Dalam keseharian, seringkali tanpa disadari kita menghakimi orang lain. Bisa jadi orang tersebut memang bersalah seperti yang kita tuduhkan. Namun yang seringkali adalah kita menuduh seolah kita adalah orang yang benar. Yang membuat hati semakin miris adalah, seringkali hukuman yang diperoleh orang-orang yang “bersalah” itu tidak sebanding dengan kesalahannya. Kita seringkali mendengar bandar ekstasi dihukum 3 tahun penjara… namun bagi pencuri ayam malah dapat hukuman mati akibat dipukuli massa. Sebuah potret keadilan yang masih buta terjadi di sekitar kita.
Dalam keseharian pula, kita juga seringkali menghakimi orang menurut “ukuran” dan “kacamata” kita. Apa yang kita anggap benar seolah dijadikan sebagai hukum yang berlaku, tanpa peduli apakah orang tersebut memang bersalah atau tidak. Yang penting, menurutku dia salah! Lewat pola pikir yang absolut seperti itu, kita tidak mau tahu mengapa orang tersebut berbuat demikian… kita tidak mau tahu kenapa orang tersebut berkata demikian, dsb. Penghakiman seperti ini kerap kali kita temui dalam lingkungan kita… seorang pimpinan langsung memarahi pegawainya tanpa mau tahu alasan lain, seorang ayah menghukum anaknya tanpa peduli kenapa anaknya berbuat begitu, atau bahkan seperti yang ada di iklan deterjen, seorang istri langsung marah begitu melihat nomer telepon yang ditulis dengan lisptik di baju suaminya tanpa mau tahu alasan suaminya, dan masih banyak contoh lainnya.
Ada pernyataan demikian yang pernah kudengar, dunia ini bukanlah hitam dan putih… melainkan abu-abu. Yeap, memang demikian adanya… antara benar dan salah, antara baik dan jahat… perbedaannya sangat tipis sehingga kadang perbedaannya pun tidak terlihat. Sesuatu yang baik belum tentu baik, demikian pula sesuatu yang kelihatannya tidak baik belumlah tentu demikian. Di sini aku banyak belajar bahwa sesuatu itu baik atau buruk haruslah dilihat dari banyak sisi dan dari buah-buah yang dihasilkan. Sebelum kita menilai seseorang bersalah, haruslah kita melihat juga dari sisi pandang orang tersebut. Sebelum kita menilai sesuatu itu baik, haruslah kita lihat dari buah-buah yang dihasilkan. Bahkan, sesuatu yang berbau rohani belumlah tentu baik. Ingat… setan pun bisa menyamar menjadi malaikat.
Nah, untuk itulah diperlukan sebuah refleksi dan instropeksi diri secara periodik. Dengan senantiasa ber-refleksi maka kita akan lebih arif dalam melihat 1 permasalahan, lebih adil dalam memutuskan sesuatu. Memang, hal ini tidaklah bisa terjadi begitu saja, melainkan melewati 1 proses yang sangat panjang dalam hidup. Banyak orang berkata, pengalaman adalah guru yang paling baik. Semakin banyak orang makan asam garam dunia, haruslah dapat menjadi semakin arif dan bijak, bukannya semakin meninggikan diri agar dapat menghakimi orang lain. Itulah gambaran para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang diminta Yesus untuk melemparkan batu pada wanita yang dituduh berzinah bila mereka tidak mempunyai dosa. Mereka yang seharusnya mempunyai kebijaksanaan yang lebih justru lebih senang menghakimi secara sepihak, namun saat dihadapkan pada cermin dirinya, mereka menjadi malu dimulai dari yang tertua.
Baik atau buruk, benar atau salah… bukanlah hak kita untuk menilai… itu adalah urusan vertikal kita dengan Tuhan. Yang bisa kita perbuat adalah bagaimana bertindak seadil-adilnya (menurut ukuran manusia!) tanpa mengesampingkan unsur pengampunan dan memberi kesempatan yang kedua. Bila kita hanya mau menggunakan ukuran manusia… maka ukuran itu pulalah yang akan dipakaikan pada kita kelak. Bila Tuhan saja mau memaafkan dosa kita padaNya, mengapa kita tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain yang mungkin hanya sepersekian kesalahan kita pada Tuhan? Memang manusia itu lemah dan sering kali khilaf… namun dengan penyadaran diri secara berkala, tentunya diri kita senantiasa dipacu untuk menjadi yang lebih baik, lebih bijaksana.
Paskah sudah dekat… Tuhan sudah berkorban banyak bagi pengampunan dosa-dosa kita. Potret penyiksaan dalam film Passion Of The Christ yang saat ini banyak beredar bajakannya masih bukanlah apa-apa dibandingkan dengan penyiksaan sepihak oleh manusia waktu itu. Eksploitasi darah yang ditampilkan masih tidak sebanding dengan kekejaman pikiran yang absolut dalam menuduh seseorang bersalah. Tidaklah berlebihan jika Yesus bertanya, “Hai umatKu apa salahku hingga kau menyalibkan Aku?”
Sayang… saat itu tidak ada yang berani berkata, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama menyalibkan Orang itu.”
Reflection from John 8:1-11
JN. Rony
20040328
“Manusia pada dasarnya baik, tapi manusia bisa khilaf bukan?” — JN. Rony
Pernahkah membayangkan punya keluarga dengan 12 anak? Mungkin di masa lalu hal ini bukanlah hal yang aneh… tapi bagaimana bila itu terjadi di jaman modern seperti sekarang ini? Bayangkan betapa repot dan ramainya suasana dalam rumah! Inilah yang digambarkan dalam film yang baru beredar di bioskop, Cheaper By The Dozen. Dalam film ini digambarkan seorang pelatih football di kota kecil, Midland, melewati hari-harinya dengan 12 orang anak. Sang istri adalah ibu rumah tangga yang berusaha menerbitkan buku yang ditulisnya. Mereka melewati hari-harinya dengan kehidupan yang berkecukupan, tapi dengan berhemat. Hingga suatu hari mereka mendapatkan yang bisa disebut keberuntungan, sang ayah mendapatkan tawaran melatih di sebuah klub ternama di Chicago.
Awal mulanya mereka memutuskan untuk pindah ke Chicago, walaupun ditentang oleh sebagian besar anak-anak mereka, dengan alasan dengan pekerjaan baru ini, keluarga bisa mendapatkan kebutuhan mereka lebih cukup. Pada saat mereka baru pindah… tahu-tahu sang ibu mendapatkan panggilan dari agency bahwa buku yang ditulisnya mendapatkan kesempatan untuk diterbitkan dengan catatan sang ibu harus melakukan tur keliling. Maka timbullah polemik karena sang ayah harus menangani semua urusan rumah tangga dan melatih. Usaha untuk memanggil pengasuh pun tidak berhasil, karena tidak seorangpun yang bersedia mengasuh 12 orang dalam 1 rumah. Sampai akhirnya masalah keluarga ini tidak tertolong lagi, keluarga yang awalnya sangat rukun berubah menjadi keluarga yang penuh konflik. Sang ayah harus memilih antara mengurus keluarga atau berkonsentrasi penuh melatih timnya (dimana melatih tim ini merupakan impiannya sejak dulu), sang ibu harus memilih antara keluarga ataukah mementingkan penerbitan buku (dimana ini merupakan buku pertamanya), anak-anak harus memutuskan apakah mereka akan tetap saling tidak peduli dan saling menyalahkan ataukah mulai belajar untuk mengurus diri mereka sendiri. Tapi lewat peristiwa ini, akhirnya mereka mendapatkan satu pelajaran bahwa dalam 1 keluarga mereka harus saling mendukung satu sama lain dan saling mempercayai di antara mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari (selain dalam keluarga, misalnya dalam komunitas tempat kita berkarya sampai perusahaan tempat kita bekerja), kita seringkali dihadapkan pada persoalan yang kurang lebih sama dengan keluarga besar itu. Entah itu problem yang dihadapi sang orang tua (egois dan memaksakan keinginannya) atau problem yang dihadapi anak-anak (tidak peduli dengan saudaranya, tidak berusaha mandiri). Dalam komunitas dan pekerjaan, seringkali terjadi pergesekan, entah karena ambisi pribadi, rasa iri hati, persaingan tidak sehat, anti-kritik, dan sebagainya. Padahal, komunitas atau perusahaan bagaikan satu keluarga dengan banyak anak… yang tentunya bisa berkembang bila “keluarga besar” ini saling bahu-membahu, saling mendukung, saling peduli, saling menyayangi. Bila anggota keluarga saja sudah saling menjatuhkan, bagaimana keluarga itu bisa bertahan? Bagaikan rumah yang pondasi kurang kokoh atau ada yang sudah patah/keropos; maka begitu ada badai atau hujan lebat, rumah itu langsung kebanjiran atau bahkan lebih parah lagi sampai roboh. Dalam sebuah keluarga tentunya tidak akan lepas dari perselisihan atau konflik, tapi dengan adanya rasa saling memiliki, saling menyayangi, saling peduli, dan yang terutama saling memaafkan; semua itu bisa dilalui dengan kepala dingin… kritik bisa disampaikan dengan tujuan positif dan diterima dengan keinginan untuk menjadi lebih baik; persaingan bisa dilakukan dengan tujuan untuk membesarkan komunitas atau perusahaan, bukan untuk ketenaran pribadi semata.
Minggu depan, gereja memasuki masa pra-paskah, masa dimana kita diajak untuk berpantang dan berpuasa, mengikuti teladan Yesus, menahan hawa nafsu dan kelemahan daging. Tujuannya tak lain agar kita bisa semakin rendah hati dalam hidup dan semakin bijaksana dalam bertindak. Itulah makna pantang dan puasa yang diinginkan Yesus… bukan agar kita terlihat suci di mata dunia, melainkan agar kita satu sama lain bisa saling memahami, saling membangun dunia kita menjadi dunia yang lebih baik, saling memperkokoh “keluarga” kita menjadi keluarga yang harmonis dan saling mendukung dan kokoh. Sulit memang… teori memang lebih mudah daripada praktek. Tapi dengan keyakinan dan kerendahan hati, tentunya semua itu bisa terjadi. Bila itu semua bisa kita lalui, pada akhirnya kita bisa menjadi sebuah “keluarga besar” yang bahagia dan kokoh seperti yang diceritakan pada film “Cheaper By The Dozen” tersebut.
“Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” — Lukas 14:11
Selamat memasuki masa Pra Paskah!
JN. Rony
Jakarta, 20040223
untuk seseorang…
Hari Jumat lalu seorang teman kembali meninggalkan bumi merah putih ini menuju ke negara tempat pembuatan Lord of The Ring, dengan tujuan adalah sekolah. Semuanya terjadi dengan begitu singkat, mulai dari berita penerimaan dari pihak sekolah sampai pengurusan visa selesai hanya memakan waktu sekitar 2 mingguan dan Senin dia sudah mulai pelajarannya di sana. Praktis kami tidak sempat berlama-lama mengadakan farewell party seperti yang kami lakukan beberapa kali untuk teman-teman yang akan meninggalkan kota tercinta ini untuk hidup di kota atau negara lain.
Ada satu peristiwa yang sangat menarik dari teman ini… Sebelum memutuskan menuju ke New Zealand, dia sebenarnya ingin mengambil sekolah di negaranya Paman Sam. Namun, keinginan itu kelihatannya harus dikubur dalam-dalam karena secara teknis dia sudah ditolak 2 kali oleh pihak kedutaan Amerika saat mengajukan visa. Dari cerita yang dipaparkan, penolakannya pun terjadi karena sebuah hal yang sepele yang semestinya tak perlu terjadi. Padahal, dia pernah bekerja (secara ilegal tentunya 🙂 di Amerika selama kurang lebih 2 tahun dengan menggunakan nama lain. Saat itu, semua proses keberangkatannya boleh dibilang sangat lancar. Tujuannya saat itu adalah mengumpulkan modal untuk bersekolah lagi. Nah, saat dia ingin kembali ke sana dengan nama asli, ternyata tidak seperti yang diduga… visanya malah ditolak! Itupun dengan alasan yang sangat sepele. Di sini kami menangkap yang dinamakan kehendak Tuhan. Selama mengusahakan perolehan visa, teman ini tak kurang mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Berdoapun tak lupa. Namun, itulah terjadi… manusia boleh berusaha sekeras apapun, tapi bila memang Tuhan tidak mengijinkan, maka apa yang diusahakan manusia pun tidak akan terjadi; demikian teman ini mengungkapkan kepasrahannya.
Dalam keseharian kita, seringkali kita mengalami kegagalan walaupun kita merasa sudah melakukan yang terbaik. Saat itu, sangat bisa dimengerti bila kita kecewa. Tapi apakah kekecewaan itu harus sampai membelenggu kita dalam bayang-bayang kegagalan masa lalu itu? Lalu seringkali pula kita dalam keseharian mendapatkan sesuatu/hasil yang tidak kita harapkan, dan tentunya hal itu bisa membebani kita atau membuat kita terganggu. Sah-sah saja… tapi apakah hal itu juga harus menjadi fokus utama kita? Dalam pergaulan, pekerjaan, komunitas, keluarga, masyarakat, dan dimana saja… kita akan senantiasa mengalami kekecewaan akibat hal yang terjadi di luar kehendak atau kontrol kita. Kita maunya dapat nilai A, malah dapatnya B. Kita maunya ke kanan, malah diharuskan ke kiri. Kita maunya berlibur, malah diwajibkan masuk kantor. Dan masih banyak kemauan kita yang berlawanan dengan kenyataan yang kita dapat.
Beberapa tahun yang lalu, aku pribadi pernah mengalami 2 hal yang sempat membuatku terpukul. Yang pertama adalah aku kehilangan motor akibat kelalaianku mengunci pengaman ekstra saat aku berada di wartel dan yang kedua aku kehilangan seluruh data di komputerku akibat kesalahanku menservis harddisk orang, yang kuservis malah harddisku sendiri. Akibat dari 2 peristiwa itu sempat menguncang jiwaku. Saat itu aku sampai mogok makan, mandi, bicara, dan lain-lain. Yang kulakukan hanyalah menyendiri di kamar selama berhari-hari dan setiap bangun pagi, aku selalu berlagak seolah-olah semua yang terjadi adalah mimpi buruk tadi malam. Tapi yang terjadi adalah benar-benar nyata dan aku dipaksa untuk menerima hal itu. Seluruh hidupku berubah total! Saat itu keceriaanku sempat hilang cukup lama… akibatnya aku harus pulang pergi kampus naik angkutan umum, sampai pernah aku kemalaman di kampus dan harus menunggu sampai berjam-jam sampai ada 1 angkutan umum terakhir yang lewat. Saat aku kehilangan data, aku seakan jadi kalut dan mencoba berbagai cara tanpa memikirkan biaya yang kukeluarkan untuk mendapatkan kembali data yang hilang, dan semuanya sia-sia. Lambut laun aku pun sadar bahwa aku harus bangun dari kekecewaanku itu dan ternyata kuncinya satu, pasrah!
Kepasrahan memang terkesan mudah bila dibicarakan, namun susah untuk dipraktekkan. Kepasrahan tidak berarti kita harus menyerah total pada keadaan dan menerima apapun yang kita dapat. Tidak! Kepasrahan haruslah tetap diimbangi dengan sebuah usaha. Kepasrahan haruslah menjadi akhir dari setiap usaha terbaik yang sudah kita lakukan. Seperti petuah orang bijak, Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan; sepertinya cocok untuk teori kepasrahan ini. Manusia yang gagal adalah manusia yang tidak mau berpasrah pada hasil akhirnya. Tanpa sebuah kepasrahan, manusia akan diliputi oleh banyak kekecewaan, sakit hati, dendam, iri hati, dan sebagainya. Memang, kepasrahan diperlukan agar kita tetap sadar, bahwa kita adalah manusia yang serba terbatas; kepasrahan dapat pula menjadi guru bagi kita bahwa jangan pernah sombong akan hasil yang kita dapatkan. Berpasrah dapat mengingatkan kita bahwa kita manusia tidaklah sempurna, dan Tuhan sebagai Sang Maha yang paling sempurna. Seperti halnya Yesus yang berpasrah di puncak perjuangannya di kayu salib, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku”; marilah kita juga mau berpasrah pada perjuangan kita, kerja kita, usaha kita, perjalanan hidup kita…
“Mornië utúlië… Believe and you will find your way” — Enya
“That there’s some good in this world, and it’s worth fighting for.” — Samwise Gamgee
“If it’s over, let it go and come tomorrow it will seem so yesterday” — Hilary Duff
“Hasil akhir tidaklah penting, yang terpenting adalah bagaimana kita mengusahakannya” — JN. Rony (20040215)