Sore tadi aku menerima kabar dari Surabaya kalau rumahku kebanjiran lagi. Kali ini lebih parah, karena air sudah tembus masuk ke dalam rumah. Memang awal tahun baru kemarin rumahku kemasukan air hingga ke batas antara garasi dan ruang tamu dan kali ini ternyata ketinggian air makin menjadi dan alhasil ruang tamu hingga kamar tidur ikut terendam. 20 tahun aku menghuni kawasan perumahanku itu, mulai dari sawah (karena keluargaku adalah penghuni pertama di jalan itu) hingga sekarang yang sekelilingnya sudah penuh dengan rumah dan jalan-jalan besar beraspal. Selama itu pula belum pernah sekalipun rumahku kebanjiran, kalaupun hujan sangat lebat, paling-paling hanya jalan di depan rumah yang tergenang air. Memang beberapa tahun lalu, pernah sekali saja garasiku terendam air, namun hanya sebatas jari kaki; sedangkan yang terjadi pada awal tahun baru kemarin sudah sebatas pergelangan kakiku. Dan jadilah hari ini ketinggian air melewati batas itu.
2 tahun terakhir ini alam memang semakin tidak bersahabat dengan penghuninya. Action terhebat dari air terjadi pada akhir tahun 2004 lalu, dimana air telah meluluh-lantakan sebagian kawasan Indonesia Barat. Pada akhir tahun 2005 lalu, kembali alam menunjukkan keperkasaan sekaligus kemurkaannya dengan media air, seperti yang terjadi di Jember dan Banjarnegara. Di beberapa kawasan pun longsor akibat banjir telah terjadi. Belum lagi yang terjadi di perkotaan, banjir pun telah menjadi langganan tahunan yang bagaikan pemudik lebaran, setiap tahun kembali dengan membawa “teman” alias “tenaga extra” untuk semakin memenuhi kota. Tak heran ada iklan yang begitu mengena, berceloteh “Banjir kok jadi tradisi”, tentu ini perlu kita pertanyakan pada diri kita sendiri.
Dalam diskusi di sebuah stasiun radio yang kerap kudengar selama di Surabaya, banyak yang berpendapat bahwa kemarahan alam ini disebabkan karena tindakan dari manusianya sendiri. Tindakan seperti penebangan liar, pembuangan sampah sembarangan, hingga ketidakseimbangan ekosistem. Begitu banyak pro dan kontra terjadi seputar kenapa alam “marah”, namun ada pertanyaan yang menggelitik, yaitu apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi kemurkaan alam tersebut? Pertanyaan inilah yang sulit untuk dijawab.
2,5 tahun yang lalu aku pernah menulis bagaimana aku belajar tentang sampah dari seorang wanita Jepang. Dia adalah istri temanku yang kini menetap di Jepang. Saat itu mereka berkunjung ke Indonesia dan di satu kesempatan aku dibuat malu sebagai manusia Indonesia yang kurang menghargai alamnya dengan seenaknya membuang sampah. Melihat budaya bangsa lain dalam cara mereka membuang sampah membuat aku berubah mulai saat itu. Aku bertekat, jika seorang bangsa lain bisa menghargai alam di sekitarnya walaupun bukan di negaranya sendiri, mengapa aku yang jelas-jelas dilahirkan dan hidup di alam yang sama tidak bisa memelihara keasriannya? Sejak saat itulah aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi membuang sampah sembarangan. Hingga hari ini, aku mencoba untuk mengevaluasi diriku, ternyata tidak susah lho… hanya masalah kebiasaan. Tak lupa dalam beberapa kesempatan aku pun mencoba untuk menularkan kebiasaan baruku itu pada teman-temanku.
Minggu lalu saat banjir terjadi di Jember, kembali sebuah wacana dilontarkan perihal mulai gundulnya hutan kita. Topik ini mungkin tidaklah terlalu banyak dipikirkan oleh kita; itu karena selama ini kita hidup di alam perkotaan yang dipagari oleh gedung-gedung bertingkat. Namun bila mencermati berita-berita seputar bencana alam belakangan ini, kita bisa mengetahui bahwa saat ini sudah begitu banyak hutan kita yang sudah mulai gundul. Entah bagaimana kondisi hutan di luar Jawa, aku tak tahu… yang jelas hutan di sekitar Jawa Timur memang terlihat sudah mulai berkurang. Hal inilah yang kemudian menggugahku untuk kembali berjanji untuk mengurangi penggunaan kertas. Kenapa kertas? Karena bahan dasar kertas adalah pohon dan menghemat kertas sama dengan menyelamatkan pohon. Untuk itulah, saat ini aku memberdayakan kertas bekas untuk keperluan internal kantor. Berhubung kantorku tidak terlalu banyak menghasilkan kertas bekas, maka aku pun mengimport kertas bekas tersebut dari kantor lain.
Lucu memang. Apa yang kulakukan pada diriku mungkin terkesan sia-sia dan aneh. Namun aku tak peduli, aku yakin bahwa bila apa yang kulakukan ini bisa dilakukan oleh orang lain pula, maka hal yang kecil ini bisa membuahkan hasil yang besar. Sekitar 3 bulan yang lalu aku bertemu dengan seorang bule yang menjadi nasabah di perusahaanku. Lewat perbincangan kami, aku pun belajar dari bule tersebut tentang artinya menjaga alam dari sampah. Bule ini mengatakan bahwa perilaku manusia Indonesia begitu mudahnya membuang sampah batre dapat meracuni bumi. Padahal di negaranya hal tersebut dilarang dan bisa didenda. Di negaranya yang sudah maju itu memang batre di-daur ulang karena bahan baku batre memang beracun. Itu kenapa bule tersebut suka mengumpulkan batre bekas dan pada saat dia kembali ke negaranya, batre-batre tersebut dibawa ke negaranya untuk di-daur ulang. Jika mau dipikirkan, tindakan bule ini malah lebih gila dan konyol ketimbang yang kulakukan. Namun itu semua dilakukan karena sebuah keyakinan dan keinginan menjaga agar bumi tetap sehat. Hal lain juga terlihat di beberapa pantai di Kuta dan sekitarnya. Cukup sering turis-turis dari negara Eropa dan Amerika membersihkan pantai dari sampah di sela-sela liburannya di Indonesia.
Pikiranku kembali ke rumahku di Surabaya. Di Surabaya sampah memang sudah menjadi sebuah problema tak berakhir. Sampah kota makin hari makin bertambah. Yang paling parah adalah kesadaran dari masyarakat yang masih kurang dalam beretika membuang sampah. Orang masih membuang sampah tanpa malu di jalan raya bahkan jalan tol. Sampah-sampah inilah yang biasanya menjadi penyebab banjirnya kotaku… dan saat itu terjadi, satu sama lain saling menyalahkan. Mungkin benar apa yang disampaikan oleh Ebiet G. Ade… agar kita tahu kenapa alam murka… mungkin kita harus bertanya pada rumput yang bergoyang… Malam makin larut… lamunanku makin dalam diselingi kantuk dan gerah karena cuaca sedang panas. Lagu Berita Kepada Kawan mengalun terus…
Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang, engkau tak duduk di sampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering berbatuanTubuh ku terguncang di hempas batu jalanan
Hati tergetar menampak kering rerumputan
Perjalan ini pun seperti jadi saksi
Gembala kecil menangis sedihKawan coba dengar apa jawabnya
Ketika ia ku tanya “Mengapa?”
Bapak ibunya telah lama mati
Ditelan bencana tanah iniSesampainya di laut ku khabarkan semuanya
Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari
Tetapi semua diam, tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri terpaku menatap langitBarangkali di sana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencanaMungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
Let’s save the planet!
JN. Rony
20060113
kita mesti telanjang dan benar-benar bersih…
Pagi buta ini adalah hari kesepuluh dari tahun 2006 yang baru kulalui. Hingga hari ini pula, senyum kiranya masih sulit untuk kuukir di wajahku. Memang, begitu banyak masalah yang berkecamuk dalam diri, hingga aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Antara sedih, marah, bingung, tertipu, bercampur merasa diri begitu tolol. Itulah yang kualami menjelang tutup tahun yang suasananya terbawa hingga hari ini.
Seorang romo berkata padaku, kita perlu setiap hari untuk pulang ke hadiratNya. Ya, dulu… hampir setiap hari aku pulang ke pangkuanNya di saat malam menjemput. Aku ingat, malam-malam kulalui untuk merenung dan merefleksi apa yang terjadi dalam hari itu… Namun, sekian tahun telah berlalu… rasa damai telah berubah menjadi sebuah perasaan kesepian. Aku tak lagi mudah untuk merenung, aku tak lagi merasakan kedamaian malam.
Seorang uskup selalu menyebut diriku dalam sebuah pengembaraan hidup. Kuamini hal itu, memang aku sedang dalam pengembaraan menuju akhir cerita sebuah sandiwara dunia. Dalam pengembaraan itu, aku mencoba untuk menorehkan tinta-tinta emas dalam catatan harian kehidupanku, walaupun tak jarang pula aku menorehkan dengan darah dan air mata.
Seorang teman berkata padaku, tetap tegar, tegak, dan tersenyum… walaupun betapa beratnya beban yang harus kupanggul. Teori memang mudah… dalam kenyataannya perasaan ditinggalkan, dikhianati, dibohongi, dimanfaatkan, diremehkan, atau disingkirkan tidak mudah untuk tidak ditampilkan ke permukaan wajah. Menghela napas dalam-dalam mungkin salah satu cara untuk bisa melepas beban yang begitu berat.
Seorang adik yang kusayangi pernah berkata padaku, bila sedih… ingatlah di luar sana masih ada orang-orang yang kau sayangi dan menyayangimu. Masalah memang datang silih berganti… seperti pepatah bijak hidup itu bagaikan roda, kadang di atas, kadang di bawah. Membayangkan orang-orang yang kita sayangi memang mampu memberikan penyegaran baru. Hanya saja kini perasaanku sungguh gamang akibat dibohongi oleh orang yang kusayangi.
Who Am I? Pertanyaan ini sudah kudengar sejak aku masih di bangku SD kelas 6. Pertanyaan yang sama berulang kali kudengar, terutama dalam setiap kesempatan aku menjumpai diriku dalam kesendirian dan keheningan. Bagiku, Who Am I? adalah sebuah misteri hidup yang harus kupecahkan. Itu sebabnya, hingga hari ini pun pertanyaan yang sama selalu kulontarkan pada diriku sendiri. Mungkin Who Am I? adalah sebuah puzzle hidup yang harus kususun dengan kepingan-kepingan peristiwa yang kutemui dalam perngembaraan hidup.
Malam ini… seorang pendeta berkata padaku lewat sebuah lagu…
“Tuhan tidak janjikan…
Langit yang selalu cerah, saudaraku.
Perjalanan penuh bunga-bunga,
tidak ada hujan selain sinar surya.
Hanya kesenangan tanpa duka cita,
atau damai sejahtera tanpa derita.Tetapi Tuhan telah janjikan…
Kekuatan bagi yang mencarinya,
Kelegaan bagi yang berjuang keras,
Cahaya terang di perjalanan hidup kita,
Pengampunan bagi yang kena hukuman,
Pertolongan bagi yang membutuhkan,
Keberhasilan bagi yang mengalami kegagalan,
Cinta kasih yang tidak pernah padam.
Terima kasih Yesus, Jadikan aku pelangiMu…”Berliku-liku kehidupan ini,
Jalan mana yang harus kulalui?
Rintangan dan cobaan slalu membayangi,
Bila ku ingin datang padaMu…Kulayangkan pandang di awang-awang…
Sejenak anganku bertanya-tanya,
Dapatkah hati ini bagaikan pelangi,
Setiap saat pancarkan damai?Tuhan berikanlah kuasaMu, Jadikan aku pelangiMu
Kelak kan dapat menerangi… Kegelapan bumiTuhan peganglah tanganku ini, Bila mendaki bukit terjal
Janganlah diombang-ambingkan… Iman percayakuKarena kasihMu Tuhan, Ada pengampunan
Karena kasihMu Tuhan, Aku diselamatkan
Ad Maiorem Dei Gloriam!
JN. Rony
20060110
Jadikanku pelangi…
Aku terbangun dari tidurku karena kedinginan. Ternyata Tahun Baru baru saja kulewati dalam tidurku. Ya, malam pergantian tahun ini memang berjalan seperti malam-malam yang lain. Ditambah lagi kesehatanku yang makin memburuk. Memang, selama 1 bulan terakhir aku cukup sering sakit-sakitan. Saat terakhir cek-up ke dokter, aku sempat diingatkan akan tensi darahku yang naik. Saat mudik sehari sebelum Natal pun aku menyetir dalam keadaan kurang fit, dan sekarang aku benar-benar harus banyak beristirahat karena ternyata tensi darahku naik cukup tinggi.
Sepanjang tahun 2005 kulewati begitu saja. Belakangan ini aku begitu banyak merasakan kepahitan yang kutinggalkan di tahun 2005. Begitu banyak kenyataan dan realita yang kulihat dan kuhadapi yang begitu mengecewakan aku. Aku belajar bahwa tak ada yang bisa kupercayai selain diriku sendiri dan apa yang kuyakini. Orang-orang yang kukenal lewat tindak-tanduknya yang “terlihat” bijak atau suci, ternyata penuh dengan kebohongan dan ambisi diri. Bahkan seseorang yang sempat dekat denganku pun ternyata menyisakan tak lebih dari sebuah kenyataan pahit bahwa aku telah dipermainkan.
Hmmm… tahun yang cukup berat telah kulalui. Pekerjaan rutinitas pun terus akan berjalan. Tak terasa telah 1,5 tahun aku menginjak dan bernaung di Pulau Dewata. Begitu banyak emosi telah kumainkan di sana. Memang, awal tahun lalu aku tak pernah membayangkan akhir tahun yang akan kuhadapi akan seperti sekarang ini. Begitu banyak perubahan yang tak terduga terjadi. Perubahan terbesar yang mengubah pola hidupku berawal dari goncangnya industri reksadana pada bulan April dan September. Ditambah lagi dengan kejutan ledakan bom Bali ke-2 yang memukul seluruh masyarakat Bali. Semuanya itu terasa lengkap saat aku pun melihat kenyataan bahwa memang aku harus mengandalkan kekuatan sendiri dalam menjalankan tugasku.
Memang, tahun 2005 bukanlah tahun yang kulewati tanpa kegembiraan dan suka cita. Ada banyak pula yang kuterima di tahun itu. Ada beberapa teman maya yang kuperoleh di tahun itu, yang berasal dari berbagai kalangan. Memang, kami belum pernah bertemu, hanya terhubung lewat dunia maya karena hobi yang sama; namun pertemenan itulah yang setidaknya memberikan sedikit penghiburan padaku. Di tahun 2005 pula aku berkesempatan mengunjungi kota Kupang, sebuah pengalaman yang cukup berkesan. Yang jelas, aku bersyukur bahwa aku bisa melihat lebih banyak tipe manusia dan aku bisa bertindak sebagai diri sendiri di tahun itu.
Malam makin larut… dan kembali aku merasakan keheningan dalam kamarku ditemani oleh suara jangkrik. Suara terompet dan letusan petasan telah berhenti. Suara knalpot dan klakson tidak lagi terdengar. Ku makin merenungkan jejak langkahku di belakang. Aku memang tak ingin menoleh ke belakang, aku hanya ingin menatap jalan di depanku yang masih terbentang. Aku hanya ingin mengambil hikmah dari semua pengalamanku di tahun lalu. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain berserah pada Dia yang telah mengatur jalanku. Malam ini kuberdoa agar di tahun yang baru ini aku sanggup untuk tetap melangkah… Sayup-sayup suara speker laptopku mendendangkan lagu Aku Ingin Pulang dari Ebiet G. Ade. Ya… saat ini aku benar-benar letih dan ingin pulang ke pangkuanNya…
Kemanapun aku pergi
Bayang – bayangmu mengejar
Bersembunyi dimanapun
S’lalu engkau temukan
Aku merasa letih dan ingin sendiri
Ku tanya pada siapa
Tak ada yang menjawab
Sebab s’mua peristiwa
Hanya di rongga dada
Pergulatan yang panjang dalam kesunyianAku mencari jawaban di laut
Ku sadari langkah menyusuri pantai
Aku merasa mendengar suara
Menutupi jalan
Menghentikan petualangan
Du… du… du…Kemanapun aku pergi
Selalu ku bawa – bawa
Perasaan yang bersalah datang menghantuiku
Masih mungkinkah pintumu ku buka
Dengan kunci yang pernah kupatahkan
Lihatlah aku terkapar dan luka
Dengarkanlah jeritan dari dalam jiwaAku ingin pulang…
U… hu…
Aku harus pulang…
U… hu…
Aku ingin pulang…
U… hu…
Aku harus pulang…
U… hu…
Aku harus pulang…
Selamat menempuh hidup yang baru!
JN. Rony
20060101