Menjadi seorang Katolik tidaklah mudah. Yang jelas, tugas kita setelah dibaptis bukanlah wajib pergi ke gereja tiap hari Minggu saja. Begitu banyak tugas yang menanti di depan mata kita. Ada (bahkan banyak! ๐ yang bilang kalau ikut katolik itu membosankan dan monoton. Bagaimana kita sebagai seorang katolik menjawab tantangan itu? Tentunya dimulai bagaimana diri kita menyikapi dan bertindak sebagai seorang katolik. Dulu, yang namanya misa itu ya begitu-begitu saja. Kini dengan segala kreativitas, misa mampu dihidupkan dengan cara-cara yang unik. Kalau dulu retret itu dianggap “liburan” yang membosankan, sekarang justru orang berbondong-bondong untuk mengikuti retret, bahkan ada yang tak peduli berapa jauh lokasi retretnya. Selama semua itu dijalankan dengan benar dan tidak menyimpang dari ajaran-ajaran katolik, hal itu tidaklah perlu untuk dipermasalahkan. Apalagi bila hal baru itu mampu membuat orang menjadi lebih baik, jadi… mengapa tidak?
Ada kalanya dalam perjalanan waktu, kita mengalami cobaan-cobaan yang sering membuat kita jadi stress, down, frustrasi, bahkan bila kita tidak kuat, bisa-bisa ngambek jadi katolik. Bagaimana pula kita mengatasinya? Tak jarang kita merasa kecewa saat iman yang kita miliki tidak sanggup untuk menyelamatkan dari masalah-masalah yang menghimpit kita. Kita sering protes pada Tuhan, “kenapa harus aku? Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa Tuhan tidak mau mengabulkan doaku? dst.” Ada hal yang sering kali kita lupakan, yaitu “rencana kita bukanlah rencana Tuhan” (bdk. Yes 55:8). Lalu, apakah ini berarti iman tidak lagi bisa menyelamatkan kita? Tentu saja YA! Namun untuk menuju keselamatan itu sendiri, tidaklah cukup hanya dengan iman saja. Bahkan bisa dibilang iman tidak lagi berperan utama dalam “jalan menuju keselamatan” tersebut. Kok bisa? Tentu saja! Sebab ada hal yang lebih mendasar lagi, yaitu Pengharapan!
Suatu waktu, ada seorang teman yang tiba-tiba jatuh sakit. Setelah melewati sekian waktu untuk pengobatan, ternyata tak kunjung sembuh. Dalam kesakitannya yang berlarut-larut itu, dia terus berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa imannya akan menyembuhkan dia. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa Tuhan akan menyembuhkannya secara ajaib karena dirinya adalah seorang katolik. Namun, sayangnya iman yang ingin diyakininya itu tidak disertai dengan sebuah pengharapan. Dalam dirinya begitu pesimis bisa sembuh, mengingat vonis dokter yang sudah angkat tangan, yang membuatnya seolah tiada harapan sembuh lagi. Hari demi hari berlalu dan fisiknya semakin lemah, hingga pada suatu saat lewat sebuah peristiwa dia mendapatkan keyakinan untuk berharap pada Tuhan. Dengan menumbuhkan pengharapan itu, semakin hari dirinya pun berubah. Kesedihan pun berubah menjadi sebuah kecerian penuh harapan. Lewat pengharapan inilah, iman yang sudah diyakininya itu semakin kuat. Keinginan untuk sembuh pun tumbuh dalam dirinya. Banyak sekali kesaksian yang kita dengar tentang kesembuhan yang ajaib, dimana saat para dokter ahli sudah menyerah, saat itulah kuasa Tuhan bekerja. Bila kita mau meneliti satu per satu kasus kesembuhan itu, kita bisa melihat bahwa adanya pengharapan yang besar dari si sakit akan jamahan Tuhan. Kasus lainnya, rumah tangga yang terancam buyar, karena salah satu pihak (suami/istri) berselingkuh. Bagaimana rumah tangga ini bisa diselamatkan? Ya dengan pengharapan pula. Selama suami/istri yang dikhianati mau berharap pada Tuhan agar pasangannya mau kembali kepadanya, maka tidaklah hal itu mustahil. Masih banyak kisah-kisah indah tentang pengharapan manusia pada Tuhannya.
Di sini kita bisa melihat bahwa sesungguhnya hal yang terpenting dalam kehidupan sebagai seorang katolik, bukanlah iman atau cinta kasih saja, melainkan juga pengharapan kita pada Tuhan. Dengan senantiasa berharap pada Tuhan, maka secara otomatis iman akan tumbuh dalam diri, dan dengan iman itulah kita bisa memberikan cinta kasih pada sesama kita. Agaknya percuma bila kita mengaku telah beriman dan menerapkan cinta kasih pada sesama apabila kita tidak mau/pernah berharap pada Tuhan. Bukankah semua yang kita peroleh ini adalah anugerah, sehingga sudah sewajarnya kita membagikannya pada sesama? Apalagi iman sendiri adalah suatu yang tidak kelihatan, jadi bila berharap saja kita tidak pernah/mau, bagaimana kita bisa beriman? “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya?” (Rom 8:24).
Marilah lewat Paskah ini kita mau semakin berharap pada Tuhan dalam hidup kita!
Terinsipasi oleh kotbah Minggu Paskah,
JN. Rony
20030421
Selama ini Paskah selalu bermakna dalam untukku pribadi. Bermakna dalam karena pada hari raya inilah diriku telah ditebus oleh Yesus sendiri. Pada hari raya inilah aku “dimatikan” dan kemudian “dihidupkan” lagi kehidupan yang baru sebagai seorang Katolik. Kuingat betul masa-masa perjuanganku untuk menjadi seorang katolik, sebuah masa yang tidak singkat. Tuhan betul-betul mengujiku selama 10 tahun demi melihat kesungguhanku untuk menjadi pengikutNya. Kuingat persis 7 tahun yang lalu, pada misa malam Paskah, dimana diriku mengenakan setelan putih-putih, dengan bangga mengikuti misa malam itu bersama dengan teman-teman calon baptisan yang lain. Masih terngiang di telingaku saat nama baptisku dipanggil, “Nicholas, aku membaptis engkau dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus” dan dengan tegas kukatakan “AMIN!” Kuingat betul peristiwa penting dalam hidupku itu, seakan baru terjadi kemarin. Selama 7 tahun ini pula, aku jatuh bangun dalam iman yang telah kupilih ini. Selama 7 tahun pula, aku merasakan berkat Tuhan yang begitu melimpah dalam hidupku. Dalam suka dan duka yang kualami, aku merasakan bahwa ada yang berubah dalam hidupku! Begitu banyak pengalaman yang kudapat dalam kehidupanku sebagai orang Katolik. Dalam tubuh Gereja, begitu banyak misteri dan pengetahuan yang bisa kugali. Sadar atau tidak, semua pengalaman itu turut membentuk diriku.
Dulu, aku pernah beranggapan betapa beruntungnya teman-temanku yang baptis bayi. Mereka tidak perlu repot dan bingung untuk jadi katekumen, mereka tidak perlu pusing mengumpulkan tanda tangan romo sehabis misa, mereka bisa bermain atau pulang rumah di saat para katekumen mengikuti pelajaran agama tambahan setelah jam sekolah usai, dan masih banyak lagi “keberuntungan” yang kulihat pada mereka. Tapi ternyata pandanganku itu AMAT SANGAT keliru. Justru dari perjalananku itulah, aku melihat bahwa mereka yang baptis dewasa mendapatkan lebih dari sekedar “percikan air” saat baptis. Kami dipersiapkan dan diperkenalkan pada arti menjadi murid Kristus yang sesungguhnya. Iman adalah hak dan pilihan tiap individu. Seorang anak kecil tentu tidak bisa memilih atau menolak keputusan orang tuanya yang ingin anaknya jadi Katolik, dan ini tidak salah! Namun sekali anak itu dibaptis, orang tua berkewajiban penuh untuk menjadi katekis bagi anaknya. Bila tidak, apalah artinya anak itu dibaptis?
Paskah 2003 baru saja kulalui. Tahun ini aku merayakan kemenangan Kristus ini lain dari tahun-tahun sebelumnya. Bila selama ini aku selalu mengikuti Pekan Suci bersama dengan banyak teman dan diakhiri dengan makan bersama sepulang dari Misa Malam Paskah, maka tahun ini aku lebih menyepi. Hanya ditemani oleh seorang teman, aku merayakan Pekan Suci di gereja tempat aku dulu dibaptis. Aku ingin mengenang masa lalu, dimana aku pun dibaptis dalam suasana yang sepi. Waktu itu aku baptis di misa paling malam, gereja tidak penuh dengan umat, kursi-kursi di luar sampai tidak terpakai ditambah hanya ada seorang teman (selain para baptisan baru) yang memberikan selamat padaku saat itu. Sungguh indah! Masa 7 tahun yang lalu seolah terputar kembali dalam ingatanku saat acara pembaptisan di Misa Malam Paskah, Sabtu kemarin.
Ya Tuhan, terima kasih kasih dan pengorbanan yang Kau berikan pada kami, umatMu yang berdosa ini. Aku mohon dampingilah kami semua agar kami dapat menjadi umatMu yang layak untuk dibanggakan di dunia ini, umatMu pantas untuk memperluas kerajaanMu. Aku berdoa bagi mereka yang memiliki kerinduan untuk mengikuti Engkau, kiranya kerinduan itu dapat tetap ada sampai akhirnya mereka pun dapat menjadi bagian dari GerejaMu. Aku berdoa pula untuk para gembalamu di dunia, romo, suster, dan frater; kiranya mereka dapat menjadi gembala yang bijaksana bagi kami. Amin.
Kristus telah bangkit! Aleluya!
Selamat Paskah!
20 April 2003, pada ulang tahun pembaptisan
Nicholas