Sedih tapi bahagia… mungkin itulah yang sedikit banyak bisa menggambarkan perasaan kami sepeninggal Meiliawati atau yang lebih akrab kami panggil Meme. Sedih karena kami harus kehilangan seorang teman sekaligus sahabat… Bahagia karena kami percaya bahwa Meme telah mendapatkan tempat istimewa di sisi Bapa di Surga. Tak terasa sudah hampir 1 bulan Meme meninggalkan dunia ini dan tulisan ini adalah sedikit kilas balik jalan salib Meme selama 2 tahun terakhir ini.
Meiliawati atau akrab dipanggil Meme, dilahirkan pada 1 Mei 1979 di Surabaya. Perkenalan kami dengan Meme adalah karena kami satu sekolah di SMAK Frateran Surabaya, selain itu juga beberapa dari kami sama-sama pernah aktif di kegiatan Pramuka dan PMR. Pembawaan Meme adalah seorang yang lincah dan energik ditambah lagi cukup cerewet. Selepas kuliah, Meme bekerja seperti layaknya orang-orang pada umumnya. Dia bekerja di sebuah perusahaan Ekspor Impor dan diselingi dengan memberikan les privat bagi anak SMP/SMU. Sekitar akhir tahun 2001, salah seorang dari kami yang bekerja di Australia mudik ke kampung halaman dan sejak itulah kami mulai aktif berkumpul lagi serta jalan-jalan bersama.
Sekitar pertengahan tahun 2002, pada bulan Juni akhir, Meme mulai mengeluh sakit pada lehernya (tengeng). Saat itu kami sedang berlibur ke villa di Tretes. Mengingat sakit si Meme tidak kunjung sembuh, walau sudah dibawakan ke sin she untuk dipijat, maka kami menyarankan Meme untuk memeriksakan dirinya ke dokter serta melakukan x-ray. Singkat cerita, sakit Meme ini bertambah parah, yang membuat Meme tidak bisa menggerakan lehernya sama sekali. Mulailah Meme menjalani serangkaian pemeriksaan di beberapa rumah sakit serta dokter spesialis. Namun, hasilnya sungguh mengecewakan, penyakit Meme tidak dapat dijelaskan secara pasti oleh para medis. Waktu itu biaya yang keluar sudah tidak sedikit… mulai x-ray, CT-Scan, MRI, fisioterapi, dll… semuanya tidak bisa menjelaskan perihal sakitnya Meme ini. Para dokter yang dipakai pun mulai dari dokter umum sampai dokter spesialis yang beberapa di antaranya adalah profesor terbaik yang ada di Surabaya.
Berhubung rumah sakit di Surabaya bisa dibilang tidak bisa menyembuhkan (bahkan mendeteksi) penyakit Meme yang sesungguhnya, maka pada pertengahan Agustus 2002 Meme diboyong ke Singapura untuk menjalani operasi di sana. Selama beberapa minggu Meme dirawat di sana, namun Meme kembali ke Indonesia dengan hasil yang kurang memuaskan. Saat itulah Meme sempat mengalami stress berkepanjangan dan menyembunyikan dirinya dari publik termasuk kami teman-temannya. Hanya beberapa orang saja yang tahu keberadaan Meme di Surabaya saat itu dan hal itu berlangsung cukup lama, sampai akhirnya rahasia itupun terbongkar karena Meme beberapa kali mengalami koma dan bahkan saat itu sudah beberapa kali mendapatkan sakramen pengurapan. Dari sana, akhirnya kami berusaha untuk mensupport Meme agar mau berinteraksi lagi dengan orang lain.
Masuk bulan November, Meme praktis benar-benar lumpuh total, diawali dari tidak bisa menggerakkan lehernya, sampai akhirnya benar-benar seluruh badan tidak bisa dia gerakkan, namun indera perasa masih berfungsi dengan normal. Saat itu Meme memang mengalami krisis iman yang sangat hebat. Pengobatan secara medik yang tidak kunjung membawa hasil, sempat membawa keluarga Meme mencoba berbagai alternatif pengobatan dan segala cara, dengan harapan Meme dapat segera sembuh. Namun semuanya itu tidak membuahkan hasil… dan entah apa rencana Tuhan, yang jelas lewat semua peristiwa itu, Meme lambat laun mulai bisa menerima keadaan dirinya dan semakin mendekatkan dirinya pada Tuhan, tak ketinggalan keluarganya mulai mengenal Tuhan secara lebih dalam.
Saat sekitar genap setahun Meme terbaring di ranjang, kondisinya mulai menunjukkan gejala yang menggembirakan, yaitu mulai bisa menggerakkan beberapa anggota tubuhnya, seperti kaki dan tangan. Namun, saat itu kondisi tubuhnya sudah “habis” oleh berbagai macam peralatan medis. Entah alat apa saja yang sudah pernah atau sedang terpasang di tubuhnya. Sekitar awal bulan Oktober, Meme memberikan kabar yang sangat menggembirakan, yaitu dia sudah mencoba duduk di kursi roda! Bahkan pada hari itu, Meme langsung memberikan kesaksian di sebuah gereja. Selain itu, Meme untuk kali pertama dalam 1,5 tahun masa tidurnya melihat beberapa wajah kota Surabaya yang lama tak dilihatnya. Well… saat itu yang kami lihat adalah wajah yang teramat gembira di wajah Meme saat dia menceritakan pengalaman barunya itu.
Dalam buku hariannya, Meme banyak sekali menuliskan refleksi dirinya. Dalam refleksi-refleksinya, Meme senantiasa berusaha untuk bersyukur atas berkat yang dia terima dan menyerahkan seluruh keadaannya kepada Tuhan. Dalam refleksi tersebut, tercermin bahwa inilah jeritan hati seorang manusia yang sudah tak berdaya secara fisik, namun masih kuat bertahan dalam imannya. Seperti dalam tulisannya pada pembukaan tahun 2004 kemarin: “Aku bersyukur Allah tetap peliharaku sampai hari ini memasuki tahun baru. Tahun lalu aku melewati tahun baru di RS. Sungguh menyedihkan. Tapi tahun ini aku sangat sehat, nonton TV dan makan-makan dengan keluarga. Terima kasih Tuhan Yesus. Tuhan, buatlah tahun 2004 ini sebagai tahun pemulihan bagiku dan keluargaku. Amin.” Yah, itulah gambaran rasa syukurnya pada pembukaan tahun baru 2004 kemarin, karena pada tahun baru 2003 Meme harus mengalami koma dan terbaring di rumah sakit.
Masih banyak refleksi lain yang ditulis oleh Meme, selain untuk merenungkan bacaan kitab suci yang telah dia baca, juga untuk melatih otot-otot tangannya. Lewat segala penderitaan yang sudah dia jalani, Meme banyak sekali menuliskan tentang kegelisahannya, ketakutannya, syukurnya, imannya, dan pengharapannya. Seperti dalam salah satu tulisan lainnya, “Menggunakan waktu dengan bijaksana memang sulit. Aku bersyukur di tahun 2003, aku lebih banyak berkomunikasi dengan Tuhan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, terlebih lagi tahun 2002 kuhabiskan waktuku untuk bersungut-sungut dan menghujat Allah. Baru di tahun 2003 aku banyak belajar untuk memuji, menyembah dan berdoa kepada Tuhan. Semoga di tahun 2004 ini aku semakin dekat dengan Tuhan Yesus ditambah lagi aku diberi kemampuan untuk melayani pekerjaan Tuhan di gereja, rumah sakit dan rumah-rumah saudara yang sakit. Amin.” Itulah sedikit janji Meme pada Tuhan yang sudah sedikit dia lakukan dengan memberikan kesaksian hidup di beberapa kebaktian gereja. Bahkan semangat untuk sembuh dan melayani tersebut sangat memacu keinginan untuk sembuh dan pada bulan Januari 2004, Meme mencatatkan rekor barunya… yaitu berdiri!
Pada akhir bulan April 2004, tulisan Meme terhenti karena Meme mulai kambuh lagi sakitnya. Sekitar akhir Mei, Meme kembali menghuni kamar ICU yang begitu ditakutinya. Kali ini lebih serius, karena dari beberapa kunjungan, tingkat kesadaran Meme sangat lemah. Namun, keluarga Meme tetap berjuang mempertahankan Meme agar bisa sembuh. Kami pribadi sudah tidak bisa membayangkan berapa dana yang sudah dikeluarkan untuk seorang Meme. Inilah yang kami lihat sebagai cinta dari keluarga dan di sinilah kami juga melihat berkat Tuhan bekerja. Walaupun uang yang harus dikeluarkan bagaikan air mengalir, namun usaha yang dijalankan oleh keluarga Meme tidak pernah sepi bahkan cenderung bertambah ramai.
Hampir genap 2 bulan Meme menghuni ruang ICU dan inilah saat terakhir Meme hidup di dunia ini. Tepat 2 Juli 2004 pukul 11.45 WIB di ICU RS Adi Husada Surabaya, Meme menghadap ke hadirat Tuhan pada usinya yang ke-25. Perjuangannya telah tuntas di dunia. Tak terasa sudah 2 tahun pula Meme telah sakit tanpa ada penjelasan yang pasti. Kami tak tahu apa sebenarnya rencana Tuhan atas Meme hingga saat ini. Kami semua sangat sedih harus kehilangan seorang Meme. Namun, kami percaya bahwa ini adalah yang terbaik untuk Meme. Kami percaya bahwa semua dosa Meme selama di dunia telah terbayar oleh penderitaannya, sehingga Meme bisa langsung mendapatkan tempat istimewa di Surga. Pada 6 Juli 2004, jenasah Meme pun disemayamkan di dekat lokasi kuburan ayahnya di Gunung Gangsir, Pasuruan.
Inilah akhir dari tulisan yang kami awali pada 2 tahun yang lalu, lewat sebuah permohonan doa untuk Meme di sebuah milis rohani. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua rekan yang pernah mendoakan Meme, baik melalui milis, doa pribadi, doa kelompok, maupun lewat kunjungan. Kami juga mengucapkan terima kasih atas doa-doa tak henti dari para romo, khususnya Rm. Hudiono, Pr. yang sejak dari awal mendoakan Meme, para romo dari Propinsialat CM di Surabaya, Bapa Uskup dan para romo dari Keuskupan Purwokerto, para romo di milis Diskusi Katolik, para suster di Pertapaan Karmel Malang, serta semua rohaniwan/wati yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Selain itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua kelompok doa yang aktif mengunjungi Meme, tanpa memandang dari gereja mana ataupun agama apa.
Inilah sedikit persembahan kami tentang perjuangan hidup seorang manusia yang pantang menyerah. Meme telah memanggul salibnya dengan pasrah dan menjalani jalan salibnya setapak demi setapak. Kami percaya bahwa apa yang Meme telah alami ini dapat menguatkan kita agar semakin berserah pada Tuhan dan agar kita percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah di dunia ini. Bersama dengan kopian buku harian Meme yang kami terima, terlampir pula sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Benny untuk adiknya, Meiliawati, pada dini hari di hari meninggalnya Meme, sebelum Meme memasuki kondisi koma:
Tetap Setia
Selagi aku, lihat hatiku. Apakah sungguh mengasihiMu Yesus
Kau yang Maha Tahu dan menilai hidupku. Tiada yang tersembunyi bagiMu.
Tlah kulihat kebaikanMu, yang tak pernah habis di hidupku.
Ku berjuang sampai akhirnya Kau dapati aku tetap setia.
Selamat jalan Me… Requiescas in Pace!
dari kami semua yang menyayangimu…
20040725
“Aku menggantungkan pengharapan di dalam Yesus Kristus karena aku yakin dan percaya bahwa pengharapan di dalam Dia tidaklah pernah sia-sia — Meiliawati (1 Mei 1979 – 2 Juli 2004)
Aku terbangun dari tidurku yang kurang enak. Memang, sudah hampir 2 minggu terakhir ini aku tidur kurang nyaman, karena hampir setiap malam aku naik ke ranjang dengan posisi terlalu lelah. Belum lagi, aku baru seminggu menempati kamar kost baruku di kota baru ini, praktis tubuhku masih berusaha untuk menyesuaikan dengan berbagai kondisi di sini.
Kepindahanku ke Denpasar memang cukup banyak mengagetkan banyak pihak, termasuk keluargaku. Pro dan kontra timbul atas keputusanku tersebut, ada yang mendukung ada pula yang pesimis aku bisa bertahan di kota ini. Kuakui waktu itu aku agak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan menerima tawaran pindah dari perusahaan. Memang aku telah menimbang untung dan ruginya, namun aku belum membawanya secara penuh ke dalam keheningan doa, untuk tahu apakah ini rencana Tuhan untukku atau bukan.
Kini, aku sudah memasuki hari ke-13 di kota yang penuh dengan keunikan dan sarat dengan nuansa adat budaya. Entah kenapa berbagai hal menimpaku semenjak aku akan berangkat dari Surabaya menuju ke Denpasar. Sehari sebelum aku berangkat, tiba-tiba aku ditelpon seorang teman yang mengabarkan bahwa seorang mantan pembina Pramuka kami saat di SMA meninggal. Lalu kami berangkat ke Denpasar dalam kondisi letih, padahal kami berangkat dengan membawa mobil. Praktis kami mengendarai mobil dengan kecepatan yang sangat lambat dan beberapa kali berhenti untuk menyegarkan diri ataupun tidur. Perjalanan kami tempuh dalam waktu 10 jam sampai ke Denpasar. Tepat pada hari kedua, pada pagi harinya aku menerima SMS dari seorang teman yang mengabarkan perihal Meme (seorang teman yang sedang sakit, yang beberapa kisahnya pernah kutulis) yang masih tak sadarkan diri di ICU, padahal sudah sebulan. Pagi itu, aku merasa ada yang tidak enak setelah membaca SMS tersebut. Memang, menjelang aku berangkat ke Bali, aku sempat berkunjung ke ICU, di sana Meme tergeletak lemah dan matanya menyorotkan tanda-tanda keletihan setelah hampir 2 tahun dia berjuang melawan sakitnya. Siangnya, aku kembali menerima berita buruk, seakan petir yang menyambar di siang bolong… Meme dipanggil menghadap Tuhan. Aku langsung menelepon temanku di Surabaya dan saat itu aku kembali teringat tatapan Meme saat terakhir kujenguk. Yah, Meme sudah menyerah, tapi mungkin ini yang terbaik yang Tuhan rencanakan untuk Meme dan keluarganya. Praktis hari itu, moodku langsung drop… ditambah lagi aku tidak bisa hadir saat pemakaman, karena semua flight penuh; begitu juga seorang teman yang ada di Jakarta, tak bisa mudik pula.
Setelah itu berlalu, masalah kembali menaungiku… yaitu kost. Dimanakah aku harus kost? Pertanyaan ini sungguh mengganggu aku, mengingat aku membawa cukup banyak peralatan yang tidak murah dari Surabaya. Banyak yang mengatakan bahwa kondisi di Bali ini berbeda dengan di kota-kota lain, relatif lebih aman. Namun, tetap saja aku tidak bisa tenang bila belum mendapatkan kost yang aman dan nyaman. Masalah bertambah karena budget untuk kost terbatas, sehingga mau tak mau aku harus mencari kost yang berada di pinggir kota bila mau dapat kamar kost yang lebih luas. Dari beberapa kost yang aku datangi, akhirnya kuputuskan untuk mengambil kost yang sekarang ini aku tempati. Lokasinya memang dekat dengan kantor, hanya kurang dari 10 menit berkendara, namun tempatnya memang relatif gelap sekali kalau malam hari, karena di sini memang sepi sekali. Kamar yang kudapat luas, namun entah mengapa semenjak tidur di sini, badanku semakin sakit saja. Kesehatanku memburuk, mungkin karena masuk angin. Di sini memang banyak angin, terutama pada pagi hari, begitu dingin.
Akhirnya, hari demi hari kupergunakan untuk mulai mengisi kamar kost yang betul-betul kosong. Mulai dari membeli ember, sikat, sabun, kursi, sampai mengganti lampu yang remang-remang. Selain itu, aku juga harus membenahi kantor baru yang baru tersedia meja di sana. Berbagai masalah tak lupa ikut melewatiku saat mempersiapkan kantor baru ini, mulai sikap menyebalkan dari beberapa orang yang jadi tetanggaku di sini, sampai tertabraknya mobil. Maklum, kondisi badanku memang sedang tidak fit, tapi aku harus tetap mempersiapkan segala sesuatunya di sini.
Dari berbagai kesulitan, aku beruntung punya seorang teman yang bisa sinting selama di sini. Saat malam, kami mencoba mencari makanan-makanan enak dan murah, lalu merasakan macetnya Legian di kala malam, sampai berputar-putar menghapalkan jalanan Denpasar yang lumayan ruwet dan bikin pusing. Kali pertama aku merasakan misa di sini, aku sampai menangis begitu mendengar beberapa lagu karismatik klasik dinyanyikan oleh koor. Aku merasakan bahwa seberat apapun beban yang kutanggung, Tuhan tak pernah sedetikpun meninggalkan aku. Di lagu itu dikatakan: “Tak usah ku takut, Allah menjagaku. Tak usah ku bimbang, Yesus pliharaku. Tak usah ku susah, Roh Kudus hiburku. Tak usah ku cemas, Dia memberkatiku.” Sungguh, lagu ini sudah lama sekali tidak pernah kudengar, semenjak aku mengundurkan diri dari dunia karismatik 2 tahun yang lalu. Namun, sungguh tak kusangka bahwa lagu ini bisa kudengar di kota ini, jauh dari kampung halaman, di kala aku membutuhkan banyak sekali penghiburan. Saat itu aku benar-benar terharu akan penguatan yang diberikan oleh Tuhan.
Malam tadi, aku kembali tertidur karena kelelahan seharian mengurus ini dan itu. Tengah malam, ku terbangun dan mendapati MP3-ku masih berputar dengan volume yang lumayan keras. Sejenak aku membaca email yang belum terbaca dan kembali aku mendapatkan penguatan dari renungan seorang romo kenalanku. Romo ini pun sedang merefleksikan dirinya dengan tulisan-tulisan. Disinggungnya tentang berserah pada kehendak Tuhan. Bahwa Tuhan selalu punya rencana dalam setiap peristiwa, baik yang terlihat positif atau negatif di mata manusia. Sejenak aku merenung dalam keheningan malam kota Denpasar. Aku menyadari bahwa aku harus mencari kehendak Allah atas diriku. Entah apa rencana Tuhan kali ini, namun aku harus mencoba untuk berpasrah dalam menerima setiap peristiwa. Dalam kepasrahan itulah kita bisa menguak misteri keagungan rencana Tuhan atas kita. Aku percaya bahwa rencana Tuhan selalu indah atas kita. Namun, seringkali aku kurang bisa berserah pada kehendakNya. Aku sering memaksakan rencanaku di atas rencana Tuhan. Malam ini sungguh jadi malam yang panjang bagiku… aku percaya bahwa aku bisa bertahan di kota ini. Dukungan dan doa dari beberapa sahabatku, ceceku, romo, suster dan frater yang kukenal memberikan aku kekuatan untuk terus mencoba dan mencoba. Aku percaya bahwa akhir dari cerita perjalananku di sini masihlah panjang. Akankah ini jadi cerita sedih ataukah gembira, buatku tidak jadi masalah… yang terpenting saat ini adalah mencari kehendak Allah dalam alur cerita tersebut.
Seakan lagu yang kudengar 2 minggu lalu kembali terdengar…
Banyak perkara yang tak dapat kumengerti.
Mengapakah harus terjadi di dalam kehidupan ini.
Satu perkara yang kusimpan di dalam hati.
Tiada sesuatu kan terjadi tanpa Allah peduli
Allah mengerti, Allah peduli.
Segala persoalan yang kita hadapi.
Tak akan pernah dibiarkanNya.
Kubergumul sendiri sebab Allah mengerti.
AMDG,
JN. Rony
20040713
Akankah esok kau senyum jua, memberi hangatnya sejuta rasa — Chrisye
Sekitar 4 tahun yang lalu, aku pernah menulis tentang betapa “beratnya” perjuanganku menjadi seorang Katolik. Kali ini aku mau meralatnya menjadi betapa ringannya menjadi seorang Katolik… namun SANGAT BERAT mempertahankan ke-Katolik-an kita.
Sekian tahun aku seringkali “mengeluh” bila melihat ke masa lalu… betapa susahnya mau menjadi seorang Katolik. Belum lagi bila membaca atau mendengar cerita-cerita tentang orang-orang yang merasa “dipersulit” saat mengajukan dirinya untuk dibaptis. Benar atau tidaknya semua cerita tersebut… setidaknya aku pribadi pernah merasakan “birokrasi” saat ingin dibaptis. Di beberapa milis rohani yang aku ikuti sempat terjadi beberapa diskusi seru (lebih tepat disebut perdebatan) tentang Katolik, misalnya beredarnya VCD kesaksian mantan suster yang menjadi Islam, kawin campur antara Katolik dengan non Katolik, persamaan Yesus dengan Muhammad, sampai adanya teman yang pindah agama hanya karena pekerjaan atau ikut pasangan.
Dalam beberapa bulan terakhir pula… seolah aku disadarkan oleh Tuhan akan kenyataan yang memberikan terang bagi pikiranku yang sempit itu lewat peristiwa-peristwa yang aku alami… 3 bulan terakhir, kantorku berurusan dengan salah seorang karyawan cabang yang “nakal”. Karyawan satu ini suka sekali omong besar, melebih-lebihkan sebuah fakta yang bahkan mungkin tidak pernah ada. Awal mula kami tidak terlalu memusingkan hal tersebut karena memang tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan… biarlah itu menjadi urusan pribadinya… selama dia bisa menunjukkan performa kerja, kenapa kita harus mempermasalahkan… begitu pikir kami. Namun, seiring dengan waktu… keadaan bertambah parah… karena orang ini sudah berani berbohong dan menipu uang perusahaan, walaupun secara jumlah tidaklah sebanding dengan nama baiknya bila ketahuan. Sampai akhirnya kesabaran pun habis, dan kami mengeksekusi si karyawan ini… itupun masih dengan cara yang sangat halus. Untuk jaga-jaga saja… aku sempat meminta data diri orang ini, siapa tahu suatu hari dia membuat masalah lagi. Nah, saat kupandangi fotokopi KTP yang diberikan padaku… aku sempat kaget melihat bahwa karyawan ini beragama Katolik. Aku sempat malu… kenapa kok Katolik seperti itu?
Akhir minggu kemarin aku berkunjung ke mantan romo parokiku yang sudah pindah ke luar kota. Saat berbincang aku sempat utarakan niat untuk meminta bantuan pada romo ini, apakah punya kenalan/umat yang bisa butuh kerja? Kebetulan memang kantorku butuh beberapa orang untuk ditempatkan di beberapa kota. Nah, si romo mengiyakan tapi dengan catatan bahwa tidak bisa cepat. Dia bilang, “Kalau saya tidak merekomendasikan, saya tidak berani nawari.” Yah, memang kami pribadi prefer yang melamar kerja itu Kristen/Katolik, dengan pertimbangan agar punya sedikti kesamaan persepsi, walaupun tidak menutup kemungkinan bila ada yang non Katolik tapi punya kerja yang bagus. Namun, romo itu langsung bilang, “Katolik bukan jaminan lho! Banyak orang Katolik juga gak bener.”
Mungkin lewat peristiwa demi peristiwa itulah Tuhan mau membuka mataku bahwa sesulit apapun orang meraih sebuah tujuan… lebih sulit lagi mempertahankan tujuan kita tersebut. Aku jadi teringat seorang kawan frater yang sejak awal kami jagokan bisa menjadi romo yang “gaul” dan “funky”, karena secara pribadi orangnya baik dan dekat dengan kaum muda, belum lagi dia termasuk pintar di seminari, bahkan sampai tugas pastoral pun dia sudah dijagokan bisa segera ditahbiskan tanpa halangan. Tapi apa mau dikata… kami sangat kaget ketika si frater memutuskan untuk keluar dari seminari dan memutuskan untuk menikah. Namun, kami sangat menghargai perjuangan si frater tersebut dan itu adalah pilihannya yang harus dihargai sepenuhnya. Aku juga teringat akan seorang cicikku yang memutuskan untuk pindah “mutasi” ke gereja calon suaminya, padahal sebelumnya dia adalah aktivis di gereja.
Memang, mempertahankan ke-Katolik-an kita jauh lebih sulit dibandingkan saat kita menyatakan diri untuk dibaptis secara Katolik. Untuk menjadi seorang Katolik, paling kita hanya membutuhkan waktu 1-2 tahun (bila lancar dan niat) atau misalnya parah (seperti aku) butuh waktu 5-6 tahun agar bisa dibaptis. Tapi setelah itu? Apakah kita bisa terus mempertahankan “identitas seumur hidup” kita itu? Cukupkah dengan rutin ke gereja setiap minggu? Ataukah cukup dengan mengikuti persekutuan, acara lingkungan, dsb.? Jawabannya adalah TIDAK. Aku pribadi pernah mengalami timbul-tenggelamnya saat aktif dalam berbagai kegiatan gereja. Banyak pula aku melihat orang-orang yang sangat aktif di berbagai komunitas. Namun, semuanya itu tidak menjamin diri kita adalah seorang Katolik sejati. Contoh paling simple adalah saat kita mengikuti misa dalam gereja… berapa persen yang benar-benar merasakan misa sebagai persekutuan dengan Yesus yang benar-benar hadir saat itu? Aku yakin banyak dari kita yang merasakan misa sebagai sebuah rutinitas yang harus dijalani agar tetap dianggap sebagai orang Katolik. Bahkan ada yang lebih parah, aktif di berbagai komunitas, namun sama sekali tidak pernah terdengar atau terlihat di gereja atau paroki.
Pelayanan bukanlah jaminan bahwa kita orang Katolik yang sejati… namun setidaknya diharapkan mampu mengingatkan diri kita bahwa kita punya “cap” yang harus dijaga. Begitu pula dengan sudah menjadi Katolik bukanlah berarti kita mendapatkan “free-pass” menuju ke Surga. Menjadi Katolik berarti kita harus bisa meniru teladan kita, Yesus, dalam hidup sehari-hari. Menjadi Katolik berarti kita harus berani menerima resiko “diserang” oleh “dunia” akibat ke-Katolik-an kita. Seringkali orang berpikir sempit menjadi seorang Katolik hanya agar bisa memperoleh kemudahan bila berurusan dengan gereja, misalnya mendaftar ke sekolah Katolik, menikah, dsb.
Yang dibutuhkan di sini adalah kesadaran dan tekat serta niat untuk mengikuti Yesus saat menjadi seorang Katolik. Bila itu bisa dilakukan maka tentunya kita tidak perlu takut bila iman kita diserang, dsb. Kita tidak perlu pula takut akan berita atau tontonan yang meresahkan iman kita beredar di masyarakat. Yang terpenting adalah kita bisa menunjukkan kepribadian Katolik kita dalam hidup sehari-hari. Dalam dialog di sebuah koran tentang peranan Gereja dengan Pemilu, romo nara sumber mengatakan bahwa tidak perlu memusingkan bahwa pelayanan gereja dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai isu kristenisasi. Dikatakan bahwa belajarlah dari proyek Rm. Mangun yang awal mulanya juga dianggap sebagai proyek kristenisasi, toh akhirnya juga dianggap sebagai sebuah karya besar bagi bangsa. Sesuatu yang dilandasi dengan niat tulus tentunya akan menjadi besar.
Beberapa waktu lalu aku berkunjung ke seorang teman frater di Malang setelah sekian lama tidak bertemu. Saat itu kami begitu lama berbincang dan dalam salah satu perbincangan tercetus pertanyaan si frater bagaimana aku menyikapi perkembangan saat ini agar aku tidak sampai pindah agama. Aku pun menjawab dengan peganganku sampai detik ini, yaitu aku menganggap bahwa aku baptis itu seolah aku berinvestasi. Aku sudah menghabiskan sekian tahun hanya untuk menerima beberapa tetes air disiramkan ke dahiku… itu sebuah perngorbanan yang besar… lalu apakah hanya karena “angin kecil” yang lewat dalam hidupku lalu aku menutuskan begitu saja pindah? Bagi aku yang memang punya aliran darah pedagang, hal itu sama sekali tidak menguntungkan aku. Hmmm… sebuah alasan yang konyol memang… bahkan mungkin ada yang akan mencela alasanku tersebut.
Menjadi Katolik bagiku adalah investasi jangka panjang, sehingga apa yang aku keluarkan saat aku memutuskan untuk jadi Katolik tentulah tidak sebanding dengan kerugian jangka pendek yang aku terima saat investasi tersebut telah berjalan. Mungkin ada orang-orang yang memutuskan untuk memindahkan investasi ke tempat lain, itu sah-sah saja… asalkan di tempat yang baru, dia bisa membuat investasinya tersebut menjadi lebih menguntungkan dan berbuah banyak. Itu kenapa aku juga tak mau menghakimi mereka yang pindah agama, bila memang di tempat yang baru mereka bisa lebih berkembang. Aku juga tidak mau pusing dengan keyakinan agama lain, karena memang tidak ada agama yang paling bagus di dunia, selain agama yang kita yakini.
Yang terpenting adalah bagaimana kita menjalani hidup kita saat ini dan di tempat ini, sekarang. Ada sebuah “spirit word” yang sangat indah, “Dreams as you will live forever. Live as you will die today.” Menjadi manusia memang harus bermimpi dan mengejar cita-citanya setinggi langit, seolah kita adalah seorang Highlander, manusia abadi… namun bila kita bisa hidup seolah hari ini adalah hari terakhir kita di dunia… tentunya kita akan melakukan kebajikan setiap hari, dimana pun kita berdiri. Aku ingin jadi Katolik seperti itu!
JN. Rony
20040608
yang lagi belajar investasi di dunia & akhirat