Natal kali ini berbeda dengan Natal yang sudah kulalui sebelumnya. Selama aku menjadi seorang Katolik, aku selalu merayakan Natal di kota kelahiranku. Itupun selalu misa di 2 tempat saja, kalau tidak di gereja tempatku dibaptis, ya di katedral saat aku bertugas bersama koor. Namun, Natal kali ini aku merayakan di tempat yang sama sekali tidak pernah kupikirkan sebelumnya, Bali. Pertama karena aku lebih suka merayakan Natal di gereja masa kecilku dan kedua karena aku paling malas ke Bali saat liburan bersama, terlalu macet buatku.
Beberapa hari menjelang Natal kemarin, aku cukup disibukkan dengan beberapa kegiatan, praktis membuatku cukup sibuk dan capek karena harus pulang ke kost cukup larut malam. Di kala kesibukan tersebut, aku mendapatkan sesuatu yang lain dalam Natal kali ini, pohon Natal dan kaos kaki Natal! Seorang teman memberiku pohon Natal mini yang bertaburan salju, sedangkan seorang teman lain memberikan bingkisan dan kaos kaki Natal. Mungkin inilah hadiah dari Tuhan buatku. Memang Natal kali ini tidaklah semeriah merayakan Natal di Surabaya, bisa bertemu dan bernostalgia dengan teman-teman lama saat bertemu di misa malam Natal, namun Tuhan memberikan hadiah Natal lewat beberapa orang yang kukenal di sini. Belum lagi beberapa teman baikku bisa berkumpul di Bali, berlibur sekalian merayakan Natal di sini.
Suasana Natal di Bali tahun ini agak meleset dari dugaanku. Melihat kondisi lebaran kemarin dan stok tiket pesawat serta hotel 2 minggu lalu yang habis, seharusnya Natal kali ini Bali pun akan macet dan penuh dengan turis. Tapi ternyata dugaan tersebut meleset. Menjelang libur Natal, ternyata banyak tiket pesawat yang batal terbang dan kemudian dijual murah, begitu juga dengan kamar-kamar hotel, tidak lagi penuh seperti sebelumnya. Kondisi jalanan di Bali pun tidak banyak kendaraan pendatang. Hal ini mungkin berkaitan dengan “travel warning” yang dikeluarkan oleh beberapa negara agar warganya tidak berkunjung ke Indonesia, berkaitan dengan ancaman bom di hotel Hilton.
Malam Natal kemarin kuperingati dengan misa bersama teman-teman di Katedral Denpasar. Suasana misa malam Natal di Bali memang berbeda dengan Surabaya. Hampir semua gereja penuh sesak, mengingat jumlah gereja yang tidak begitu banyak dan jadwal misa yang paling banyak hanya 2 kali untuk setiap gereja. Bandingkan dengan Surabaya yang jumlah gerejanya lebih banyak dan jadwal misa bisa sampai 3 kali tiap gereja. Belum lagi daya tampung di mayoritas gereja di Bali sangat kecil dibandingkan di Surabaya. Inilah yang membuat misa malam Natal di Bali begitu penuh sesak dan katedral adalah gereja dengan kapasitas paling besar di sini. Berkaitan dengan teror bom di beberapa tempat, pengamanan di Katedral Denpasar pun begitu ketat. Setiap pengunjung yang masuk dan membawa tas, digeledah oleh aparat kepolisian yang sudah berjaga di pintu masuk gereja. Lalu saat masuk ke gedung, setiap orang diwajibkan melewati pintu detektor. Pihak kepolisian serasa tidak ingin “kecolongan” lagi, terbutki dengan begitu banyaknya personel yang diturunkan pada saat malam Natal. Saat misa, suasana pun terasa berbeda, mungkin memang aku terlalu membanding-bandingkan dengan suasana di kampung halaman dan tentunya pasti berbeda. Namun, aku sadar bahwa aku harus mencoba menerima perbedaan tersebut. Sesuai misa, aku bersama dengan rombongan kecil pergi makan malam bersama sambil ngobrol santai.
Well, suasana Natal kali ini memang berbeda. Namun, setidaknya aku tetap bisa merayakannya dengan sehat bersama dengan beberapa teman. Inilah karunia Tuhan yang kuperoleh sebagai hadiah Natal untukku. Masih banyak orang-orang yang tidak bisa merayakan Natal karena berbagai alasan. Aku berharap, semoga damai Natal kali ini dapat memberiku semangat untuk terus bertahan di kota ini.
Selamat Natal semuanya!
JN. Rony
20041226
Minggu malam kemarin adalah malam penentuan pemenang Penghuni Terakhir, yang hadiahnya berupa rumah senilai kurang lebih 1 Milyar. Di acara yang disebut sebagai Mega Realiti Drama ini para peserta dikumpulkan di rumah tersebut dan hidup bersama selama 100 hari. Acara ini mungkin boleh dikatakan sebagai “pengekor” dari acara yang melibatkan banyak peserta lainnya, yang mulai marak sejak digebernya acara AFI. Sejak itu memang banyak bermunculan acara serupa seperti Indonesian Idol, KDI, dan salah satunya Penghuni Terakhir (PeTir) ini. Aku pribadi tidak selalu mengikuti acara-acara ini karena memang kurang suka, dan aku melihat banyak di antara acara-acara itu terkesan “maksa” mempopulerkan para pesertanya. Namun, khusus untuk acara Rumah Petir ini aku melihat sebagai satu acara yang cukup unik.
Rumah Petir, begitulah istilah dari para peserta acara Penghuni Terakhir yang “dipaksa” hidup serumah tanpa akses ke dunia luar selama 100 hari. Para peserta dijaring dari berbagai kota dan kemudian dari sekian banyak peserta dipilihnya 14 orang penghuni yang saling bersaing untuk menjadi seorang Penghuni Terakhir di rumah mewah tersebut. Hari demi hari dilalui oleh para peserta dengan berbagai aturan yang ditetapkan, lalu pada minggu tertentu mulailah dilakukan “ekstradisi” yaitu pengurangan peserta. Dalam rumah inilah aku melihat banyak sisi kehidupan manusia yang bisa kita lihat dan kita renungkan. Seperti yang dituturkan oleh Mahdi, seorang finalis Petir pada saat detik-detik menjelang pengumuman pemenang, bahwa walaupun di layar televisi terkesan bahagia satu sama lain, namun di rumah itu bagaikan neraka. Well… memang demikian. Dengan sekian banyak peserta, mereka adalah manusia dengan latar belakang berbeda satu sama lain, berbeda adat, agama, keyakinan, motivasi, pola berpikir, cara berbicara, tingkah laku, dsb. Lalu masing-masing pribadi walaupun punya tujuan yang sama, yaitu memenangkan rumah 1 Milyar itu, tapi punya cara yang berbeda untuk mewujudkan tujuannya itu. Saat awal-awal para peserta berkumpul, terlihat jelas ada yang sabar, ada yang pemarah, ada yang lemah gemulai, ada yang supel, ada yang tegas, dsb. Itulah karakter pada penghuni dan selain itu juga bisa kita lihat berbagai cara mereka untuk memperoleh dukungan, mulai dari yang ingin membahagiakan keluarga, menyumbang orang tak mampu, membangun sistem keadilan, dsb. Semua janji-janji indah mereka ucapkan agar memperoleh simpati dari para pemirsa dan mendukung mereka lewat SMS.
Selama beberapa minggu terakhir aku mencoba merenungkan Rumah Petir ini ke dalam kehidupan nyata. Apa yang kita lihat dalam acara tersebut adalah pencerminan kehidupan nyata sehari-hari. Walaupun tanpa ada hadiah rumah mewah, namun dalam keseharian kita, entah di dalam lingkungan masyarakat tempat tinggal kita, dalam kelompok atau organisasi yang kita ikuti, atau di tempat kerja kita; di sanalah terdapat Rumah Petir kita. Masing-masing dari kita mungkin bisa mewakili salah satu dari para peserta di acara itu. Entah seperti Mahdi, Ester, Indri, Alex, Yohan, Iksan, kang Asep, Juli, atau lainnya. Masing-masing punya problem dan karakter tersendiri dalam menjalani hidup dan motivasi yang berbeda dalam mencapai tujuan.
Bila kita mengikuti latar belakang dan cara para penghuni Rumah Petir dalam mewujudkan impiannya, kita akan melihat beragam motivasi dari masing-masing penghuni yang disertai dengan “janji manis” jika keluar sebagai pemenang. Sadar atau tidak, itu pulalah yang kita lakukan saat kita ingin mewujudkan tujuan kita dalam kehidupan sehari-hari, entah di dalam pekerjaan atau di masyarakat. Hati orang siapa yang tahu, begitu kata pepatah; berlaku juga bagi pertarungan menjadi seorang penghuni terakhir. Namun, lewat acara Rumah Petir inilah kita bisa mencoba merefleksi diri kita, karena di dalam acara ini kita akan bisa melihat sisi lain dari seorang manusia. Ambillah contoh kang Asep, yang terkenal dengan kekaleman sikapnya dan pembawaannya yang tenang dan penengah dalam situasi konflik, pun dapat “marah” dan terbawa emosi yang “tak pantas”; terutama saat Ester ter-ekstradisi oleh Mahdi dan saat kang Asep tidak diselamatkan oleh Indri yang kemudian di-ekstradisi oleh Alex. Lalu bagaimana seorang Juli, yang dengan tingkahnya yang “agak kewanitaan” dan sering dipandang sebelah mata, bisa mempunyai dewi fortuna yang begitu besar, terbukti dia sudah ter-ekstradisi pada pertengahan acara, namun serasa mendapat “durian runtuh” saat mendapatkan amnesti dan bisa kembali bermain di rumah petir bahkan bisa bertahan hingga masuk ke posisi finalis 3 besar; padahal Juli adalah peserta yang hampir selalu mendapatkan polling SMS paling rendah, lebih sering kalah dalam game daripada menang, tidak pernah jadi bos, dan tidak pernah jadi pemegang kunci. Lalu, kita lihat Indri, satu-satunya peserta wanita yang bisa bertahan hingga 4 posisi besar, bersaing dengan ketat melawan dominasi pria, walaupun sayangnya harus ter-ekstradisi menjelang 3 besar. Masih banyak lagi profil-profil unik yang bisa kita lihat dan tanpa kita sadari… diri kitalah yang terpampang pada layar kaca itu.
Dalam keseharian, orang sering menilai kita dari sikap kita. Tak jarang orang lain pun ingin diri kita bertindak seperti yang diinginkannya. Hal ini tercermin pada permainan Rumah Petir, dengan adanya kubu-kubu dari peserta yang punya kans besar untuk menang. Para peserta kuat saling melakukan lobi-lobi untuk mendapatkan dukungan dari para peserta yang “no hope” atau miskin dukungan sms dan jarang menang dalam game. Saat malam ekstradisi, biasanya peserta yang duduk di 3 bangku posisi terendah akan berusaha mengingatkan “hutang budi” yang dimiliki oleh pemegang kunci agar bisa diselamatkan dan yang dimiliki oleh bos agar tidak di-ekstradisi. Kadang ekspresi kekecewaan pun tak bisa dibendung saat seorang peserta harus keluar dari permainan, apalagi saat dia merasa “dikhianati” oleh temannya. Mungkin dalam pekerjaan pun kita akan mengalami hal demikian, bisa jadi kita marah dan kecewa saat seorang rekan kerja yang selama ini dekat, tiba-tiba berbalik melawan kita. Atau mungkin dalam kehidupan bersosialisasi, kita pun sering marah dan kecewa saat seorang teman tiba-tiba bertindak tidak sesuai yang kita harapkan. Bahkan ada satu pendapat dari seorang peserta yang diliputi rasa frustrasi: “tidak tahu lagi siapa kawan, siapa lawan”.
Drama kehidupan dalam permainan Rumah Petir mungkin sudah berakhir (dan rencananya akan dilanjutkan dengan Rumah Petir 2), namun kita dapat mengambil hikmah dari kehidupan bersama yang dijalani oleh para peserta. Dalam drama kehidupan dalam permainan ini kita pun bisa melihat sisi positif dari peserta, bagaimana sikap mereka bisa berubah (dibandingkan saat pertama kali menginjak Rumah Petir), bagaimana sisi persahabatan antar penghuni, bagaimana cara menghadapi suatu masalah, bagaimana cara bertanding dalam game. Siapapun yang akhirnya menang, tentunya punya “beban” membayar “hutang janji”-nya pada keluarga, teman, bahkan masyarakat yang sudah mendukung dia. Jangan seperti yang ditanyakan oleh seorang juri (yang juga psikolog), “apakah kamu seperti orang yang akan terjun payung; saat mau terjun berdoa: Tuhan kalo saya selamat sampai di bawah saya akan potong sapi; saat payung sudah terbuka, doanya diganti: potong kambing; dan saat sudah mendarat: potong ayam dech”. Inilah fenomena yang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bahkan mungkin diri kita pun sering melakukannya! Kita sering berjanji ini-itu saat kita dihadapkan pada seuntai “benang kusut”, namun saat benang berangsur terurai, janji pun dikoreksi.
Tak terasa Natal dan Tahun Baru akan tiba dalam hitungan hari. Sebagai seorang Katolik, aku pribadi punya “hutang janji” pada Tuhan yang sudah rela turun ke dunia dan mau hidup seperti manusia. Sebagai seorang pribadi, aku pun punya kewajiban dalam menyambut Tahun Baru. Tahun 2004 akan segera berakhir dan di tahun inilah aku akan meninggalkan jejak-jejak langkah kaki yang sudah kutempuh selama 1 tahun. Berbagai peristiwa dan kenangan sudah kualami, baik itu berupa kenangan pahit atau prestasi yang menggembirakan. Dalam tahun 2004 ini pula banyak hal tak terduga telah terjadi dalam hidupku; dimana aku melakukan banyak sekali “hal gila” yang sebelumnya tak pernah terpikir untuk kulakukan, namun juga aku pun banyak tidak melakukan hal yang seharusnya kulakukan.
Yang pasti… Rumah Petir memberiku 3 inspirasi dan semangat, dimana kita dituntut untuk bermain “segila” mungkin dalam setiap “game of life”. Tidak perlu memusingkan akan menang atau kalah, namun persembahkanlah permainan yang cantik dan yang terbaik dari yang kita punya. Yang kedua adalah bertindaklah seperti diri sendiri, jangan menggunakan topeng. Menjadi diri sendiri akan lebih berharga, sekalipun konsekuensinya adalah dibenci orang lain karena dianggap tidak sejalan. Dan yang terpenting adalah menyerahkan semua proses dan hasilnya pada penyelengaraan Ilahi, karena tanpa berkat dan rahmat Allah, sekeras apapun perjuangan kita tidaklah berhasil.
Pagi ini aku mendapat hadiah ulang tahun yang telat dari seorang teman di Surabaya berupa pohon natal mini yang bertaburkan salju. Aku memang telah lama mengidamkan memiliki sebuah pohon Natal, namun tak pernah kesampaian. Pohon Natal mini ini, walaupun sederhana, namun sangat memberikan kesejukan padaku saat memandangnya. Memang Natal tahun ini agak berbeda bagiku, dimana aku akan merayakannya jauh dari kampung halaman. Aku akan merayakan Natal di tempat lebih sunyi, lebih sepi, dimana aku tidak mengenal banyak orang. Namun, sekali lagi aku percaya bahwa Tuhan punya jalan untukku. Tuhan telah menyiapkan sebuah Rumah Petir untukku di tempat ini. Di kota inilah aku diuji kemampuan, ketahanan, dan keuletanku untuk menjadi seorang pemenang.
Natal semakin dekat… akan kujalani dalam Rumah Petir-ku diiringi dengan lagu Christmas Auld Lang Syne-nya Marc Anthonty:
When mistletoe and tinsel glow
Paint a yuletide valentine
Back home I go to those I know
For a Christmas Auld Lang SyneAnd as we gather ’round the tree
Our voices all combine
In sweet accord, to thank the Lord
For a Christmas Auld Lang SyneWhen sleigh bells ring, and choirs sing
And the children’s faces shine
With each new toy, we share their joy
With a Christmas Auld Lang SyneWe sing his praises, day of days
And pray next year this time
We’ll all be here, to share the cheer
Of a Christmas Auld Lang SyneIn sweet accord, to thank the Lord
For a Christmas Auld Lang Syne
Merry Christmas Everybody!
JN. Rony
20041221
thx to Aunty Gone for the xmas tree!
Malam ini hujan kembali membasahi bumi. Sejenak aku mencoba mengambil waktu untuk berdiam dan merenung, sebuah hal yang tidak lagi bisa kulakukan setiap hari seperti dulu. Aku teringat bahwa saat aku masih aktif menerbitkan sebuah warta untuk komunitasku, hampir setiap malam aku berdiam dan merenung untuk menghasilkan sebuah renungan atau refleksi yang kuperoleh dari pengalaman hidupku sehari-hari. Namun sejak hampir 2 tahun terakhir ini, aku merasa bahwa inspirasi menulis itu hampir tidak pernah lagi datang dalam diriku. Memang harus diakui aku jarang sekali bisa mengambil waktu untuk diam dan merenung. Entah karena kesibukanku yang membuatku selalu kelelahan setiap pulang kerja, ataukah karena begitu menumpuknya beban di kepalaku yang jarang kubuang sehingga mengakibatkan aku selalu menjalani keseharianku dalam semua masalahku, ataukah karena adanya pergolakan dalam hatiku yang membuat aku tidak bisa diam dan tenang? Ach… aku masih belum bisa menemukan jawabnya. Yang jelas malam ini aku cukup merasakan sebuah ketenangan yang cukup membawa damai dalam diriku… suara kosong ruangan kamarku yang diiringi dengan suara rintik hujan. Sejenak aku seolah merasa kembali ke masa lalu…
Tadi siang aku kembali menjadi saksi hidup menyatunya 2 manusia dalam sebuah pernikahan. Yang seorang adalah teman yang sangat special dalam hidupku. Dalam rangka pernikahannya inilah aku sengaja menyempatkan diri pulang ke Surabaya agar bisa hadir bersama dengan teman-teman seangkatanku menyaksikan ikatan janji suci ini. Dalam kotbah, sang romo menyampaikan tentang peranan cinta dalam hidup pernikahan. Tak peduli jasmani yang akan termakan usia, selama ada cinta maka hidup pernikahan bisa bertahan hingga akhir hayat. Aku pribadi mengamini hal tersebut dan aku juga percaya bahwa hal itu pun berlaku dalam kehidupan keseharian kita. Dalam hubungan dengan manusia lain (entah itu keluarga, teman, atau orang lain), bila cinta kasih turut dilibatkan tentunya hubungan tersebut akan menjadi semakin akrab. Dan harus kuakui, unsur ini belakangan jarang kupakai dalam berelasi dengan sesama.
Jam di laptopku sudah menunjukkan pukul 0:09, hari pun telah berganti. Hari ini aku kembali merayakan pesta nama santo pelindungku, Nicholas. Semenjak aku memilih Santo Nicholas sebagai nama permandianku, aku telah memutuskan untuk belajar dan meneladannya. Santo Nicholas adalah seorang uskup yang baik hati dan penuh cinta pada sesama. Dia seringkali berkeliling dan memberi dari kekurangannya untuk sesama. Karena perbuatannya itulah Santo Nicholas juga dianggap sebagai Sinterklas atau Santa Klaus bagi sebagian orang. Namun, hingga saat ini aku merasakan betapa sulitnya memberi dari kekurangan itu.
Malam makin larut… aku pun makin larut dengan pertanyaan-pertanyaan dalam benakku. Begitu banyak masalah yang terpendam dalam benakku, yang belakangan ini sering membuat kepalaku pusing. Namun, malam ini aku mencoba untuk kembali belajar dan meneladan Santo Nicholas. Aku mencoba untuk memberi dari kekuranganku. Aku juga mencoba untuk kembali melibatkan unsur cinta kasih dalam setiap langkahku. Aku tak ingin terus-menerus larut dalam kesedihan dan lingkaran setan masalah yang tidak berakhir. Aku sadar bahwa ada hal yang bisa diselesaikan dan ada pula hal yang harus dilupakan.
Ach… kantukku mulai menyerang… Aku jadi teringat akan lagu yang belakangan cukup ngetop, “Rocker juga manusia… punya rasa, punya hati… jangan samakan dengan… pisau belati…”. Aku pun sadar bahwa aku adalah manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Namun, aku mencoba untuk senantiasa belajar… agar di dalam kelemahan dan kekuranganku tersebut… nama Allah sang penciptaku dapat dimuliakan… Amin.
Pada pesta St. Nicholas,
JN. Rony
20041206