Pagi tadi aku teringat akan sebuah iklan sebuah pabrik rokok yang cukup besar, “Jadi tua itu pasti, jadi dewasa itu pilihan”. Sejenak kupikirkan lebih dalam iklan “nylekit” itu. Memang, menjadi tua itu sudah wajib hukumnya bagi setiap manusia… seiring dengan waktu, manusia sehebat apapun akan “lapuk” oleh waktu. Namun kalimat “jadi dewasa itu pilihan” itulah yang menggelitikku. Tanpa sadar, kita sering tidak memikirkan “dewasa”, melainkan hanya memikirkan “tua” saja. Aku teringat saat masih kecil, ketapa senangnya aku setiap kali berulang tahun, sebab artinya aku semakin besar. Lalu saat duduk di bangku sekolah, banyak di antara kita yang begitu menantikan usia 17 tahun yang dilanjutkan dengan penantian usia 21 tahun saat kuliah. Penantian itu disebabkan karena kita berpikir bahwa bila mencapai usia tersebut kita sudah dianggap “dewasa” oleh orang lain. Saat itu yang ada di benak memang bertambah tua = bertambah dewasa.
Lewat iklan unik tersebut kita diajak berpikir secara jenaka. Bila mau direnungkan lebih dalam, bertambah tua tidak menjanjikan bahwa orang tersebut bertambah dewasa. Aku mencoba melihat diriku, sering kali aku bertindak kenanak-kanakan di usia yang semakin senja ini… Lewat sharing dengan banyak teman, aku pun mendapatkan kenyataan bahwa masih banyak orang yang belum dewasa walau usia semakin tua. Begitu juga sebaliknya… ada orang-orang yang dewasa sebelum tua. Tua dan Dewasa seolah telah menjadi 2 bagian yang tak terpisahkan dalam pikiran masyarakat; walaupun sebenarnya Tua dan Dewasa adalah 2 bagian yang belum tentu berjalan beriringan.
Dalam perjalanan hidupku, aku selalu menganggap diriku sudah tua dan bau tanah ๐ Kenapa demikian? Sebab aku tipe orang yang “expect the unexpected”, selalu mengharapkan yang terburuk. Walau tidak sepenuhnya siap, tapi aku selalu mencoba untuk menjadi orang yang siap mati kapan saja. Aku mencoba untuk tidak lagi tergantung pada dunia, walaupun hal itu sangat sulit untuk tipikal manusia “melankolis” seperti aku. Nah, dari menumbuhkan perasaan tua dalam diri ini, aku kemudian mencoba untuk turut menumbuhkan pula perasaan dewasa seiring dengan bertambahnya umur. Ternyata, menjadi tua memang lebih mudah daripada menjadi dewasa. Menjadi tua berarti sekedar bertambahnya usia yang disertai dengan tumbuhnya rambut putih, semakin jelasnya keriput di wajah, bertambah gendutnya perut, dsb. Menjadi dewasa itu berarti kompleks lagi, sebab berbeda dengan tua yang indikatornya lebih ke fisik, dewasa indikatornya lebih transparan karena lebih menyangkut soal psikis. Kedewasaan seseorang lebih banyak dinilai dari cara berbicara, cara berpikir, cara bertindak, cara pengendalian diri, dsb.
Hari ini ada 2 orang teman yang berulang tahun, yang seorang teman kantor, seorang lainnya teman kost. Untuk teman kost, kami sengaja menyiapkan “kado” istimewa di malam ultahnya. Dengan kerjasama satu sama lain, kami sengaja menciptakan situasi yang jelas-jelas sekali membuat dia BT berat sejak H-2 sebelum ultahnya. Namun, rencana tetap jalan… kami buat dia masuk kerja shift malam (minggu ini dia shift pagi), mobil kantor pun kami bawa (sehingga mau tak mau dia harus menunggu jemputan saat pulang kantor), lalu kamarnya kami hias layaknya pesta anak umur 5 tahun. Menjelang pukul 12 tengah malam, dia kami jemput, dimulailah acara pesta singkat (karena besok pagi harus kerja semua) dan tidak terlalu ramai (karena penghuni kost lain sudah pada tidur). Saat itulah kami juga membuat “pengakuan” tentang rencana kami yang membuat dia BT dan saat itulah BT-nya langsung hilang :). Ada satu sikap yang kusoroti lewat teman kost ini, yaitu sikap pengendalian dirinya yang cukup matang. Memang dia BT berat saat tahu harus tukar shift, namun mengingat alasan yang diajukan adalah demi kepentingan teman, maka dia pun rela untuk masuk malam (padahal seminggu sebelumnya sudah tugas malam terus). Walau dengan perasaan sebal karena harus tukar jadwal, tapi toh dia tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Begitu pula saat tahu bahwa dia sedang dikerjai oleh teman-teman kostnya, dia pun bisa menerima dengan lapang dada, karena apa yang kami lakukan ini sebagai tanda sayang dan perhatian kami.
Lalu untuk teman kantor, walau kami jarang sekali bertemu, mengingat kami berbeda lokasi kantor, namun ada beberapa hal yang bisa kulihat dari sosoknya. Saat awal bekerja di kantor ini, yang kutahu teman ini menjadi bulan-bulanan, mungkin dirinya pada masa lalu merupakan orang yang menyebalkan di kantor, tapi apa sebabnya aku tak tahu dan tak mau tahu. Seiring dengan perjalanan waktu, aku melihat bahwa dalam diri teman ini mengalami cukup banyak perubahan. Begitu banyak berita yang kudengar, baik positif maupun negatif… namun ada satu yang bisa kulihat… bahwa selain bertambah tua, dia juga bertambah dewasa dalam tindakan dan pemikiran. Bisa jadi pergaulannya sekarang yang membentuknya demikian, namun yang terpenting adalah keinginan dan niat dari dalam diri untuk dewasalah yang bisa membuatnya demikian.
Sudah hampir 10 tahun terakhir ini aku mencoba memaknai ulang tahun lebih dari sekedar menjadi tua. Aku mencoba untuk mensyukuri ketuaan tersebut. Itulah setiap ulang tahunku selalu ada ritual ke gereja untuk misa, entah itu misa pagi atau sore hari. Aku mencoba untuk mensyukuri berkat napas yang boleh kuterima hingga setua ini dan aku berharap dengan bertambahnya umurku, aku dapat semakin berguna bagi Tuhan, keluarga dan orang-orang di sekitarku. Saat itulah aku mencoba mengingat kembali semua berkat-berkat yang kuterima sepanjang 1 tahun terakhir dan kurefleksikan kembali. Lewat itu aku mencoba untuk menjadi lebih dewasa.
Saat ini aku bertugas jauh dari rumah. Hidup sendiri di Bali bukan lagi menjadi sebuah pilihan, namun konsekuensi yang harus kujalani. Untuk itulah aku dituntut untuk lebih dewasa dalam banyak hal. Lewat orang-orang di sekitarkulah aku banyak belajar dan lewat peristiwa yang kualami aku mencoba bertumbuh dalam kedewasaan. Aku berharap lewat keakraban yang terjalin antara aku dengan teman-teman dapat membuat kami bertumbuh bersama dan menjadi dewasa bersama-sama. Menjadi dewasa tidaklah harus serius senantiasa, menjadi dewasa pun bisa dibentuk dalam keceriaan. Menjadi dewasa bukan berarti harus mengatur segalanya, namun lebih ditekankan pada kebijaksanaan yang keluar dari dalam diri. Menjadi dewasa tidak selalu benar dalam segala hal, namun kadang bisa jadi dewasa dengan menertawakan kebodohan diri sendiri.
Aku pun teringat pada testimonial yang ditulis oleh beberapa kawan lewat Friendsterku… mungkin yang ditulis lebih banyak yang baik-baik saja tentang diriku, namun aku melihatnya sebagai kritikan akan siapa diriku di mata teman-temanku. Kadang saat kubaca, aku pun menertawakan diriku… apakah aku sudah benar-benar seperti apa yang ditulis? Ataukah saat itu aku hanya memakai topeng sehingga orang mengenang kepalsuanku? Yang jelas, seiring dengan bertambahnya usiaku… aku menyadari begitu banyak hal yang berubah dalam diriku… dan itupun memacu aku untuk menjadi lebih dewasa dalam segala hal…
Ad Maiorem Dei Gloriam!
JN. Rony — jadi tua itu pasti, jadi dewasa itu wajib!
20041104
untuk Alex dan Imey yang berulang tahun…
Beberapa hari terakhir ini aku cukup direpotkan oleh semut-semut kecil yang berkeliaran di dalam kamarku… Awal mula aku menempati kamar ini, boleh dibilang bebas dari berbagai macam serangga, namun mungkin karena barang-barang sudah ditempatkan pada posisi masing-masing, lalu juga adanya persediaan makanan di kamar, membuat pasukan semut mulai bergerilya mencari ransum untuk gudang mereka. Herannya, sampai hari ini aku belum bisa menemukan jalur perjalanan semut-semut tersebut, jadi keberadaan mereka mau tak mau masih terus ada.
Awalnya aku betah saja membunuh satu per satu semut-semut yang terlihat, kadang kala kalau di tembok terlihat barisan semut, kusemprot dengan HIT (kalau ga ada yang lebih bagus dari hit, buat apa pilih yang lain?), namun lama-kelamaan aku gerah juga karena sudah berhari-hari semut-semut itu selalu hadir seolah tak pernah habis dan jera melihat teman-teman pendahulunya kubasmi dengan kejamnya.
Di saat senggang, kadang aku memikirkan perilaku semut-semut tersebut… dan mau tak mau aku harus salut dan angkat topi untuk mereka. Kenapa begitu? Sebab mereka begitu gigihnya dalam mencari ransum, serasa teringat akan moto para pejuang kemerdekaan dulu… mati satu tumbuh seribu atau maju terus pantang mundur, dsb. Para semut-semut kecil ini tetap nekat kembali ke tempat yang sama atau bahkan mengejar makanan yang kupindahkan tempatnya. Tujuan mereka serasa satu… bergotong-royong dan bahu-membahu mendapatkan target mereka, yaitu makanan! Apa yang dilakukan semut-semut itu sedikit banyak bisa kita terapkan dalam keseharian kita, terutama dalam lingkungan pekerjaan.
Ada seorang kawan yang menuturkan kisahnya padaku, sebut saja Joni. Si Joni ini bekerja di sebuah perusahaan multinasional yang cukup sukses dan memiliki jaringan di seluruh Indonesia. Posisi yang dimiliki oleh Joni adalah sebagai salah satu pimpinan cabang yang bisa dibilang sukses pula. Awal mula Joni bekerja di perusahaan ini, semuanya terasa bersahabat dan indah, apalagi saat itu Joni mendapatkan banyak support dari sesama rekan kerjanya. Seperti semut-semut tadi, Joni dan seluruh team bekerja sama dengan satu tekat membesarkan perusahaan tempat mereka bekerja. Satu waktu, perusaahaan mereka membukukan hasil yang melampaui target dan hal ini disambut gembira oleh ratusan karyawannya. Saat itu mulailah ada perbaikan nasib di antara para karyawan, mulai gaji, bonus, tunjangan, fasilitas, dsb. Sayangnya, keberhasilan ini membuat beberapa orang jadi lupa daratan, mengingat seolah-olah mereka mendapatkan durian runtuh dalam jumlah yang besar, sehingga bisa dipakai berjualan durian. Mulailah terjadi saling sikut-menyikut, saling menuduh, saling menjatuhkan dan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Joni adalah salah satu korban dari persaingan tidak sehat tersebut. Dalam hati, Joni sangat kecewa dengan kondisi tersebut dan memutuskan mundur dari perusahaan tersebut. Tak lama berselang, perusahaan Joni ini dituntut pailit karena ditemukan terjadinya korupsi besar-besaran di dalam perusahaan oleh orang-orang yang tamak dan buta karena kesuksesan sesaat yang mereka capai. Menurut Joni, mereka lupa saat-saat mereka saling bahu-membahu membangun perusahaan dengan susah-payah, hanya karena uang, jabatan dan fasilitas yang mereka dapat lebih dari yang biasanya mereka terima akibat sukses tersebut. Beruntunglah Joni sudah memutuskan untuk keluar sebelum terkena kasus.
Kisah Joni tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi apabila mereka yang ada di perusahaan tersebut mau mencontoh kerja para semut kecil. Banyak orang mengatakan bahwa semut adalah pekerja yang tak kenal lelah. Koloni semut seakan-akan bekerja sepanjang waktu. Sekalipun mereka mendapatkan “jarahan” dalam jumlah besar di rumah kita, mungkin saat kita bepergian cukup lama dan membiarkan makanan dalam keadaan terbuka, atau mungkin kita ceroboh dalam menyimpan bahan makanan, dsb.; namun para semut-semut tersebut tetap akan mencari dan mencari sumber makanan yang bisa mereka ambil. Target lebih yang mereka peroleh bukan mengartikan bahwa mereka boleh berhenti bekerja. Semut juga patut diacungi jempol untuk kerjasamanya. Walaupun mereka kecil, namun mereka bisa mengangkut barang-barang yang ukurannya beberapa kali lipat dari tubuh mereka. Mereka saling bahu-membahu dalam setiap pekerjaan. Inilah yang sering dilupakan orang… saat susah, orang cenderung untuk saling berbagi… namun saat sukses, orang akan berusaha berebut kesuksesan tersebut.
Aku sangat suka dengan buku berjudul “Who Moved My Cheese?” yang bertutur tentang 3 ekor tikus dalam perjalanan mereka mencari keju dalam sebuah labirin. Saat ketiga tikus tersebut menemukan ransum keju dalam jumlah besar, mereka berpesta pora dan menikmati hidup mereka dengan keju-keju tersebut. Setiap hari mereka menuju ke tempat yang sama dan menghabiskan keju-keju yang ada di sana. Saat persediaan keju mulai menipis, mulailah terjadi perpecahan di antara mereka: tikus pertama yang sudah dimabuk oleh kesuksesan tidak percaya bahwa keju telah habis dan selalu berharap apa yang menimpa mereka ini hanyalah mimpi. Setiap hari tikus pertama selalu kembali ke tempat tersebut sambil berharap bahwa keju-keju yang kemarin hilang tersebut sudah dikembalikan lagi ke tempat semula dan setiap hari yang diperoleh oleh tikus pertama hanyalah rasa kecewa. Tikus kedua memutuskan untuk mencari “gudang” keju yang baru, namun yang dia peroleh hanyalah sisa-sia keju busuk yang sudah ditinggalkan oleh penghuni lama. Mengetahui hal ini, tikus kedua mulai menyesali dirinya dan terpuruk dalam kesedihan mendalam. Sedangkan tikus ketiga, semenjak ransum mereka hampir menipis, dia sudah mengajak teman-temannya untuk mencari “gudang” baru sekedar berhaga-jaga bila ransum keju mereka habis, namun idenya selalu ditolak oleh kedua temannya dengan alasan mereka masih bisa makan kenyang di tempat itu. Akhirnya tikus ketiga pun sudah mulai mencari jalan baru dalam labirin yang membingungkan tersebut dengan menyisihkan waktunya. Setiap pagi, tikus ketiga ikut bersama kedua temannya untuk makan keju, namun siang hari tikus ketiga meninggalkan mereka untuk mencari persediaan keju baru. Saat keju telah habis, tikus ketiga sudah mendapatkan “gudang” baru untuk dirinya.
Analogi ketiga tikus yang mencari keju ini cukup bisa menggambarkan sikap kita dalam pekerjaan. Tikus pertama menggambarkan orang yang silau karena kemapaman yang diterima sehingga saat masalah datang, dia tidak bisa menerima dan menganggap kesuksesan telah direnggut darinya. Atau mungkin seperti kasus si Joni di atas, orang yang silau karena kesuksesan sesaat sehingga lupa akan masa-masa berat yang telah mereka lalui. Tikus kedua menggambarkan orang yang mau mencari sumber baru saat kesuksesannya pudar, namun saatnya sudah terlambat. Orang ini tidak mau berjaga-jaga sejak awal, namun lebih memilih bersantai menikmati kesuksesannya dan saat semuanya sudah hilang, orang ini sudah kehilangan sumber lain karena kalah cepat dengan orang lain. Tikus ketiga menggambarkan orang yang dalam pekerjaannya selalu waspada dan mawas diri. Dia tidak mudah terbuai oleh kesuksesan yang berhasil diraih sekalipun itu sukses besar. Oleh karena itu, sekalipun sudah berhasil meraih targetnya, dia tetap berusaha untuk mencari target baru dalam pekerjaannya. Analogi tikus ketiga ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh koloni semut.
Pikiranku kembali termenung saat menunggu jam pulang kantor ini… aku mencoba untuk menilai diriku, termasuk tikus yang manakah aku?
Cheeseee!!!
JN. Rony
20041020
Tak terasa sudah 3,5 bulan kumendiami kota Denpasar ini. Selama itu pula aku banyak mendapatkan pengalaman baru. Malam ini aku kembali mencoba untuk merefleksikan diriku di tengah keheningan malam di balkon kamar kostku ditemani oleh seekor nyamuk beserta teman-temannya.
Bulan pertama aku memasuki Bali adalah bulan dimana kondisiku sangat tertekan. Saat itu aku sedang diliputi oleh banyak sekali masalah. Mungkin saat itu badanku sedang sangat capek, mengingat himpitan pekerjaan dan persiapan pindahan saat itu benar-benar mendesak. Bila kupikir kembali ke belakang, keputusanku untuk menerima posisi di Bali adalah sebuah keputusan yang tergesa-gesa dan kurang matang. Entah apa yang saat itu kupikirkan, yang jelas saat keputusan itu kuumumkan, begitu banyak yang kurang setuju atau kaget dengan keputusanku. Itu sebabnya saat itu emosiku sungguh tak terkontrol, hampir setiap hari kepalaku pusing karena marah. Begitulah kujalani hari-hariku dengan arah yang tak pasti. Apalagi saat itu aku bisa dikatakan seorang diri tanpa relasi ataupun teman.
Saat awal kutiba di kota yang baru ini, yang terpikir olehku adalah mencari gereja dimana aku bisa ikut misa. Setidaknya menurutku itu bisa sedikit menghibur aku yang tanpa kenalan. Akhirnya aku pun menemukan 1 gereja yang dekat dengan kost tempat kutinggal dan aku mulai mencoba misa di sana. Namun, yang terjadi adalah kebosanan yang teramat-sangat, suatu hal yang tidak pernah kurasakan dalam 5 tahun terakhir. Sampai akhirnya kuputuskan untuk misa di gereja yang lain saja.
Seiring dengan waktu, aku berusaha untuk selalu merefleksi diriku kembali. Lewat dukungan dari beberapa romo pembimbingku dan juga beberapa teman akrabku, aku selalu berusaha bertukar pendapat dan pengalaman baik via telepon maupun email. Selain itu aku berusaha untuk memahami budaya dan kebiasaan lingkungan di sekitarku ini. Dari sana aku melihat begitu banyak hal-hal yang unik dan menarik tentang kehidupan di Bali, yang sebelumnya tidak pernah terpikir oleh kita yang hanya pernah ke Bali untuk keperluan berlibur saja.
Memasuki bulan ketiga, aktivitasku mulai lancar, seiring dengan pindahnya kost dan kantorku ke tempat yang baru. Saat-saat inilah yang kupakai untuk berdamai dengan keadaan. Memang kadang-kadang aku masih menyimpan kemarahan, namun aku berusaha untuk mengolahnya dan menahan emosi semampuku. Dan Puji Tuhan… sebagian besar aku berhasil mengalahkan diriku dan tidak sampai emosi yang berlebihan. Bahkan aku pun mencoba untuk berdamai dengan cinta… berdamai dengan masa lalu… berdamai dengan diriku sendiri…
Dalam pekerjaan di kantor pun demikian, aku banyak mengalami kesulitan mengingat tidak adanya kenalan di kota ini. Saat awal kumulai tugasku di sini, bagaikan 1,5 tahun lalu saat aku pertama kali bekerja di perusahaan ini. Namun, aku selalu mencoba untuk optimis dan menyerahkan semuanya pada Tuhan. Dan memang, lewat banyak kejadian… campur tangan Tuhan banyak bekerja di dalam pekerjaanku hari demi hari. Walaupun saat ini target yang harus kucapai masihlah jauh, namun hasil yang kuperoleh cukup membuktikan bahwa kuasa Tuhan ikut bekerja.
Dalam pertemanan, awalnya aku cukup kesulitan menemukan teman di sini. Hal ini dikarenakan kost pertamaku lebih banyak dihuni oleh keluarga dan teman lama yang kutahu semuanya sudah tidak lagi berada di Bali. Namun, secara perlahan aku banyak dikejutkan oleh pertemuan-pertemuan yang tidak disengaja dengan teman lama, baik teman SMA maupun teman kuliah. Ditambah lagi perkenalan dengan beberapa teman sesama perantauan dari tempat kost yang baru. Dari sanalah aku melihat bahwa Tuhan tetap setia menjagaku.
Aku teringat akan perjalananku ke kota Negara 2 minggu yang lalu, dimana aku benar-benar merasakan penjagaan Tuhan atasku. Selama perjalanan, aku menyetir mobilku dengan kondisi yang terus mengantuk, padahal sebelum berangkat aku sudah beristirahat cukup. Aku sungguh bersyukur bisa sampai dengan selamat. Saat pulang, aku mengalami kejadian yang cukup mengagetkan… karena rasa kantuk yang semakin menjadi, aku melanggar rambu dan dengan cepat aku tersadar dan segera kembali, namun saat itu ternyata aku sudah “ditunggu” oleh seorang polisi. Singkat cerita, urusan “kesalahan tak disengaja” ini diselesaikan dengan “uang damai”. Tak lama kemudian, aku kembali dikejutkan oleh sepeda motor yang menyalip dari sebelah kiri di jalan yang berbelok dan aku merasakan bahwa badan mobilku bersenggolan dengan kedua pengendara motor yang tak berhelm tersebut. Saat itu aku melihat bahwa motor itu mulai oleng, namun untunglah si pengemudi cukup cekatan sehingga mereka tidak sampai jatuh dan dengan rasa tak bersalah mereka tetap melanjutkan perjalanan dengan gaya zig-zag mereka. Memang di Bali, banyak kecelakaan disebabkan oleh sepeda motor yang bisa dibilang “ugal-ugalan” di jalan. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bila sampai terjadi kecelakaan, mengingat sudah ada banyak kasus (di antaranya dialami oleh adik dari teman kostku) yang merupakan kesalahan dari pengendara motor, namun yang di-vonis adalah pemilik mobil. Bahkan ada kasus bis yang sampai dibakar di daerah tersebut.
Malam semakin larut… dan nyamuk pun semakin banyak… tapi aku masih tetap ingin bersyukur atas penjagaan Tuhan hingga saat ini. Masih begitu banyak kesulitan yang akan kuhadapi di depan mata, namun aku percaya dan mencoba untuk selalu berserah pada Tuhan. Aku juga mencoba untuk selalu mengambil hikmah dalam setiap peristiwa hidupku. Aku tahu bahwa masih banyak ketidakpuasanku saat ini, namun aku mencoba untuk mengolahnya dan menjadikannya sebagai suatu berkat. Aku percaya bahwa dalam setiap kesulitanku, Tuhan selalu menjagaku… terutama kedua santo pelindungku yang senantiasa menjagai aku. Dalam setiap doaku pula, aku selalu berdoa pada Santo Ignatius dari Loyola, sosok manusia yang penuh perjuangan dan tak kenal menyerah yang akhirnya mampu menyerahkan dirinya secara utuh pada penyelenggaraan Tuhan. Aku sungguh ingin belajar dari kegigihan Ignatio di kota ini… dan aku percaya bahwa di dalam kemarahanku sekalipun, di sana pun selalu ada berkat yang melimpah…
Selamat malam Indonesia!
JN. Rony
20041016
dari yang terbuang…