Sekali lagi Paskah kurayakan dan itu menjadi tanda bertambahnya usiaku menjadi seorang Katolik. 12 tahun sudah aku mengimani ajaran Katolik sebagai bagian dari kehidupanku. Di malam Paskah 12 tahun yang lalu, di sebuah Gereja indah tempat di sebelah sekolahku sejak kecil, aku mengikrarkan imanku dalam suasana tak terlampau ramai. Maklum, saat itu adalah masa-masa dimana keadaan negara sedang tak menentu, sehingga malam hari menjadi saat yang mencekam bagi semua orang. Aku ingat betapa bahagianya aku saat itu, impianku untuk bisa dibaptis terlaksana, sebuah peristiwa yang mengubah kehidupanku.
Dilahirkan dalam sebuah keluarga yang tak terlalu mementingkan agama membuatku agak sulit menentukan iman apa yang akan kuyakini. Walaupun orang tuaku banyak mengenal para suster, namun mereka bukanlah Katolik. Hanya lingkungan sekolahku yang membuatku tertarik pada iman Katolik ini. Lewat perjuangan panjang, sampailah aku pada malam itu… dengan baju putih-hitam, memegang lilin dan mengenakan kain putih, aku dibaptis dengan air di depan seluruh umat yang hadir malam ini. Malam Paskah 1996 menjadi awal dari kehidupanku sebagai seorang Katolik.
Paskah menandakan bahwa Yesus telah bangkit. He Is Risen! Yesus yang awalnya ditertawakan karena dianggap toh tetap meninggal di kayu salib, padahal mengaku diri-Nya adalah Anak Allah, akhirnya membuktikan bahwa Dia memang Anak Allah! Cara Yesus mengalahkan maut ini terlihat fantastis, seperti pepatah: mundur selangkah untuk meraih kemenangan. Setan yang awalnya sudah bergembira karena mengira telah menang, harus menangis karena akhirnya dikalahkan. Namun, Paskah bukanlah berarti akhir, melainkan awal dari iman kita akan Yesus. Melalui Paskah, kita diajak untuk merasakan penderitaan, merenungkan arti sebuah pengorbanan, menyadari makna pertobatan dan bersama-sama menjadi saksi kebangkitan Kristus. Melalui proses itulah, kita diajak menjadi manusia baru dan menjadi lebih berguna bagi sesama, alam sekitar dan utamanya bagi Kerajaan Allah.
Sejenak aku melihat kembali pada kehidupanku. Apakah aku sudah melaksanakan makna Paskah di dalam hidupku? Apakah aku sudah menunjukkan bahwa aku ini seorang pengikut Kristus melalui pikiran, perkataan dan perbuatanku? Belum… aku masihlah jauh dari sempurna, aku sadar aku ini hanyalah manusia lemah. Namun aku tahu, aku harus senantiasa berusaha membuat hidupku menjadi lebih baik hari demi hari. Ibarat sebuah bejana tanah liat, aku saat ini sedang dibentuk, yang mungkin dalam proses pembentukannya mengalami keretakan atau tidak sesuai harapan, tapi aku percaya sang Maestro selalu memperbaiki aku, menambal yang retak dan membetulkan yang rusak. Aku percaya bahwa segalanya akan indah pada waktu-Nya, yang kuperlukan hanyalah percaya dan tak berhenti berusaha.
Malam ini aku kembali akan menjadi saksi pembaptisan pengikut-pengikut Kristus yang baru. Aku berdoa dan berharap mereka bisa menjadi murid-murid Kristus yang setia dan taat. Aku berharap mereka dapat berkarya dalam Gereja dan menjadi lebih baik dari diriku. Semoga iman dan semangat mereka senantiasa membara dan tak pernah padam… Malam ini pula aku berdoa untuk semua orang yang banyak berperan dalam pembentukan diriku: Rm. Edi, Rm. Yohanes, Rm. Gani, Rm. Hudi, Rm. Verbeek, Rm. Agung, Rm. Budi, Rm. Seger, Mgr. Sunarko, Sr. Vianey, Sr. Yoanita, Mo Agus, Eko, Jane, Bing-Bing, Claudia, dan masih banyak lagi… berkatilah mereka semua, Tuhan… tanpa mereka, aku mungkin takkan bertahan hingga saat ini. Semoga mereka senantiasa dalam perlindungan-Mu dan memperoleh berkat yang senantiasa berlimpah dalam hidup dan pelayanan mereka.
Bless the Lord, my soul… and bless God’s holy name… Ad Maoirem Dei Gloriam!
JN. Rony
20080322
menjelang misa Malam Paskah
“Allahku… ya Allahku… Mengapa Kau tinggalkan aku?” Jeritan yang memecah keheningan siang bolong, begitu menggelikan karena terdengar seperti rengekan seorang yang putus asa; namun sekaligus terdengar begitu memilukan dan menyayat hati, mengingat jeritan itu keluar dari mulut seorang Anak Manusia yang kita sebut Tuhan. Panas terik di bukit saat itu menjadi saksi bisu kepongahan manusia yang memandang kayu salib dari bawah. Teriakan dan caci-maki sontak terhenti dan berubah menjadi keheningan bisu, sesaat setelah sang Anak Manusia menghembuskan nafas yang terakhir. “It’s finished”, selesailah sudah tugas yang harus diemban-Nya. Yang tersisa hanyalah tatapan mata sedih dan menyiratkan penyesalan. Mulut yang tadi dengan penuh semangat mencaci dan penuh tawa hina, kini seolah terkunci dan lidah pun terasa kelu. Malu tidaklah cukup menggambarkan kerumuman orang yang bubar pulang ke rumah masing-masing dengan kepala tertunduk.
Good Friday, aku masih belum mengerti kenapa disebut demikian. Kenapa bukan Very Good Friday atau bahkan Great Friday? Atau bisa juga disebut Black Friday atau Shame Friday, mengingat pada hari ini kita memperingati ketololan manusia yang main hakim sendiri? Yesus disalib memang untuk menggenapi tugas-Nya di dunia, yaitu menebus dosa-dosa manusia; namun di sisi yang lain penyaliban Yesus juga menunjukkan betapa bodoh, angkuh, keji, pongah, dll deh (yang takkan cukup kalo disebutkan semua) dari manusia saat itu yang juga merupakan gambaran manusia saat ini. Jumat Agung adalah satu momen dalam liturgi Gereja yang mengajak kita, bukan untuk bergembira merayakannya, namun lebih kepada instropeksi diri akan segala perbuatan kita.
Tahun ini aku memilih untuk menjalani prosesi Tri Hari Suci di Bali. Ada perbedaan yang terasa, mengingat Paskah kali ini bertepatan dengan libur panjang. Saat memasuki gerbang saja, sudah dilakukan pemeriksaan yang cukup ketat, lalu bangunan gereja yang megah membuat aku sedikit lebih nyaman dan sejuk oleh hawa AC gereja. Aku heran, kenapa sekarang semua gereja mulai berlomba memasang AC? Ber-Jumat Agung dalam hembusan hawa sejuk mungkin bisa kita jadikan bahan refleksi, apakah sesungguhnya kita sudah menyadari betul arti penyaliban Yesus di Golgota? Melihat kondisi jaman ini, mungkin sudah sangat nyaman dibandingkan jaman penyaliban dulu. Orang-orang bebal yang mengantarkan kematian Yesus masih lebih semangat daripada kita! Orang-orang bebal saja masih rela berpanas ria, berbeda jauh dengan kita saat ini yang begitu manja… memalukan, bukan? Hmmm… mungkin aku terlalu menilai makna Jumat Agung dari segi fisik luarnya saja. Mungkin juga aku yang tidak bisa mengikuti perkembangan jaman. Aku tak tahu… Yang pasti aku mencoba untuk merefleksikan diriku pada prosesi Jumat Agung ini, saat dimana Yesus menderita dan mengalami detik-detik paling menyakitkan dalam hidup-Nya dan aku berharap bisa merasakan sedikit dari penderitaan tersebut.
Malam ini aku kembali menyaksikan “Via Dolorosa” sang Kristus lewat sebuah film yang diputar di TV, sebuah pemandangan mengerikan yang mungkin kenyataannya lebih mengerikan lagi. Pengorbanan yang mungkin takkan bisa kulakukan, namun aku berharap dengan merenungkan Jumat Agung ini, aku dapat menjadi manusia yang lebih dapat memahami arti sebuah pengorbanan. Iman boleh ada, tapi daging itu lemah, itulah gambaran diriku sebagai manusia. Melalui teladan Juru Selamatku itulah, aku berharap tak lagi terikat pada keinginan jasmaniah saja. Semoga aku bisa…
Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku…
JN. Rony
20080321
bless the Lord my soul, and bless God’s holy name…
Tak terasa Minggu Palma pun telah datang, itu artinya 40 hari sudah aku telah berpuasa dan berpantang menjadi seorang vegetarian. Sudah 3 tahun ini, puasa dan pantangku kulakukan dengan caraku yang memang dipandang oleh sebagian orang agak aneh, mengingat aku menggabungkan unsur katolik, islam dan budhist 🙂 Harus kuakui, caraku “menyiksa” diriku agak ekstrim, yaitu makan hanya sekali sehari selepas pukul 6 sore, sepanjang hari aku berpuasa total tidak makan dan minum dan sebagai pantangan aku memilih menjadi seorang vegetarian, tidak makan daging sama sekali. Awalnya, cara vegetarian ini terasa begitu berat untukku, sebab aku sangat menyukai daging dan termasuk pemilih dalam hal makanan, sehingga hanya beberapa jenis sayuran saja yang bisa kumakan. Untuk puasa makan-minum seharian aku sudah terlatih sejak duduk di bangku SMA. Jadilah 3 tahun ini aku mencoba untuk menempa diriku dalam menahan keinginan lahiriahku melalui menu vegetarian setiap hari dan sejauh ini aku bisa melaluinya dengan baik, bahkan aku merasakan manfaat dari puasa-pantang caraku ini, yaitu berat badan turun dan pencernaan menjadi lebih lancar.
Tadi pagi, untuk yang kedua kalinya aku mengikuti prosesi Minggu Palma di salah satu gereja yang tergolong megah di Bali. Jika tahun lalu aku sempat mengeluhkan perihal pengaturan pada upacara yang penting dalam kalender liturgi Katolik tersebut, ternyata kali ini terulang kembali bahkan rasanya makin parah saja. Belajar dari pengalaman sebelumnya aku datang 1 jam lebih awal, berharap tidak berebut daun palem dan bisa mendapatkan barisan depan. Ternyata kali ini, daun palem harus dikumpulkan untuk diberkati bersamaan, kemudian dikembalikan lagi ke umat. Duh! Jujur, ini cara terbodoh yang pernah kudengar 🙁 Mungkin bagi umat yang hanya menjadikan daun palem sebagai pelengkap misa (karena namanya saja Minggu Palma), hal tersebut tidak akan berefek apapun, namun bagi umat yang ingin memberkatkan daun palemnya untuk dipasangkan pada salib, tentu hal ini menjadi konyol. Bayangkan bagi mereka yang memiliki banyak salib, sudah susah-susah membawa banyak daun palem, begitu dikumpulkan bisa dipastikan untuk mengumpulkan kembali daun palem tersebut adalah hal yang mustahil. Itu sebabnya aku melihat beberapa orang enggan mengumpulkan daun palem yang mereka bawa. Aku heran, bukankah prosesi pemercikan daun palem yang dibawa oleh umat adalah sebuah tradisi yang perlu dilestarikan? Dengan cara pemercikan yang tadi kulihat, maka daun palem yang terperciki oleh air suci praktis hanyalah daun-daun yang berada di tumpukan teratas. Lalu, saat pembagian daun palem… seperti yang kuduga, terjadilah kericuhan karena panitia yang membawa daun-daun palem tersebut jadi sasaran rebutan. Hal ini tentu membuat suasana sakral sebuah misa jadi lenyap. Setelah itu, saat memasuki gereja… masih seperti tahun sebelumnya, tidak terkoordinasi dan semua saling berebutan masuk. Hal ini dikarenakan panitia sama sekali tidak mengatur barisan sejak awal. Sedih sekali melihat gereja semegah itu namun umat-umatnya (termasuk aku) seperti sekumpulan orang-orang barbar yang berebut kursi. Lalu sepanjang misa, koor dengan semangatnya bernyanyi sekeras-kerasnya (maklum, sound systemnya baru dipasang tambahan lagi), tanpa peduli saat itu diperlukan keheningan ataukah tidak. Intinya, kacau!
Well… belajar dari pengalaman lalu, aku berusaha untuk tidak memusingkan kekacauan tersebut. Inilah adalah saat menyambung Sang Kristus di gerbang Yerusalem! Yerusalem, Yerusalem… lihatlah Rajamu! Hosana, terpujilah… Kristus Raja Maha Jaya! Memang suasana perarakan yang kurasakan sangat berbeda jauh, malah bisa dikatakan tidak ada perarakan sama sekali… Yang pasti, kegembiraan Yerusalem tak berlangsung lama, sebab tak lama kemudian Yerusalem berbalik mengadili Yesus secara tak adil. Seorang senior yang menanggapi kegalauanku dalam mengambil sebuah keputusan mengatakan dalam SMS-nya bahwa Yesus pun dalam mengambil keputusan harus sampai berdarah-darah. Memang, hatiku serasa hancur saat mendengarkan mazmur antar bacaan: Allahku ya Allahku… mengapa Kau tinggalkan aku? Itulah jeritan hati Yesus saat disiksa dan disalibkan, sebagai konsekuensi keputusan yang Dia ambil, yaitu demi penebusan dosa-dosa kita… manusia yang sangat dikasihi-Nya.
Minggu Palma ini adalah awal dari perayaan misteri Tri Hari Suci yang akan kita masuki beberapa hari lagi. Dalam Minggu Palma ini kita diajak untuk lebih merefleksikan diri, siapakah kita? Apakah kita selama ini bertindak sebagai umat Yerusalem yang dengan semangat bersorak-sorai menyambut kehadiran Yesus, lalu dengan mudahnya berbalik mencela dan berteriak “Salibkan Dia!” pada saat Yesus diadili? Ataukah kita selama ini bertindak sebagai Pilatus yang “jaim” sehingga untuk menjaga wibawanya maka tidak berani menyuarakan kebenaran dan kemudian cuci tangan dari masalah yang dihadapi? Ataukah kita selama ini seperti Yudas yang setiap saat makan-minum bersama Yesus, namun kemudian “menjual” Yesus hanya demi 30 keping perak? Ataukah kita seperti Petrus yang “sok jagoan” membela Yesus, tapi pada saat Yesus diadili, dia malah menyangkal bahwa dia termasuk murid Yesus? Atau, siapakah kita? Pra-Paskah yang dimulai dengan penerimaan abu sampai Minggu Palma adalah masa-masa dimana kita semua diajak lebih menyelami kehadiran Yesus di kehidupan sehari-hari. Lewat puasa dan pantang, kita diajak untuk turut merasakan sedikit dari penderitaan yang dialami Yesus. Terlebih lagi, lewat pertobatan kita diajak untuk kembali ke jalan yang benar.
Aku sadar bahwa aku masih manusia yang penuh dengan dosa. Aku sadar bahwa diriku belumlah sempurna dan memiliki banyak keterbatasan. Aku merasa apa yang kuperbuat belumlah cukup untuk menjadikan diriku layak dan pantas di hadapan-Nya. Mungkin pada akhirnya aku pun harus memahami konsep “i am no one, i am nothing”, sehingga aku bisa menekan segala ego dan kekhawatiran yang ada dalam diriku dalam menyambut kedatangan-Nya dalam diriku. Hmmm… malam makin larut, kurasakan begitu banyak berkat sudah kuterima selama ini. Lewat pengalaman sehari-hari yang kadang kuabaikan, kurasakan begitu besar kuasa dan kasih-Nya padaku. Aku berharap, melalui refleksi Paskah ini aku dapat menjadi manusia yang lebih sempurna dan layak untuk menghadap ke hadirat-Nya. Terima kasih Tuhan, atas segala penyertaan, berkat dan rahmat yang selalu berlimpah hari demi hari dalam hidupku. Biarlah apa yang terjadi padaku hari demi hari, hanyalah demi kemulian-Mu saja, Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Amin!
Dalam segala hal, aku ingin bisa menunjukkan bahwa aku ini anak Allah!
JN. Rony
20080316
to be or not to be, that’s the question!