Melanjutkan perjalananku mencari arti kehidupanku, dalam setiap kesempatan aku bertemu dengan orang-orang, baik yang telah lama kukenal maupun yang baru kukenal, aku mencoba untuk terus menggali sebuah misteri ilahi akan kehidupanku. Hidup itu aneh, fantastis, sekaligus penuh dengan misteri. Dalam beberapa kesempatan aku bertemu dengan teman-teman yang “terpaksa” hidup dan tinggal di kota-kota kecil hanya karena keadaanlah yang menuntut mereka untuk hidup di sana. Beberapa orang temanku adalah contoh orang yang lahir dan dibesarkan di kota besar yang akhirnya saat ini harus hidup dan tinggal di kota kecil, mereka harus meninggalkan segala fasilitas dan hingar-bingar yang dulu dengan mudah didapatkan, untuk menetap di kota yang jauh dari keramaian. Dalam perjalananku yang sekaligus mengunjungi mereka, walaupun aku merasakan kebosanan mereka akan rutinitas hidup di kota kecil yang miskin hiburan, aku dapat merasakan pengorbanan mereka akan tanggung jawab dan tugas yang harus mereka emban. Aku sungguh salut dan patut belajar dari mereka, teman-teman yang berusaha untuk tabah menjalani hidup mereka. Memang, kunci dari sebuah kesenangan adalah bagaimana kita mengolah sebuah situasi yang membosankan sekalipun menjadi menyenangkan. Inilah yang mungkin belum mampu kulakukan, sekalipun aku saat ini tinggal dan hidup di sebuah pulau yang termasuk salah satu destinasi favorit dunia.
Dalam sebuah kesempatan aku bersama dengan seorang teman, aku mencoba mengangkat kebosanan dengan bercerita tentang masa lalu. Kami bercerita tentang betapa senangnya saat-saat lalu, pergi makan bersama di warung emperan, menonton bersama, jalan-jalan, dsb. Saat yang menyenangkan ketika semuanya masih bujangan, semuanya berubah saat satu per satu dari kami ada yang menikah hingga saat ini sudah ada yang mempunyai beberapa orang anak. Intensitas pertemuan pun berkurang karena bagi yang berkeluarga tentu harus mengutamakan keluarganya. Aku pun banyak belajar dari teman-temanku yang berkeluarga itu, terutama menghadapi anak kecil, sebuah hal yang dulunya kuhindari namun mengingat “keponakan”-ku makin banyak, mau tak mau aku mulai terbiasa dengan kehadiran anak-anak di sekitarku.
Manusia akan berubah, itulah makna yang saat ini sedang kucoba untuk kucerna. Sebuah pemahaman yang dulunya kurasa telah kupahami, namun ternyata pemahamanku begitu dangkal sehingga pada saat itu tiba, aku sungguh tak siap menghadapi sebuah perubahan. Sebuah perubahan yang diiringi dengan tanggung jawab dan konsekuensi pasti akan dihadapi oleh setiap orang. Beberapa waktu lalu aku sempat menuliskan tentang menjadi tua itu pasti, namun menjadi dewasa itu sebuah pilihan. Kusadari bahwa saat ini aku telah makin tua, namun aku mencoba untuk merefleksikan diri, apakah aku telah dewasa? Beberapa waktu lalu, telah kulakukan sebuah kebodohan terbesar sepanjang hidupku. Sebuah tindakan yang akhirnya merugikan diriku dan telah merenggut segala kebanggaan yang telah dengan susah payah kuraih di masa lalu serta menghancurkan mimpi-mimpiku di masa depan. Saat itu tiada lagi yang tersisa dalam diriku selain rasa malu yang teramat sangat. Lewat bantuan beberapa orang, aku mencoba untuk bangkit kembali dan lewat sakramen tobat aku memperoleh pengampunan atas kesalahanku itu. Namun, setiap tindakan tentu memiliki konsekuensi yang harus dihadapi, inilah yang belum sanggup kuhadapi. Takut? Mungkin itulah yang membuatku lebih memilih hidup dalam pelarian dan pengasingan daripada menghadapi sebuah perubahan.
Hmmm… entah apa rencana Tuhan atasku, lewat berbagai peristiwa aku seolah ditegur dan disadarkan agar lebih sering bersyukur atas apa yang telah kuperoleh saat ini. 3 tahun sudah, aku makin jauh dari hadirat-Nya, entah perbuatan nekat apa saja telah kulakukan sepanjang 3 tahun ini, semua tindakan yang hanya didasarkan atas intuisi dan emosi tanpa pemikiran yang matang, dan terutama tanpa berkonsultasi dengan Dia yang selama ini setia menjagaiku. Lewat perjalanan dan pencarian jati diri ini, mataku seolah dibukakan dari tidur yang lelap. Dalam kesendirian inilah kuperoleh hikmah atas segala peristiwa yang telah kulakukan, sebab dan akibat, itulah perubahan yang harus dihadapi.
Malam makin larut, hawa panas masih saja menghinggapi kota ini seiring enggannya hujan turun. Kucoba untuk menata kembali masa depanku. Dalam kesendirianku ini, kucoba menyiapkan diri menghadapi perubahan akibat dari sebuah konsekuensi. Aku sadar akan pengorbanan yang harus kulakukan nanti, berharap jika saatnya tiba aku telah siap. Sampai kapan pengasingan ini kujalani, aku tak tahu. Aku hanya terus berdoa agar Tuhan mau mengampuni aku dan melapangkan jalanku untuk kembali kepada-Nya. Seperti nasehat guruku, sekalipun bersalah mintalah pembelaan pada Tuhan, yakin bahwa Tuhan berbelas kasih dan mau membelaku. Hidupku tak lagi seperti yang dulu, itu adalah kenyataan dan itulah yang harus kuhadapi… Tubuhku makin basah oleh keringat, agaknya putaran kipas anginku tak sanggup melawan hawa panas… ditemani oleh suara tenor dan bass Il Divo, kututup malamku dengan sebuah permohonan maaf pada orang yang melahirkanku…
Mama, thank you for who I am
Thank you for all the things I’m not
Forgive me for the words unsaid
For the times I forgotMama remember all my life
You showed me love, you sacrificed
Think of those young and early days
How I’ve changed along the way [along the way]And I know you believed
And I know you had dreams
And I’m sorry it took all this time to see
That I am where I am because of your truth
And I miss you, yeah I miss youMama forgive the times you cried
Forgive me for not making right
All of the storms I may have caused
And I’ve been wrong, dry your eyes [dry your eyes]Cause I know you believed
And I know you had dreams
And I’m sorry it took all this time to see
That I am where I am because of your truth
And I miss you, yeah I miss youMama I hope this makes you smile
I hope you’re happy with my life
At peace with every choice I made
How I’ve changed along the way [along the way]Cause I know you believed in all of my dreams
And I owe it all to you, Mama
JN. Rony
20061126
thx to all of my real friends, mereka yang setia mendampingiku di saat suka dan duka…
Siang itu kulahap lagi potongan daging ayam KFC. Resmilah jadi hari ke-5 aku berturut-turut menyantap KFC dengan menu yang sama. Agaknya kejenuhan yang amat sangat telah menghampiriku lagi dan kali ini KFC-lah yang menjadi sasaran pelampiasanku. Agh! Aku butuh suasana baru… aku capek! Memang, pasca libur lebaran yang kuisi dengan aktivitas menjadi supir+guide dadakan agaknya masih belum cukup mengusir kejenuhan yang telah kualami setelah 2,5 tahun menghuni pulau yang indah namun juga membosankan ini. Aku harus berlibur, kataku pada diriku sendiri. Kemana, aku tak tahu… ku belum bisa berpikir karena malam dan esok hari aku harus menemani tamu kantor, orang dari daratan Cina yang sedang berlibur ke Bali. Mengingat ini kunjungan pertamanya, hingga minggu malam aku benar-benar dimanfaatkannya untuk menikmati Bali dan hasilnya setelah mengantarnya kembali ke bandara, aku pulang dengan badan capek dan kepala pusing.
Hari Senin kulalui dengan segala rutinitas biasanya lagi. Namun aku sudah bertekat, aku harus berlibur!!! Hari itu kuselesaikan segara pekerjaanku untuk seminggu ke depan, tapi masalahnya adalah aku masih belum tahu harus kemana? Ach… peduli amat, kupikir. Biar besok saja kutentukan arah tujuanku… yang penting semua pekerjaan harus selesai dan kamar kost pun harus segera dibereskan. Malam itu mobil pun kubersihkan dan kusiapkan untuk sebuah petualangan… and here i go…
Day 1, kupacu mobilku dengan kecepatan standar ke arah barat pulau Bali. Sepanjang perjalanan kunikmati pemandangan alam Bali yang selama ini kuabaikan, karena kebanyakan aku melewatinya pada malam/dini hari. Oh… betapa hijaunya alam ini, sawah-sawah terasering yang sering menjadi kebanggaan Bali begitu indahnya terhampar di kiri atau kananku. Sayang, menjelang sunset aku yang rencananya ingin menikmatinya di daerah pantai Soka atau Medewi jadi kuurungkan karena hujan π Herannya selama di Denpasar, hujan tak kunjung turun, sedangkan di daerah Tabanan, Jembrana, Negara sampai Gilimanuk aku kerap ditemani oleh hujan deras. Sesampai di Negara, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi seorang teman lama satu sekolah yang hidup dan membuka usaha di kota kecil di Bali Barat ini. Di sana kulepaskan sejenak kepenatanku sambil dijamu makan malam dan mengobrol hingga larut malam. Topik perbincangan pun bervariasi, mulai dari gosip, update news tentang teman-teman, sampai ke politik π yah, namanya juga ngobrol santai. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam, walau aku diminta untuk menginap, namun kutolak karena aku ingin segera menyeberang ke Jawa. Setibanya di kapal, kucoba untuk tidur namun perutku agaknya tidak bisa diajak kompromi dan hasilnya badan jadi tidak enak dan sulit tidur. Malam itu kuseberangi selat Bali dengan perasaan gundah tanpa tujuan yang jelas. Setibanya di Ketapang, kubelokkan mobilku ke arah Banyuwangi dan tak jauh dari pelabuhan kuhentikan mobilku di sebuah hotel murah meriah untuk beristirahat sambil buang hajat. Malam itu kutertidur dengan perasaan yang bercampur aduk, karena esok aku akan menempuh perjalanan yang belum pernah kulakukan… sendirian dan tak tahu jalan…
Day 2, kuterbangun dari tidurku yang kurang nyaman dan kulihat jam di hp-ku sudah menujukkan pukul 7. Wah, kesiangan nich… ternyata alarm yang kunyalakan di hp-ku yang lain salah setting, karena masih menggunakan waktu Bali, pantas aku tidak dengar. Segera kumandi dan membereskan semua barang-barang dan check-out serta makan pagi. Well, untuk kamar seharga 66.500 semalam dan dapat breakfast untuk 2 orang, hotel ini tergolong sangat murah. Maklum, walau kamarnya jelek sekali dan ac-nya berisik, namun dengan makan pagi soto/rawon, kuhitung-hitung jika kamar ditempati berdua, tentunya sangat-sangat murah. Setelah makan, kupacu lagi mobilku menuju ke arah Jember. Gila! Halus juga jalanan di selatan ini, kupikir. Dibandingkan lewat jalur utara yang jalannya penuh lubang, ditambah lagi sinyal hp untuk 2 operator gsm yang kupakai semuanya bagus, termasuk di daerah Kalibaru yang jalanannya berkelok-kelok memutari gunung. Ada satu fenomena yang kutemui di sana, yaitu begitu banyak orang-orang, tua-muda, laki-laki dan perempuan, yang mengais rejeki “recehan” dari pengemudi mobil yang melintasi jalur yang cukup maut tersebut dengan memberikan aba-aba di tiap tikungan. Bahkan menurut seorang teman, jika malam hari mereka membawa lentera sebagai penerangan, karena di sana memang tidak ada penerangan jalan dan jumlah para penunjuk jalan ini sangat banyak, seperti polisi “cepek” di Surabaya atau Jakarta. Setelah sekitar 4 jam, tibalah aku di kota Jember dan siang itu kutemui seorang teman yang sedang berjuang hidup dan bekerja di kota yang jauh dari keramaian ini. Kami makan siang bersama, menyantap ikan bakar rica-rica yang super pedas dan membuat perutku panas dan sakit, sambil ngobrol santai. Malam itu aku ditampung di rumahnya dan kami menyempatkan diri makan ronde dan angsle setelah temanku ini pulang kerja, disambung dengan ngobrol sampai tengah malam, baru tidur untuk memulihkan tenaga yang telah terkuras.
Day 3, pagi itu kuucapkan selamat berpisah pada temanku di Jember dan kulanjutkan kembali perjalananku menuju ke Malang. Selepas dari Lumajang, jalanan yang kulalui sangatlah berliku dan cenderung berbahaya bagi yang belum terbiasa menyetir di jalanan gunung. Sekali lagi aku merasakan betapa indahnya alam Indonesia ini, sayang aku tidak memiliki kamera yang mampu mengabadikan pemandangan indah tersebut, ditambah lagi hatiku agak deg-deg-an melihat indikator bensin mendekati huruf E akibat kelalaianku tidak mengisi bensin saat melintasi Lumajang tadi. Aku terus berdoa agar jangan sampai mogok di tengah jalan, karena di sepanjang jalan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tak kurang 1 jam aku berkelok-kelok dengan perasaan was-was dan konsentrasi tingkat tinggi, akhirnya aku bisa bernafas lega karena aku menemukan peradaban dan pom bensin! Setelah mengisi bensin dan sedikit meringankan diri di toilet, kulanjutkan perjalanan yang ternyata masih saja berkelok-kelok bahkan lebih parah lagi karena begitu banyak truk dan bus yang jalannya lambat dan membentuk iring-iringan panjang. Sekitar 4 jam lebih aku menyetir, akhirnya… Malang, here i come! Di kota ini aku bertemu lagi dengan beberapa teman lama dan melepaskan kangen pada beberapa depot favoritku π memang Malang termasuk salah satu kota yang bisa membuatku betah untuk tinggal.
Day 4, pagi ini aku agak malas bangun… badanku masih capek dan kepalaku masih agak pening. Kupaksakan untuk bersiap melanjutkan perjalananku. Setelah menemui seorang romo pembimbing yang lama tak kukunjungi, aku menjemput seorang teman yang hendak ke Surabaya pula, lumayan… ada teman di perjalanan untuk ngobrol. Untung perjalanan tidak terlalu lama ditempuh walau tol gempol-porong kembali ditutup karena tanggul retak. Bencana Lapindo ini emang menyedihkan dan merepotkan banyak orang. Setibanya di Surabaya, aku langsung makan siang bakso kesukaanku di kawasan Majapahit dan setelah mengantar temanku, aku menuju ke kantor untuk beberapa keperluan. Setelah pulang kantor, barulah aku menuju ke rumah dan ternyata aku tiba di hari tetangga depanku rumahku meninggal. Pak dokter itu telah tiada, semoga almarhum diterima di sisiNya. Amin.
Hari ini sudah masuk hari ke-6 dan aku masih enggan untuk kembali ke Bali. Begitu berat beban yang kurasakan, membuatku memilih untuk menjauhi segala keramaian untuk sesaat. Tak banyak yang kulakukan di kotaku ini, kecuali berusaha menenangkan diri dan mencari hikmah atas segala peristiwa. Sanggupkah kuhadapi kenyataan yang ada di depan mata? Aku tak tahu, bahkan tak yakin. Mungkin memang lebih mudah melarikan diri dan bersembunyi. Segala kebanggaan itu agaknya telah tiada, hancur oleh kekhilafan diri. Malam-malamku masih saja diselimuti oleh pertanyaan-pertanyaan… dan aku berharap dapat segera menemukan jawabannya…
JN. Rony
20061112
hidup adalah sebuah pilihan…