02 Feb 2005 @ 11:25 AM 

Kemarin, aku mendapatkan email iklan jorok dari sebuah milis yang kuiikuti. Email tersebut dikirimkan tidak pada tempatnya, karena milis itu adalah milis pengguna PDA, sedangkan emailnya berisikan tawaran bisnis “esek-esek” dari seorang yang mengaku sebagai makelar DDM (Dodol Daging Mentah). Di email yang cukup panjang tersebut, disebutkan banyak nama ABG cewek dan cowok sampe ibu-ibu muda yang siap melayani Anda 24 jam πŸ™‚

Atas dasar keisengan, akhirnya kuforward email tersebut ke beberapa orang yang kukenal dekat. Tujuannya, tak lain ingin mengetahui reaksi mereka; sekaligus menyajikan informasi nyata walaupun sedikit menjijikkan. Dan seperti dugaan, reaksi yang kuterima hampir senada… intinya jijai πŸ™‚

Dari sekian teman yang mereply email jorok tersebut, aku mendapatkan beberapa kritikan sampai cacian atas email tersebut. Alasannya aku gak pantas mengirimkan email tersebut, atau inikah tingkah orang yang ngaku aktif di gereja, atau sudah jadi bejatkah aku kok sampai masuk ke bisnis esek-esek, atau lainnya lagi… dan rata-rata menempelkan “cap negatif” padaku πŸ™‚

Satu hal yang kupetik di sini adalah orang akan dengan mudah memberikan “cap negatif” pada tindakan seseorang yang dinilai menjijikkan atau berdosa. Aku jadi membayangkan, apabila aku saja yang hanya mem-forward email tersebut diberi cap yang jelek, bagaimana dengan nama-nama “ahli pijat aurat” yang ada di dalam email tersebut? Sudah barang tentu kita akan semakin najis melihat mereka. Bisa dibayangkan apabila ternyata di antara nama-nama yang ada tersebut adalah seseorang yang kita kenal? Tetangga? Saudara? Teman? Anak? Cap apa yang akan kita berikan pada mereka?

Aku jadi teringat pada seorang teman sekaligus guru saat aku masih aktif di karismatik. Saat itu teman ini begitu bersemangatnya ingin menobatkan seorang saja (tidak 2 atau lebih) perex (perempuan experimen) yang mangkal di salah satu diskotek di jantung kota Surabaya. Namun, entah apa saja usaha yang sudah dilakukannya, tapi hal tersebut tidak pernah kesampaian hingga hari ini. Harus diakui, mendekati komunitas bisnis esek-esek memang tidaklah mudah, apalagi sampai menobatkannya.

Aku pun teringat akan seorang romo yang kukenal yang dulunya (entah apa sekarang masih) membentuk komunitas yang menampung PSK kelas teri di stasiun Wonokromo Surabaya. Dari sharing cerita yang kuterima, tidaklah mudah mendekati mereka ini. Para PSK yang bayarannya mungkin hanya cukup buat makan nasi pecel, karena memang yang dilayani adalah orang-orang di sekitar stasiun yang kumuh dan jorok itu.

Aku juga teringat pada seorang rekan di Jakarta yang dulunya tidak percaya bahwa dunia sudah semakin bobrok dengan maraknya prostitusi di Jakarta dan kota lainnya. Ketidakpercayaannya itu ditunjukkan saat kuperlihatkan daftar-daftar tempat hiburan yang full service dengan bisnis esek-esek itu.

Well… itulah dunia kita… kenyataan yang harus kita terima bahwa banyak godaan di sekitar kita. Saat kuliah, di fakultasku marak dengan rumor adanya sepasang kakak-adik yang pekerjaannya menjadi perex. Sepintas dilihat, memang dandanan dan perilaku mirip dengan deskripsi perex yang beredar di masyarakat. Selang beberapa tahun, aku sempat bertemu dengan keduanya di luar kampus bersama ibu mereka yang ternyata adalah orang yang cukup terkenal di kalangan gereja dan merupakan donatur yang cukup besar. Nah, hingga saat ini pun tidak ada yang pernah tahu kebenarannya… apakah mereka berdua benar-benar perex? Ataukah mereka hanya korban cap negatif akibat “kulit luar” mereka? Andaikan benar mereka perex, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka berasal dari keluarga yang beriman.

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa hampir di setiap kota sudah ada bisnis esek-esek bahkan secara terang-terangan. Seorang teman saat ke Bali pernah bertanya padaku: “Apa yang pertama kali kamu pikirkan saat melihat seorang bule berjalan dengan seorang wanita lokal dengan pakaian yang super sexi?” Aku yakin yang ada di benak kita kebanyakan adalah “wah… CO (cewek orderan) nich”. Memang cap negatif itu patut dimaklumi, karena di Bali begitu banyak pasangan yang terlihat “kontras” saat berjalan: putih – hitam, alias bule – lokal. Namun apakah semuanya itu prostitusi? Tentu tidak, karena di antara sekian pasangan antar etnis itu, ada yang benar-benar cinta. Hanya saja entah kenapa dandanan cewek (baik pasangan maupun sekedar CO) yang berjalan bersama para bule itu selalu bisa dikategorikan sexi. Ada sich yang bilang karena “tuntutan” dari pasangan bulenya.

Minggu depan umat Katolik sedunia sudah mulai memasuki masa pra Paskah, yang dimulai dengan hari Rabu Abu. Abu dimaksudkan agar kita sadar bahwa kita hanyalah berasal dari debu/tanah yang kotor. Selama 40 hari itu pula, kita ditantang untuk mengendalikan hawa nafsu kita dan merefleksi diri kita dalam bentuk pantang dan puasa. Kita pun diminta untuk merasakan Jalan Salib Kristus.

Aku ingin sedikit mengutip kisah yang ada pada Injil Yohanes 8:2-11; di sana diceritakan bahwa seorang perempuan kedapatan berzinah dan dibawa kepada Yesus. Para ahli Taurat dan orang Farisi menyebutkan menurut hukum Taurat, maka perempuan tersebut harus dilempari dengan batu. Namun, Yesus malah berkata: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Yohanes menulis bahwa satu per satu orang mulai meninggalkan kerumunan itu dimulai dari yang tertua. Kisah ini menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun di antara kita yang tidak berdosa. Dosa besar atau kecil itu hanyalah takaran saja, intinya tetap satu: DOSA.

Beberapa hari lalu aku menemukan jurnal dari seseorang di internet yang mengetengahkan bisnis esek-esek di beberapa kota di Indonesia. Capek juga bacanya, karena sedemikian panjang. Dan banyak hal yang kutemukan cukup mengagetkan karena sama sekali tak terduga sebelumnya. Kembali ke bisnis esek-esek… apakah yang akan kita lakukan apabila kita bertemu dengan salah seorang “ahli pijat aurat” tersebut? Bagaimana pula reaksi kita bila di antara mereka adalah orang-orang yang kita kenal atau bahkan kita sayangi? Inilah tantangan kita sebagai umat beriman.

Selamat menyambut Imlek dan Rabu Abu!

JN. Rony
20050202

eks bisnis makelar dan perantara, apa lu mau gua ada.

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan

 21 Jan 2005 @ 11:22 AM 

Dalam beberapa hari ke depan, rupanya saya memang diminta untuk beristirahat melepaskan segala kesibukan saya di luar kamar. Dengan adanya kecelakaan kecil yang mengakibatkan saya susah berjalan untuk beberapa hari memberikan saya kesempatan untuk banyak berdiam di dalam kamar dan hiburan saya hanyalah seperangkat komputer yang bisa berfungsi sebagai banyak hal, mulai tv, mp3, dvd, internet, dan di antaranya adalah untuk membuat refleksi lagi (setelah sekian lama absen :).

Saya pernah berjanji pada beberapa rekan untuk membuat satu tulisan perjalanan singkat dari milis ini… sebuah milis yang menurut saya fenomenal (salute to JK). Saya kira sekarang cukup tepat untuk menuliskannya πŸ™‚ Oret-oretan ini adalah tentang perjalanan milis dan sepak terjang saya πŸ™‚

Secara tepat, saya lupa kapan milis diskusi yang dikomandani Jeffry Komala ini lahir, sekitar tahun 2000-an ya? Yang jelas dalam arsip email yang ada di komputer saya saat ini menunjukkan bahwa sudah terdapat diskusi yang cukup ramai pada bulan September 2001. Saya sendiri sudah bergabung sebelum itu, namun beberapa hari sebelum serangan yang menghancurkan twin tower WTC di New York, terjadi pula “kecelakaan” pada komputer saya yang mengakibatkan hilangnya semua data yang ada, maka arsip sebelumnya benar-benar hilang, entah siapa lagi “anggota tua” yang suka mengarsip email di milis ini. Yang saya ingat adalah saya bergabung tak lama setelah milis ini lahir. Sebelum di milis ini, saya lebih banyak berdiskusi di milis Paroki-Net Surabaya yang juga fenomenal (setelah sebelumnya di ParokiNet :), bersama dengan beberapa “pentolan” di milis ini, di antaranya MoNi. Bertemunya saya dengan milis ini pun hanya kebetulan, efek dari browsing yang akhirnya membawa saya mencoba milisnya Jeffry ini. Waktu itu memang sedang mulai timbul bibit-bibit maraknya milis rohani, namun saat awal bergabung saya agak pesimis mengingat banyak milis rohani yang saya coba namun semuanya berakhir dengan sepi dan mati.

Perkenalan awal dengan milis diskusi ternyata berlanjut, mengingat diskusi yang ada cukup menarik, waktu itu yang saya tahu anggota aktifnya tidak banyak, seingat saya tidak sampai 50 orang yang aktif setiap harinya berkirim email. Seiring waktu, mulailah banyak imam yang join ke dalam milis ini dan disertai pula keluarnya beberapa imam yang sudah join sejak awal mengingat kesibukan mereka dan semakin ramainya frekuensi milis ini; salah satunya adalah MoNi yang akhirnya juga meninggalkan komunitas ParokiNet Surabaya (entah karena kemauan sendiri atau karena ada masalah denganserver saat itu :). Tahun-tahun itu pula saya masih aktif mengikuti setiap diskusi yang ada di milis.

Dari arsip yang saya baca kembali, terlihat pada tahun-tahun awal milis ini sudah sangat hebat! πŸ™‚ Saat itu terbentuklah pelayanan distribusi film rohani, tim doa, dompet peduli, dsb. Dari peserta diskusinya pun sudah beragam, yang saya ingat betul adanya seorang kristen taat (Mr. JP) yang ikut meramaikan milis mula-mula, namun diskusi tetap terkontrol. Seiring dengan pertumbuhan milis diskusi, lahir pula milis Api Katolik dan tak lama pula lahir juga milisnya tanah Purwokerto – Serayu-Net, dan masih banyak milis lainnya seperti milis para webmaster katolik – all-for-one, dsb. Saya sendiri saat itu juga bergabung dengan milis-milis baru tersebut, walaupun ada yang jenuh karena “isi” dari tiap milis tersebut gampir sama mengingat anggotanya juga hampir sama. Seiring perkembangan, saya memutuskan meninggalkan Api Katolik karena pertimbangan ini-itu. Sedangkan Serayu-Net saya lihat punya jalur diskusi tersendiri, mengingat ini milisnya keuskupan Purwokerto, tentunya akan berbeda dengan milis diskusi.

Tahun-tahun awal milis diskusi mulai dihebohkan dengan diskusi seputar patung Bunda Maria menangis darah di Surabaya, tepatnya di rumah Bpk. Thomas (alm.) yang sempat menjadi pro dan kontra. Saya baru dapat info kalau pembimbang Bpk. Thomas juga ada di milis ini πŸ™‚ Waktu itu saya sempat berseteru dengan anggota yang pro Bpk. Thomas (guys, remember Patricius? πŸ™‚ yang akhirnya hilang ditelan bumi. Saat itu pula Frater Wid sudah mulai akrab dipanggil Romo :p Tak lama setelah itu mulailah “perang urat syaraf” secara rutin di milis, sebut saja kasus “stoneddeejays dontlie” (Mr. Leo, how r u?); lalu munculnya milis “Indonesia-2001”; tak terkontrolnya milis “ApiK”; bertebarannya milis berawalan “Api” sebagai kelanjutan dari rusaknya “ApiK”; kasus “Surat Domba” di Keuskupan Surabaya (Mr. Lamuri, How r u? :), lalu rame-ramenya diskusi dengan Ursula (hi! how r u? :), dan masih banyak lagi (yang terakhir sempat anget with Mr. Tony :). Tak ketinggalan di milis ini juga telah mengalami beberapa peristiwa, seperti bom Bali, kematian dari papanya Jeffry (Oct 2002), dibajaknya tulisan Rm. Gani (yang akhirnya berbuah diterbitkannya buku karya MoNi), meninggalnya Uskup Surabaya – Mgr. Hadiwikarta, sampai digantinya perangkat komputer yang jadi jantung milis dan web gerejakatolik pada pertengahan 2002.

Walaupun begitu banyak kehebohan yang ada di milis, namun rata-rata kehadiran lawan bicara yang heboh itu datang dan pergi bagaikan tsunami di Aceh. Bagi sebagian anggota milis ini, mungkin komentar-komentar saya di milis dirasa mengganggu dan “kurang beriman”, namun itulah saya. Saya pribadi telah mengalami pasang surut dalam mengikuti Gereja Katolik, mulai dari sekedar ke gereja sampai aktif dalam dunia karismatik dan akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti cara kuno dan konservatif dalam beriman. Buat saya sekarang, beriman adalah bagaimana saya berpraktek dalam iman, bukan sekedar teori muluk dan berada di awang-awang. Begitu banyak orang-orang yang saya kenal berbicara soal iman, kerendahan hati, teologi yang tinggi, ajaran kasih, cinta Kristus, dsb. namun dalam tindakan ternyata NOL besar. Saya dibesarkan di lingkungan yang cukup keras dan membentuk saya untuk selalu bisa melindungi dan melayani diri sendiri tanpa bantuan orang lain; maklum hidup sebagai minoritas di era Soeharto memang menuntut keluarga saya untuk bisa hidup super mandiri: bertindak secerdik serigala dan berotak selicin musang. Karena itulah bagi saya, orang-orang yang tiba-tiba datang ke milis dan menyuarakan hal-hal yang muluk-muluk apalagi disertai dengan emosi dan kesombongan diri adalah tindakan super najis. Namun, saya pun tetap membagi 2 hal dalam milis ini, yaitu perkara iman dan perkara netiket. Perkara iman saya pribadi bukanlah orang yang suci, sehingga biarlah yang meladeni mereka yang lebih berkompeten, sedangkan saya lebih menyoroti perkara netiket. Hidup dalam masyarakat tentunya punya norma, demikian pula di milis… so, berdasarkan netiket itu pulalah saya bersuara vokal.

Selama 3 tahun arsip yang ada saya coba baca ulang, banyak sekali terjadi diskusi hangat bahkan panas, namun toh tak pernah bisa membuat milis ini runtuh, karena semuanya didasarkan atas dasar niat baik untuk berdiskusi, di samping kerja Jeffry sebagai moderator yang saya acungi jempol; di kala tuntutan pekerjaannya yang super sibuk di sebuah instansi yang merupakan tempat kerja paling sibuk nomer 2 dari semua tempat kerja yang ada (versi saya), namun masih menyempatkan menulis sedemikian banyak di milis. Jadi saya rasa buat mereka yang mau mengacau di milis harap berpikir 10 kali, mengingat di milis ini juga telah terbentuk beberapa “watcher” sukarela untuk menanggulangi tindakan kerusuhan tersebut, sebagai bukti cinta pada Jeffry πŸ™‚

Dari sisi keanggotaan, saya lihat hingga saat ini masih banyak anggota senior yang aktif hingga sekarang, seperti Frater Widyo, Romo Gani, Romo Teja, Romo Seger, Mam Densy, lalu bapak-bapak berikut: Babe Re, Daniel, Andreas, David W, Kartono, Eric, Seng Goan, Yoga, Jerry, David Tjandra, dan masih banyak yang ga bisa disebutkan satu-satu… namun saya melihat terjadinya regenerasi dalam berdiskusi, dari yang dulunya kebanyakan dijawab oleh Jeffry, namun sekarang sudah begitu banyak pakar-pakar Gereja Katolik yang bersuara. Salute untuk Anda semua! Saya sendiri sejak tahun 2004 lebih banyak memfokuskan diri pada pekerjaan sehingga tak banyak bersuara di milis (kecuali untuk ribut tentunya :). Inilah dinamika milis diskusi sepanjang perjalanannya, semakin matang dan solid; walaupun kadang terlihat heboh dan panas.

Lalu saya cukup banyak menyoroti suara dari rekan-rekan soal perbedaan pendapat, yang menimbulkan pertanyaan buat saya: apakah dengan mengaku sebagai orang Katolik (agamanya sama) lalu kita tidak boleh punya pandangan/pendapat yang berbeda? Saya rasa sah-sah saja… toh pengalaman iman tiap orang berbeda. Justru pengalaman iman itulah yang coba kita cari melalui diskusi di milis ini. Saya lihat sebagian dari rekan di milis mengharapkan milis ini selalu damai, tentram, aman dan berisikan hal-hal yang indah. Menurut saya, bila demikian adanya, milis diskusi tidak akan bertahan lama. Mengapa? Sebab artinya milis ini hidup di awang-awang. Beriman pada Kristus tidaklah selalu indah dan mengenakkan. Justru saya banyak belajar dari perbedaan dan dari sana iman saya semakin teruji, apakah saya setia pada Gereja Katolik atau tidak. Saya banyak melihat rekan-rekan saya menyerah dengan berbagai alasan dan pindah ke gereja tetangga. Justru bila kita selalu senantiasa hidup dalam lingkaran kenyamanan, maka pas ada serangan kecil saja, iman kita langsung goyah. Inilah yang saya sukai dari milis diskusi, yaitu perbedaan dan keragaman diskusi yang terjadi, yang saya tidak temukan dalam milis rohani manapun yang pernah saya jelajahi. Kebanyakan milis rohani malah hanya berisikan email-email cerita hasil forward yang ga jelas menambah iman atau hanya sebagai sampah iman yang bertebaran di dunia maya.

Itulah sekelumit perjalanan milis diskusi dari tahun ke tahun dengan beberapa perkembangannya. Demikian pula sedikit tentang apa yang saya yakini selama mengikuti milis ini. Buat saya simple kok, diskusi tidak selalu berakhir dengan keputusan yang sama, karena nanti namanya jadi musyawarah untuk mufakat. Diskusi iman tentu akan berbeda hasil bagi setiap orang, karena yang namanya iman adalah pengalaman paling pribadi dari setiap orang yang manjalaninya. Walaupun kita satu atap dalam Gereja Katolik, tapi jalan yang kita tempuh akan berbeda; ada yang lurus dan lancar, namun ada yang harus melewati jalan berliku-liku. Tidak ada yang salah atau benar dalam pengalaman iman, selama semuanya berusaha menggali dan mencari kebenaran akan Kristus. Maka marilah kita berdiskusi dengan benar, janganlah berdiskusi dengan tujuan pembenaran diri dan penyombongan iman. Selain itu, sebagai pengguna dunia maya, kita pun dituntut untuk belajar dalam bermasyarakat di dunia maya. Dunia nyata punya aturan, demikian pula dunia maya, jangan asal tabrak saja. Saya pribadi kurang menyukai birokrasi dan peraturan, namun semua itu tentunya akan tetap ada dan akan selalu dilanggar. Namun dengan kesadaran untuk beretika baik di milis tentu akan bisa membuat suasana diskusi di milis menjadi nyaman, sekalipun topiknya sepanas apapun. Dan bila tetap ada yang keras kepala, tentunya saya masih akan setia meladeni karena saya paling suka ama urusan dunia macem ini; mungkin sudah suratan untuk jadi “raja setan”, julukan yang diberikan junior saya di kala SMA dulu πŸ™‚ Sayang hingga saat ini belum ada berani bertemu, melainkan hanya berani berkoar-koar mengacau di milis πŸ™‚

Selamat hari raya Idul Adha!

JN. Rony
20050121
“Penting atau tidak penting, yang penting tidak merasa diri paling penting”

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Intermezo

 26 Dec 2004 @ 11:21 AM 

Natal kali ini berbeda dengan Natal yang sudah kulalui sebelumnya. Selama aku menjadi seorang Katolik, aku selalu merayakan Natal di kota kelahiranku. Itupun selalu misa di 2 tempat saja, kalau tidak di gereja tempatku dibaptis, ya di katedral saat aku bertugas bersama koor. Namun, Natal kali ini aku merayakan di tempat yang sama sekali tidak pernah kupikirkan sebelumnya, Bali. Pertama karena aku lebih suka merayakan Natal di gereja masa kecilku dan kedua karena aku paling malas ke Bali saat liburan bersama, terlalu macet buatku.

Beberapa hari menjelang Natal kemarin, aku cukup disibukkan dengan beberapa kegiatan, praktis membuatku cukup sibuk dan capek karena harus pulang ke kost cukup larut malam. Di kala kesibukan tersebut, aku mendapatkan sesuatu yang lain dalam Natal kali ini, pohon Natal dan kaos kaki Natal! Seorang teman memberiku pohon Natal mini yang bertaburan salju, sedangkan seorang teman lain memberikan bingkisan dan kaos kaki Natal. Mungkin inilah hadiah dari Tuhan buatku. Memang Natal kali ini tidaklah semeriah merayakan Natal di Surabaya, bisa bertemu dan bernostalgia dengan teman-teman lama saat bertemu di misa malam Natal, namun Tuhan memberikan hadiah Natal lewat beberapa orang yang kukenal di sini. Belum lagi beberapa teman baikku bisa berkumpul di Bali, berlibur sekalian merayakan Natal di sini.

Suasana Natal di Bali tahun ini agak meleset dari dugaanku. Melihat kondisi lebaran kemarin dan stok tiket pesawat serta hotel 2 minggu lalu yang habis, seharusnya Natal kali ini Bali pun akan macet dan penuh dengan turis. Tapi ternyata dugaan tersebut meleset. Menjelang libur Natal, ternyata banyak tiket pesawat yang batal terbang dan kemudian dijual murah, begitu juga dengan kamar-kamar hotel, tidak lagi penuh seperti sebelumnya. Kondisi jalanan di Bali pun tidak banyak kendaraan pendatang. Hal ini mungkin berkaitan dengan “travel warning” yang dikeluarkan oleh beberapa negara agar warganya tidak berkunjung ke Indonesia, berkaitan dengan ancaman bom di hotel Hilton.

Malam Natal kemarin kuperingati dengan misa bersama teman-teman di Katedral Denpasar. Suasana misa malam Natal di Bali memang berbeda dengan Surabaya. Hampir semua gereja penuh sesak, mengingat jumlah gereja yang tidak begitu banyak dan jadwal misa yang paling banyak hanya 2 kali untuk setiap gereja. Bandingkan dengan Surabaya yang jumlah gerejanya lebih banyak dan jadwal misa bisa sampai 3 kali tiap gereja. Belum lagi daya tampung di mayoritas gereja di Bali sangat kecil dibandingkan di Surabaya. Inilah yang membuat misa malam Natal di Bali begitu penuh sesak dan katedral adalah gereja dengan kapasitas paling besar di sini. Berkaitan dengan teror bom di beberapa tempat, pengamanan di Katedral Denpasar pun begitu ketat. Setiap pengunjung yang masuk dan membawa tas, digeledah oleh aparat kepolisian yang sudah berjaga di pintu masuk gereja. Lalu saat masuk ke gedung, setiap orang diwajibkan melewati pintu detektor. Pihak kepolisian serasa tidak ingin “kecolongan” lagi, terbutki dengan begitu banyaknya personel yang diturunkan pada saat malam Natal. Saat misa, suasana pun terasa berbeda, mungkin memang aku terlalu membanding-bandingkan dengan suasana di kampung halaman dan tentunya pasti berbeda. Namun, aku sadar bahwa aku harus mencoba menerima perbedaan tersebut. Sesuai misa, aku bersama dengan rombongan kecil pergi makan malam bersama sambil ngobrol santai.

Well, suasana Natal kali ini memang berbeda. Namun, setidaknya aku tetap bisa merayakannya dengan sehat bersama dengan beberapa teman. Inilah karunia Tuhan yang kuperoleh sebagai hadiah Natal untukku. Masih banyak orang-orang yang tidak bisa merayakan Natal karena berbagai alasan. Aku berharap, semoga damai Natal kali ini dapat memberiku semangat untuk terus bertahan di kota ini.

Selamat Natal semuanya!

JN. Rony
20041226

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Personal





 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.