06 Jul 2003 @ 5:32 PM 

Beberapa hari yang lalu seorang teman sekolah mudik setelah sekian tahun mengadu otak (kuliah) di negara Asia paling maju, yaitu Jepang. Kepulangan ini disertai dengan banyak keperluan selain untuk liburan tentunya. Ia mudik beserta “calon” istri yang asli orang Jepang. Nah, sesuai dengan obrolan sebelum kepulangannya, teman ini menyatakan ingin ikut jalan sehat lintas alam yang lebih dikenal dengan Hash House Harries (HHH), maklum… dulunya kami adalah sekolompok “pecandu” kemping dan hiking yang membawa bendera Pramuka πŸ™‚

Hari ini sesuai dengan kesepakatan kami berkumpul dan berangkat dari Surabaya menuju Puncak Prigen, lokasi hash minggu ini. Sekitar 1,5 jam menyetir, akhirnya kami tiba di tempat tujuan dan mulai mendaftar, dsb. Saat inilah terjadi sebuah pemandangan yang bagiku menarik dan cukup mempermalukan aku. Saat itu, si gadis Jepang merasa kepanasan… maklum… hawa di Indonesia beda sekali dengan hawa di Jepang πŸ™‚ So, waktu itu dia minum dari sebuah botol air mineral baru yang masih bersegel. Habis dirobek segelnya… saat inilah yang menakjubkan aku πŸ™‚ dia tolah-toleh seperti orang kebingungan… ternyata dia cari tempat sampah! Berhubung tidak menemukan, maka dia kemudian membuka tasnya dan memasukkan “sampah” segel plastik ini ke dalam sebuah bungkus bekas tissue dan kemudian ditutupnya kembali tasnya tersebut. Aku yang berdiri di dekatnya dan mengamati sungguh takjub! Begitu pula saat dia habis menggunakan tissue untuk membersihkan keringat yang bercucuran. Semua sampah-sampah tersebut dimasukkan ke dalam bungkus bekas tissue yang tadi. Hmmm… padahal kalau mau lihat lokasi dimana kami berdiri saat itu… banyak sekali sampah berserakan, seperti gelas air mineral, bungkus permen, kertas bekas, dll… dan semua itu tidak membuat dia ingin berpartisipasi menambah koleksi sampah di sana. Begitu pula saat di perjalanan hash… saat itu dia membuka permen dan bungkusnya pun “dikoleksi” kembali dalam tasnya itu. Padahal jujur saja… di sepanjang perjalanan (hutan, ladang, dsb.) banyak sekali sampah bekas buangan para hasher, mulai dari bungkus permen yang kecil sampai botol atau kaleng minuman.

Well… jujur saja, aku sangat malu bo! Sebagai salah satu pemegang saham dari alam Indonesia ini, aku pribadi mengakui seringkali tidak merasa bersalah membuang sampah sembarang, dengan dalih itu hanya sampah kecil, tidak terlalu menganggu… Kini aku dihadapkan pada situasi dimana aku diajari tata krama kehidupan yang cinta lingkungan oleh orang asing… seorang yang tidak turut hidup atau memiliki alam Indonesia ini tapi bisa ikut merasa bertanggung jawab atas kebersihan dan kelestarian lingkungan. Bayangkan! Kalau di negeranya mereka melakukan itu bisa jadi karena ada ancaman hukuman dari pemerintah mereka, tapi di sini, di Indonesia… dimana mereka tidak lagi diancam oleh hukuman akibat membuang sampah sembarangan… namun mereka tetap melakukannya (tidak membuang sampah sembarangan) juga. Sebuah contoh yang patut untuk kita renungkan.

Kalau dipikir-pikir, alangkah indahnya juga ya kalau kita bisa seperti mereka, sadar untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat. Alangkah indahnya kota dan hutan kita!

JN. Rony
20030706
Presented to Lui & Yoko. Thx!

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Personal

 01 May 2003 @ 5:28 PM 

(inspirated by Catch Me If You Can)

Dua ekor tikus jatuh ke dalam seember krim. Yang seekor menyerah dan lantas mati. Seekor yang lain, berjuang keras mengaduk krim itu menjadi mentega dan keluar dengan selamat. Kisah ini sangat menempel di otakku, sangat indah menggambarkan perjuangan seekor tikus yang tidak ingin mati begitu saja.

Seringkali kita menghadapi masalah pelik dalam hidup. Saat itulah kita menghadapi cobaan-cobaan iman, kita dituntut untuk memilih atau membuat keputusan. Entah itu persoalan keluarga, pekerjaan, pasangan, dan lain sebagainya. Aku teringat pada beberapa peristiwa di masa laluku, di mana aku sering dihadapkan pada pilihan yang sulit. Aku juga teringat pada beberapa kisah dari teman-teman perihal pilihan dalam hidup mereka.

Hari ini aku melihat “seekor tikus yang berjuang” pada diri seorang teman. Kalau tidak salah hitung, hampir sekitar 10 bulan dia tergeletak sakit tak berdaya. Awalnya hanya sakit kecil, namun kian hari bertambah parah. Sepanjang perjalanan waktu, dirinya mengalami berbagai cobaan, mulai dari rasa minder sampai ketidakpercayaannya pada kehadiran Tuhan di sisinya. Memang, sakit itu tidaklah menyenangkan… bayangkan, sariawan saja sudah mengganggu aktivitas kerja kita, apalagi harus sampai tergeletak tanpa bisa menggerakkan anggota tubuh sama sekali selama berbulan-bulan. Aku pribadi memang percaya bahwa hanya lewat berkat dari Tuhanlah, dia bisa survive sampai sekarang. Tapi aku juga percaya, kalau seandainya dia tidak punya tekat untuk berjuang melawan penyakitnya, tentu ceritanya akan lain.

Kisah 2 ekor tikus mengajarkan pada kita agar tidak mudah menyerah dalam hal apapun juga. Sebab bila kita menyerah, maka apa yang kita perjuangkan selama ini akan sia-sia. Memang, suatu saat kita pasti ada di ambang pilihan yang sulit, istilahnya seperti telur di ujung tanduk. Semua posisi menyulitkan kita untuk menentukan pilihan/sikap. Namun, itu tidak berarti kita harus pasrah terhadap keadaan. Kita harus tetap berjuang dan tentunya juga berharap pada Tuhan. Bila kita hanya berharap pada Tuhan tanpa mau berjuang, saya rasa pertolongan pun tidak akan datang dengan sendirinya. Tuhan tidak akan membuat keajaiban seketika (kecuali untuk kasus tertentu yang sangat jarang), namun Tuhan lebih sering membuat keajaiban melalui bantuan di sekitar kita. Kita juga tidak bisa hanya berjuang tanpa berharap pada Tuhan. Ora et Labora, kerja dan doa… itu sebuah kombinasi yang paling manjur. Maka dari itu, dalam menentukan pilihan kita pun harus bertanggung jawab atas pilihan kita itu. Apapun yang telah kita pilih, harus kita jalani tanpa sesal di kemudian hari. Seberapapun ruwet jalan yang kita pilih, kita harus mempercayai itu sebagai yang terbaik yang bisa kita lakukan.

Jadi bila suatu ketika kita dihadapkan pada kisah ini: Dua ekor tikus jatuh ke dalam seember krim. Yang seekor menyerah dan lantas mati. Seekor yang lain, berjuang keras mengaduk krim itu menjadi mentega dan keluar dengan selamat. “Tikus” yang manakah diri kita?

Akulah tikus yang kedua!

JN. Rony
20030501

untuk Meme yang sedang sakit dan berulang tahun.

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan

 21 Apr 2003 @ 5:26 PM 

Menjadi seorang Katolik tidaklah mudah. Yang jelas, tugas kita setelah dibaptis bukanlah wajib pergi ke gereja tiap hari Minggu saja. Begitu banyak tugas yang menanti di depan mata kita. Ada (bahkan banyak! πŸ™‚ yang bilang kalau ikut katolik itu membosankan dan monoton. Bagaimana kita sebagai seorang katolik menjawab tantangan itu? Tentunya dimulai bagaimana diri kita menyikapi dan bertindak sebagai seorang katolik. Dulu, yang namanya misa itu ya begitu-begitu saja. Kini dengan segala kreativitas, misa mampu dihidupkan dengan cara-cara yang unik. Kalau dulu retret itu dianggap “liburan” yang membosankan, sekarang justru orang berbondong-bondong untuk mengikuti retret, bahkan ada yang tak peduli berapa jauh lokasi retretnya. Selama semua itu dijalankan dengan benar dan tidak menyimpang dari ajaran-ajaran katolik, hal itu tidaklah perlu untuk dipermasalahkan. Apalagi bila hal baru itu mampu membuat orang menjadi lebih baik, jadi… mengapa tidak?

Ada kalanya dalam perjalanan waktu, kita mengalami cobaan-cobaan yang sering membuat kita jadi stress, down, frustrasi, bahkan bila kita tidak kuat, bisa-bisa ngambek jadi katolik. Bagaimana pula kita mengatasinya? Tak jarang kita merasa kecewa saat iman yang kita miliki tidak sanggup untuk menyelamatkan dari masalah-masalah yang menghimpit kita. Kita sering protes pada Tuhan, “kenapa harus aku? Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa Tuhan tidak mau mengabulkan doaku? dst.” Ada hal yang sering kali kita lupakan, yaitu “rencana kita bukanlah rencana Tuhan” (bdk. Yes 55:8). Lalu, apakah ini berarti iman tidak lagi bisa menyelamatkan kita? Tentu saja YA! Namun untuk menuju keselamatan itu sendiri, tidaklah cukup hanya dengan iman saja. Bahkan bisa dibilang iman tidak lagi berperan utama dalam “jalan menuju keselamatan” tersebut. Kok bisa? Tentu saja! Sebab ada hal yang lebih mendasar lagi, yaitu Pengharapan!

Suatu waktu, ada seorang teman yang tiba-tiba jatuh sakit. Setelah melewati sekian waktu untuk pengobatan, ternyata tak kunjung sembuh. Dalam kesakitannya yang berlarut-larut itu, dia terus berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa imannya akan menyembuhkan dia. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa Tuhan akan menyembuhkannya secara ajaib karena dirinya adalah seorang katolik. Namun, sayangnya iman yang ingin diyakininya itu tidak disertai dengan sebuah pengharapan. Dalam dirinya begitu pesimis bisa sembuh, mengingat vonis dokter yang sudah angkat tangan, yang membuatnya seolah tiada harapan sembuh lagi. Hari demi hari berlalu dan fisiknya semakin lemah, hingga pada suatu saat lewat sebuah peristiwa dia mendapatkan keyakinan untuk berharap pada Tuhan. Dengan menumbuhkan pengharapan itu, semakin hari dirinya pun berubah. Kesedihan pun berubah menjadi sebuah kecerian penuh harapan. Lewat pengharapan inilah, iman yang sudah diyakininya itu semakin kuat. Keinginan untuk sembuh pun tumbuh dalam dirinya. Banyak sekali kesaksian yang kita dengar tentang kesembuhan yang ajaib, dimana saat para dokter ahli sudah menyerah, saat itulah kuasa Tuhan bekerja. Bila kita mau meneliti satu per satu kasus kesembuhan itu, kita bisa melihat bahwa adanya pengharapan yang besar dari si sakit akan jamahan Tuhan. Kasus lainnya, rumah tangga yang terancam buyar, karena salah satu pihak (suami/istri) berselingkuh. Bagaimana rumah tangga ini bisa diselamatkan? Ya dengan pengharapan pula. Selama suami/istri yang dikhianati mau berharap pada Tuhan agar pasangannya mau kembali kepadanya, maka tidaklah hal itu mustahil. Masih banyak kisah-kisah indah tentang pengharapan manusia pada Tuhannya.

Di sini kita bisa melihat bahwa sesungguhnya hal yang terpenting dalam kehidupan sebagai seorang katolik, bukanlah iman atau cinta kasih saja, melainkan juga pengharapan kita pada Tuhan. Dengan senantiasa berharap pada Tuhan, maka secara otomatis iman akan tumbuh dalam diri, dan dengan iman itulah kita bisa memberikan cinta kasih pada sesama kita. Agaknya percuma bila kita mengaku telah beriman dan menerapkan cinta kasih pada sesama apabila kita tidak mau/pernah berharap pada Tuhan. Bukankah semua yang kita peroleh ini adalah anugerah, sehingga sudah sewajarnya kita membagikannya pada sesama? Apalagi iman sendiri adalah suatu yang tidak kelihatan, jadi bila berharap saja kita tidak pernah/mau, bagaimana kita bisa beriman? “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya?” (Rom 8:24).

Marilah lewat Paskah ini kita mau semakin berharap pada Tuhan dalam hidup kita!

Terinsipasi oleh kotbah Minggu Paskah,

JN. Rony
20030421

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan





 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.