Banyak perkara yang tak dapat kumengerti.
Mengapakah harus terjadi di dalam kehidupan ini.
Satu perkara yang kusimpan di dalam hati.
Tiada sesuatu kan terjadi tanpa Allah peduli
Allah mengerti, Allah peduli.
Segala persoalan yang kita hadapi.
Tak akan pernah dibiarkanNya.
Kubergumul sendiri sebab Allah mengerti.
Lagu itu kembali kudengar saat misa sore di gereja Kuta, diputar saat pemutaran klip dokumentasi kunjungan romo paroki ke Yogyakarta. Pikiranku kembali menerawang ke 2 tahun silam saat aku mendengarnya di awal kehidupanku di tanah dewata ini. Memang, saat ini begitu banyak perkara yang tak kumengerti. Seolah tak ada habisnya, satu per satu masalah menghinggapiku, bagaikan lalat mengerubungi luka yang membusuk di tubuhku. Malam-malam kulalui dengan rasa gundah dan setengah tersiksa oleh keheningan. Entah kenapa, belakangan begitu banyak kekhawatiran dan kekhawatiran yang bertengger dalam benakku.
Sejauh ini aku selalu bisa bertahan, bertahan dengan segala kekuatan yang kumiliki. Semboyan yang selalu kupegang, “apa sich yang tidak bisa kulakukan?” mampu membuatku sedikit bertahan dalam kesesakanku. Aku terus-menerus mencoba untuk bernafas bagaikan ikan yang terlempar keluar dari laut. Menggelepar dan terkapar, tak berdaya dalam kesendirian.
Aku tak tahu kapan aku mencapai batas terendah dalam hidupku. Aku sungguh takut bila saat itu tiba. Godaan demi godaan selalu datang menawarkan jalan keluar yang semu. Sebuah pelariankah? Ataukah sebuah solusi? Aku tak tahu… mata dan hatiku telah sedikit demi sedikit menghitam dan buta. Hanya setitik iman yang terus kucoba pertahankan. Namun, sekali lagi kutak tahu sampai kapan ku mampu bertahan.
Malam ini, di hadapan Yesus yang tergantung di kayu salib… kuakui bahwa aku adalah pendosa dan penuh dengan penyakit dunia. Aku tahu Yesus pasti akan sedih melihatku seperti ini. Dan aku pun tahu bahwa aku sungguh tak layak bahkan untuk mencium kakiNya sekalipun. Ampuni aku Tuhan… layakkanlah aku, agar pantas menerima tubuhMu, sebagai tanda pengampunan atas dosa-dosaku… dan pantas menerima darahMu, sebagai tanda penyucian segala kekotoranku…
Apa yang kualami kini, Mungkin tak dapat aku mengerti.
Satu hal kutanam di hati, Indah semua yang Tuhan bri.
Tuhanku tak akan memberi, Ular beracun pada yang minta roti.
Cobaan yang aku alami, Tak melebihi kekuatanku.
Tangan Tuhan sedang merenda, Suatu karya yang agung mulia.
SaatNya kan tiba nanti, Kulihat pelangi kasihNya.
Dalam kesendirian denganNya,
JN. Rony
20060612
Satu lagi masa PraPaskah dimulai untuk mengawali Paskah dan mengenang kisah sengsara Tuhan kita Yesus dalam perjalanannya menuju bukit Golgota, bukit kematianNya. Beberapa hari lalu, umat Katolik diajak untuk menerima abu sebagai tanda pertobatan kita dan hari dimulailah pantang dan puasa. Abu dimaksudkan agar manusia menyadari bahwa dirinya hanya berasal dari abu yang tak bernilai dan akan kembali pula menjadi abu yang diabaikan.
Paskah berarti pertobatan, paskah berarti kemenangan atas dosa. Dosa dan tobat, adalah 2 hal yang bertolak belakang. Keduanya tak akan bisa terhubung tanpa pengorbanan Yesus yang rela mati di kayu salib. Mengapa demikian? Sebab tobat berarti mengakui segala dosa yang telah diperbuat dan mengubah jalan hidup dengan mengingkari segala dosa. Inilah yang mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan, sebab mengakui kesalahan berarti siap menanggung malu dan konsekuensi.
Beberapa waktu lalu dunia infotainment diramaikan dengan berita tertangkapnya Roy Marten yang menggunakan narkoba. Kasus Roy Marten yang kabarnya seorang Katolik konservatif ini tentu mengejutkan banyak pihak. Terlepas dari kasus yang menimpa Roy Marten, ada satu statement yang menggambarkan keteguhan seorang Roy Marten, yaitu: “Saya memang bersalah dan saya layak mendapatkan hukuman ini”. Inilah pengakuan dan kepasrahan seorang Roy Marten yang sadar bahwa dirinya memang bersalah dan bersedia menganggung konsekuensinya. Bahkan, dalam setiap kesempatan disorot oleh kamera, wajahnya senantiasa tegar dan menampilkan senyum, walaupun beberapa kali diberitakan bahwa selama dalam tahanan Roy menderita penyakit dan sebagainya.
Mengakui kesalahan, ini adalah hal tersulit yang harus dilakukan oleh seorang yang bersalah/berdosa. Manusia itu memang lemah dan rentan terhadap kesalahan. Namun dengan mengakui kesalahan yang telah diperbuat, bukannya menyembunyikan kesalahan tersebut, maka itu berarti kita mau menyadari kesalahan tersebut dan belajar agar di kemudian hari tidak mengulang kesalahan yang sama. Tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa tanpa mengakui kesalahan pun bisa sadar, sebab dengan berani mengakui itu artinya hakekatnya sudah bersedia menerima malu dan bertekat agar tidak malu lagi. Tanpa mau mengakui, maka rasa malu itu tidak akan pernah ada, sehingga di kemudian hari tentu akan mengulangi kesalahan yang sama.
Sikap berani dari seorang Roy Marten yang mau mengakui kesalahannya hendaklah menjadi contoh bagi kita dalam menyambut Paskah. Abu yang telah ditorehkan ke dahi hendaklah selalu mengingatkan kita bahwa kita tak lebih dari seoongok abu yang hina dan nista. Dengan pantang dan puasa itulah… kita diharapkan mampu melawan hawa nafsu dan keinginan berbuat dosa. Dengan begitu, lengkaplah persiapan kita dalam merenungkan dan merasakan sedikit penderitaan Yesus.
Paskah mungkin sudah menjadi sebuah rutinitas tahunan. Pertanyaannya sekarang adalah beranikah aku mengakui kesalahan yang telah kuperbuat? Beranikah aku dipermalukan oleh dosa yang telah kuperbuat? Sanggupkah aku menghadapi konsekuensi dari dosa itu? Dan maukah aku menjadikannya pelajaran hidup agar tidak mengulangnya kembali? Semoga pantang dan puasa kali ini bisa lebih bermakna lebih dari sekedar rutinitas, namun agar aku mau mengambil bagian kecil dari kesengsaraan Yesus dalam jalan salibNya mengalahkan dosa dan maut. Itulah makna seorang Katolik. Semoga aku bisa… Selamat menyambut Paskah!
Ad Maiorem Dei Gloriam!
JN. Rony
20060306
Bless the Lord, my soul… and bless the Holy Name…
Sore tadi aku menerima kabar dari Surabaya kalau rumahku kebanjiran lagi. Kali ini lebih parah, karena air sudah tembus masuk ke dalam rumah. Memang awal tahun baru kemarin rumahku kemasukan air hingga ke batas antara garasi dan ruang tamu dan kali ini ternyata ketinggian air makin menjadi dan alhasil ruang tamu hingga kamar tidur ikut terendam. 20 tahun aku menghuni kawasan perumahanku itu, mulai dari sawah (karena keluargaku adalah penghuni pertama di jalan itu) hingga sekarang yang sekelilingnya sudah penuh dengan rumah dan jalan-jalan besar beraspal. Selama itu pula belum pernah sekalipun rumahku kebanjiran, kalaupun hujan sangat lebat, paling-paling hanya jalan di depan rumah yang tergenang air. Memang beberapa tahun lalu, pernah sekali saja garasiku terendam air, namun hanya sebatas jari kaki; sedangkan yang terjadi pada awal tahun baru kemarin sudah sebatas pergelangan kakiku. Dan jadilah hari ini ketinggian air melewati batas itu.
2 tahun terakhir ini alam memang semakin tidak bersahabat dengan penghuninya. Action terhebat dari air terjadi pada akhir tahun 2004 lalu, dimana air telah meluluh-lantakan sebagian kawasan Indonesia Barat. Pada akhir tahun 2005 lalu, kembali alam menunjukkan keperkasaan sekaligus kemurkaannya dengan media air, seperti yang terjadi di Jember dan Banjarnegara. Di beberapa kawasan pun longsor akibat banjir telah terjadi. Belum lagi yang terjadi di perkotaan, banjir pun telah menjadi langganan tahunan yang bagaikan pemudik lebaran, setiap tahun kembali dengan membawa “teman” alias “tenaga extra” untuk semakin memenuhi kota. Tak heran ada iklan yang begitu mengena, berceloteh “Banjir kok jadi tradisi”, tentu ini perlu kita pertanyakan pada diri kita sendiri.
Dalam diskusi di sebuah stasiun radio yang kerap kudengar selama di Surabaya, banyak yang berpendapat bahwa kemarahan alam ini disebabkan karena tindakan dari manusianya sendiri. Tindakan seperti penebangan liar, pembuangan sampah sembarangan, hingga ketidakseimbangan ekosistem. Begitu banyak pro dan kontra terjadi seputar kenapa alam “marah”, namun ada pertanyaan yang menggelitik, yaitu apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi kemurkaan alam tersebut? Pertanyaan inilah yang sulit untuk dijawab.
2,5 tahun yang lalu aku pernah menulis bagaimana aku belajar tentang sampah dari seorang wanita Jepang. Dia adalah istri temanku yang kini menetap di Jepang. Saat itu mereka berkunjung ke Indonesia dan di satu kesempatan aku dibuat malu sebagai manusia Indonesia yang kurang menghargai alamnya dengan seenaknya membuang sampah. Melihat budaya bangsa lain dalam cara mereka membuang sampah membuat aku berubah mulai saat itu. Aku bertekat, jika seorang bangsa lain bisa menghargai alam di sekitarnya walaupun bukan di negaranya sendiri, mengapa aku yang jelas-jelas dilahirkan dan hidup di alam yang sama tidak bisa memelihara keasriannya? Sejak saat itulah aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi membuang sampah sembarangan. Hingga hari ini, aku mencoba untuk mengevaluasi diriku, ternyata tidak susah lho… hanya masalah kebiasaan. Tak lupa dalam beberapa kesempatan aku pun mencoba untuk menularkan kebiasaan baruku itu pada teman-temanku.
Minggu lalu saat banjir terjadi di Jember, kembali sebuah wacana dilontarkan perihal mulai gundulnya hutan kita. Topik ini mungkin tidaklah terlalu banyak dipikirkan oleh kita; itu karena selama ini kita hidup di alam perkotaan yang dipagari oleh gedung-gedung bertingkat. Namun bila mencermati berita-berita seputar bencana alam belakangan ini, kita bisa mengetahui bahwa saat ini sudah begitu banyak hutan kita yang sudah mulai gundul. Entah bagaimana kondisi hutan di luar Jawa, aku tak tahu… yang jelas hutan di sekitar Jawa Timur memang terlihat sudah mulai berkurang. Hal inilah yang kemudian menggugahku untuk kembali berjanji untuk mengurangi penggunaan kertas. Kenapa kertas? Karena bahan dasar kertas adalah pohon dan menghemat kertas sama dengan menyelamatkan pohon. Untuk itulah, saat ini aku memberdayakan kertas bekas untuk keperluan internal kantor. Berhubung kantorku tidak terlalu banyak menghasilkan kertas bekas, maka aku pun mengimport kertas bekas tersebut dari kantor lain.
Lucu memang. Apa yang kulakukan pada diriku mungkin terkesan sia-sia dan aneh. Namun aku tak peduli, aku yakin bahwa bila apa yang kulakukan ini bisa dilakukan oleh orang lain pula, maka hal yang kecil ini bisa membuahkan hasil yang besar. Sekitar 3 bulan yang lalu aku bertemu dengan seorang bule yang menjadi nasabah di perusahaanku. Lewat perbincangan kami, aku pun belajar dari bule tersebut tentang artinya menjaga alam dari sampah. Bule ini mengatakan bahwa perilaku manusia Indonesia begitu mudahnya membuang sampah batre dapat meracuni bumi. Padahal di negaranya hal tersebut dilarang dan bisa didenda. Di negaranya yang sudah maju itu memang batre di-daur ulang karena bahan baku batre memang beracun. Itu kenapa bule tersebut suka mengumpulkan batre bekas dan pada saat dia kembali ke negaranya, batre-batre tersebut dibawa ke negaranya untuk di-daur ulang. Jika mau dipikirkan, tindakan bule ini malah lebih gila dan konyol ketimbang yang kulakukan. Namun itu semua dilakukan karena sebuah keyakinan dan keinginan menjaga agar bumi tetap sehat. Hal lain juga terlihat di beberapa pantai di Kuta dan sekitarnya. Cukup sering turis-turis dari negara Eropa dan Amerika membersihkan pantai dari sampah di sela-sela liburannya di Indonesia.
Pikiranku kembali ke rumahku di Surabaya. Di Surabaya sampah memang sudah menjadi sebuah problema tak berakhir. Sampah kota makin hari makin bertambah. Yang paling parah adalah kesadaran dari masyarakat yang masih kurang dalam beretika membuang sampah. Orang masih membuang sampah tanpa malu di jalan raya bahkan jalan tol. Sampah-sampah inilah yang biasanya menjadi penyebab banjirnya kotaku… dan saat itu terjadi, satu sama lain saling menyalahkan. Mungkin benar apa yang disampaikan oleh Ebiet G. Ade… agar kita tahu kenapa alam murka… mungkin kita harus bertanya pada rumput yang bergoyang… Malam makin larut… lamunanku makin dalam diselingi kantuk dan gerah karena cuaca sedang panas. Lagu Berita Kepada Kawan mengalun terus…
Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang, engkau tak duduk di sampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering berbatuanTubuh ku terguncang di hempas batu jalanan
Hati tergetar menampak kering rerumputan
Perjalan ini pun seperti jadi saksi
Gembala kecil menangis sedihKawan coba dengar apa jawabnya
Ketika ia ku tanya “Mengapa?”
Bapak ibunya telah lama mati
Ditelan bencana tanah iniSesampainya di laut ku khabarkan semuanya
Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari
Tetapi semua diam, tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri terpaku menatap langitBarangkali di sana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencanaMungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
Let’s save the planet!
JN. Rony
20060113
kita mesti telanjang dan benar-benar bersih…