang mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan. Seorang anak kecil yang mendapat perlakuan kejam semasa kecil dan tidak mendapat tempat dalam keluarganya, mempunyai kecenderungan untuk berbuat hal yang sama saat ia besar nanti. Keinginan untuk membalas dendam dan memperlakukan orang lain sama seperti yang ia rasakan (bahkan lebih kejam) akan tertanam dalam dirinya. Namun ada hal yang bisa mengubah semua itu, yaitu keinginan untuk memaafkan. Memaafkan dalam hal ini bukan hanya memaafkan orang lain yang telah berbuat kejam pada dirinya, melainkan juga pada dirinya sendiri.
“A Man Named Dave”, sebuah buku yang merupakan kelanjutan dari 2 buku terlaris tulisan dari Dave Pelzer, yaitu “A Child Call It” dan “The Lost Boy”. Dalam buku ini, digambarkan bagaimana perjuangan Dave Pelzer dalam hidupnya agar tidak terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya. Bagaimana ia mewujudkan cita-citanya sebagai seorang aircrew, padahal saat itu tidak berpendidikan. Bagaimana ia berusaha menghadapi kembali sosok ibunya setelah sekian lama terbebas dari kekejaman sang ibu. Dan bagaimana ia berusaha untuk mengenal kembali ayahnya di saat ajal akan menjemput ayahnya. Dan yang terpenting adalah bagaimana ia memberikan cinta pada anaknya. Dave Pelzer, sebuah sosok yang mengalami penyiksaan semasa kecil membuktikan dirinya mampu mengalahkan semuanya dengan cara tidak menyerah pada keadaan, selalu berusaha membuat yang terbaik, dan yang terpenting adalah memaafkan diri sendiri dan orang lain.
Dalam diri kita ada sosok-sosok kecil yang tersiksa seperti Dave Pelzer. Kejadian-kejadian di masa lalu yang membuat kita menjadi takut, malu, minder, emosional, atau apapun yang berusaha merusak diri kita atau orang di sekitar kita. Dibutuhkan kebohongan lain yang lebih besar untuk menutupi kebohongan saat ini, begitu yang ditulis oleh Dave. Untuk itulah kita perlu belajar untuk mengampuni, dan memang itu tidak mudah. Luka batin memang tidak mudah, apalagi jika orang-orang yang menyakiti kita sudah tidak ada (entah meninggal atau di lain kota/negara). Namun, hal itu pun masih mungkin dihapuskan dari dalam diri kita, HANYA bila kita mau mengampuni secara tulus. Setelah kita bisa mengampuni (dan memahami) orang tersebut, maka tinggal kita mengampuni diri sendiri. Dave sendiri pun bergulat dengan dirinya. Walaupun dia memaafkan ibunya, namun dia tetap merasa dialah penyebab semuanya. Dan setelah dia mau memaafkan dirinya, dia pun terbebas dari bayang-bayang masa lalunya.
Bila seorang Dave Pelzer bisa mengampuni (walau perlu perjuangan bertahun-tahun), bagaimana dengan diri kita? Apakah kita mau mengampuni orang lain, terlebih lagi diri kita sendiri? Masih banyak contoh orang-orang seperti Dave Pelzer ini… seperti teladan para martir, Santo Stefanus, dan terlebih lagi dari Tuhan kita, Yesus Kristus. Di atas kayu salib pun Ia masih sempat mengampuni, “Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”. Kembali pada diri kita, apakah kita ingin tetap berada dalam kerangkeng masa lalu dan melampiaskan dalam bentuk yang destruktif? Ataukah kita mau terbebas dari masa lalu dan berjalan dalam terang? Bila kita memilih untuk mengampuni, maka dalam segala hal, kita bisa menunjukkan bahwa kita ini anak Allah!
A Man Named Rony
20021222