Sabtu petang sekitar pukul 19.00 WIB seusai makan malam bersama dengan seluruh pimpinan kantor di kawasan Pluit, dalam perjalanan pulang ke kantor di Thamrin, saya mendapatkan telpon dari pimpinan saya yang mendapatkan info perihal Jimbaran di-bom dan minta saya untuk memastikan berita tersebut. Saat itu juga saya menghubungi rekan-rekan di Bali untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Tak lama, saya mendapatkan berita yang cukup menyedihkan, yaitu Jimbaran dan Kuta Square di-bom π Berita terus berkembang dan semuanya itu bisa kita lihat dan dengar di koran, televisi dan radio.
Berdasarkan informasi terakhir, bom terjadi di 2 tempat, yaitu Jimbaran dan Kuta Square. Sebelumnya memang sempat ada informasi telah terjadi bom di Hard Rock Hotel dan Nusa Dua, namun kelihatannya ini hanyalah salah persepsi, mengingat Hard Rock Hotel cukup dekat dengan lokasi di Kuta Square dan Jimbaran itu masuk ke wilayah Nusa Dua.
Sedikit gambaran buat rekan-rekan perihal lokasi bom di Bali, Jimbaran yang dimaksud itu tepatnya di pantai Muaya yang terletak bersebelahan dengan Hotel Intercontinental dan Fourth Season. Biasa kami menyebutnya sebagai Jimbaran Baru. Di daerah Jimbaran ada 3 tempat makan seafood bakar tepi pantai, yaitu Kedonganan, Jimbaran Lama, dan Jimbaran Baru. Ketiganya bertetanggaan. Dari ke-3 tempat makan tersebut, menurut saya Jimbaran Baru-lah yang paling favorit, mengingat tempatnya paling luas pantainya dan paling elit karena jumlah turis asingnya lebih banyak, ditunjang dengan harga yang lebih kompetitif. Di Jimbaran Baru ini, saya punya 2 tempat favorit, tempat dimana saya biasa menjamu tamu atau makan bersama teman, yaitu Cafe Menega dan Cafe Surya (eks Ubung). Sangat sedih mendengar bahwa Cafe Menega di-bom π Dari perbincangan per telepon dengan pemilik Cafe Surya (yang juga teman baik dari Cafe Menega), saya benar-benar sedih mendengar gambaran lokasi saat kejadian. Saat ini lokasi tersebut masih ditutup. Di Jimbaran Baru, titik bom terjadi di Cafe Nyoman, ini lokasinya di pintu masuk, sedangkan Cafe Menega ada di tengah lokasi. Jarak keduanya lumayan jauh, sekitar 100-200 meter, ada paling tidak 10 Cafe di antaranya. Sedangkan di Kuta Square, lokasi bom ada di R.AJA’S (begitu tulisan sebenarnya) Bar & Restaurant. R.AJA’S ini terletak di sentral pertokoan Kuta Square, tempat paling padat bagi pejalan kaki dan kendaraan yang akan menuju ke pantai Kuta. R.AJA’S ini sangat ramai karena makanan di sana memang salah satu rekomendasi untuk dicicipi, berselebahan dengan Matahari Departemen Store.
Pada Sabtu kemarin, saya menerima cukup banyak SMS dan telepon yang menanyakan kabar saya; saya mengucapkan terima kasih atas perhatian rekan-rekan semua, bahkan Admin Gadtorade, Mr. Bob, langsung kasih ijin saya kirim berita tanpa tag OOT (Thx bos!). Saya tidak sempat membalas semua SMS yang masuk, mengingat jalur komunikasi hari itu lebih diprioritaskan menghubungi Bali untuk update info di sana plus jalur sangat padat, bahkan K750i saya hang bolak-balik padahal sudah diupdagre firmwarenya (bos Dugem bisa tahu kenapa?). Minggu siang saya bertolak balik ke Bali, satu jam sebelum SBY bertolak ke Bali juga.
Sedikit gambaran kondisi di Bali pasca Bom Bali 2, kondisi airport makin diperketat. Bagi yang akan mengunjungi Bali, dimohon tidak membawa barang-barang yang aneh-aneh, karena urusannya bisa panjang. Sebisa mungkin tidak membawa barang-barang yang dikategorikan “berbahaya”. Dalam pesawat tadi siang, saya menjumpai cukup banyak rekan-rekan pers dari dalam dan luar negeri. Semuanya memboyong peralatannya yang canggih-canggih. Setidaknya saya tadi melihat wartawan dari TV7, TransTV, dan Bloomberg. Setibanya di Bali, jalanan sekitar Kuta penuh dengan polisi dan mobil tim gegana terlihat berseliweran di jalan. Belum lagi ambulans yang meraung-raung minta jalan. Lalu tadi sempat pula terlihat rombongan VIP dikawal ketat.
Malamnya, sehabis makan, saya mencoba mendekati TKP di Kuta Square dengan mobil. Suasana mendekati Kuta sangat sepi. Di sepanjang jalan Kartika Plasa (jalan menuju Kuta Square) sangat lenggang. Paling tidak, kalau mau saya bisa memacu mobil saya sampai 60 km/jam, hal yang tidak mungkin dilakukan di hari biasa, namun tentunya itu tidak saya lakukan, bisa ditangkap Brimob euy! π Di hotel-hotel sepanjang jalan itu, penjagaan luar biasa ketat; apalagi di kawasan Kartika Plaza dan Discovery Shopping Mall milik TW, wah… full Brimob. Memang masih terlihat ada turis lokal dan asing yang masih berjalan-jalan di sana, namun frekuensinya sangat sedikit dan banyak toko memilih tutup. Semakin mendekat lokasi Kuta Square, kondisi makin mencekam dan sepi. Jalan di Kuta Square ditutup dan dijaga ketat oleh aparat dan pecalang (polisi adat). Saya mengambil jalan memutar dan akhirnya melewati sisi ujung Kuta Square yang dekat dengan TKP. Di sana pun terlihat berlusin-lusin polisi dan beberapa truk polisi parkir di sana. Kelihatannya masih dilakukan olah TKP dan masyarakat bergerombol menonton dari batas “police line”, namun itupun tidak terlampau banyak, sehingga dari mobil pun saya masih bisa melihat ke arah TKP. Benar-benar suasananya mati dan gelap.
Dari sana saya memasuki pantai Kuta dan melewati Hard Rock Hotel dan memastikan bahwa bom di Hard Rock itu memang hanya kesalahan persepsi. Selanjutnya saya memasuki kawasan “Legian Street” tempat “Bali Blast” 3 tahun lalu. Di jalan yang anti-lancar (karena selalu macet) ini mobil masih bisa melaju cukup kencang. Pub & Bar yang biasanya ramai, terlihat sepi. Toko-toko souvenir lebih banyak yang memilih tutup. Resto dan Cafe juga sepi. Memasuki “Ground Zero”, suasanya juga sepi, tidak seperti biasanya yang padat dengan pengunjung yang berfoto ria. Intinya… Bali kembali “mati” seperti 3 tahun lalu! Memang diberitakan di radio dan televisi bahwa exodus belum terjadi dan turis masih melakukan aktivitasnya, namun suasananya berbeda… menurut saya sich ini sepi sekali! Padahal, bulan September kemarin merupakan “peak-season” turis asing di Bali. Bisa dikatakan semua hotel di kawasan Kuta penuh.
Walau saya bukan warga Bali, namun setahun tinggal di Bali membuat saya bisa turut merasakan betapa susahnya bangkit dari “Bali Blast” 12 Oktober 2002 lalu. Bom kali ini momentnya sangat krusial, mengingat: BBM baru naik cukup tinggi, menjelang 1 tahun pemerintahan SBY, menjelang masa puasa dan Rabu besok adalah hari raya Galungan, hari suci umat Hindu Bali yang harus dirusak oleh bom. Terlebih lagi, 2 minggu lagi kita memperingati pula 3 tahun Bom Bali yang efeknya ke seluruh dunia. Semoga otak pelaku bom bunuh diri ini bisa segera diringkus. Setidaknya untuk beberapa bulan ke depan, pendatang seperti saya di Bali akan sedikit mengalami “kesulitan”, karena seperti yang lalu, sweeping identitas bagi pendatang dan razia mobil non DK (plat luar Bali), akan ditingkatkan.
Sebenarnya, indikasi serangan bom ini sudah ada sejak akhir Agustus lalu, karena saat itu di salah satu hotel di dekat Kuta Square ditemukan bom aktif yang berhasil dijinakkan. Saya ingat betul karena keesokan harinya saya merasakan penjagaan sangat ketat di bandara, saat saya harus terbang ke Jakarta menghadiri rapat kantor. Sayangnya ternyata sebulan kemudian, aparat dan intel kita masih bisa kecolongan juga; parahnya bomnya di beberapa tempat dan berurutan. Walau efeknya tidak sebesar Bom Bali 3 tahun lalu, namun banyaknya bom bisa memicu ketakutan juga.
Bali adalah indikator keamanan Indonesia. Bila Bali tak lagi aman, dimana lagi tempat yang aman di Indonesia untuk dikunjungi? Bahkan beberapa turis lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia. Maka tak jarang terlontar pertanyaan, “Indonesia ada di sebelah mananya Bali?” Saya pribadi berdoa untuk korban Bom Bali 2 ini dan berharap agar Bali tidak lagi masuk ke dalam daftar “travel warning”, karena dengan begitu berarti akan mematikan hidup orang Bali, yang penghasilannya didapat dari pariwisata.
Sekian ulasan dan oret-oret dari saya. Rencananya saya mau mencoba pula meninjau TKP di Jimbaran, namun masih mencoba mencari jalan agar bisa masuk, karena saat inipun lokasinya dihalangi “police line”. Semoga Bali bisa segera pulih…
From Bali with love, peace and wave…
JN. Rony
20051002