Memaafkan, kata ini tergolong kata yang mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan. Seorang anak kecil yang mendapat perlakuan kejam semasa kecil dan tidak mendapat tempat dalam keluarganya, mempunyai kecenderungan untuk berbuat hal yang sama saat ia besar nanti. Keinginan untuk membalas dendam dan memperlakukan orang lain sama seperti yang ia rasakan (bahkan lebih kejam) akan tertanam dalam dirinya. Namun ada hal yang bisa mengubah semua itu, yaitu keinginan untuk memaafkan. Memaafkan dalam hal ini bukan hanya memaafkan orang lain yang telah berbuat kejam pada dirinya, melainkan juga pada dirinya sendiri.
“A Man Named Dave”, sebuah buku yang merupakan kelanjutan dari 2 buku terlaris tulisan dari Dave Pelzer, yaitu “A Child Call It” dan “The Lost Boy”. Dalam buku ini, digambarkan bagaimana perjuangan Dave Pelzer dalam hidupnya agar tidak terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya. Bagaimana ia mewujudkan cita-citanya sebagai seorang aircrew, padahal saat itu tidak berpendidikan. Bagaimana ia berusaha menghadapi kembali sosok ibunya setelah sekian lama terbebas dari kekejaman sang ibu. Dan bagaimana ia berusaha untuk mengenal kembali ayahnya di saat ajal akan menjemput ayahnya. Dan yang terpenting adalah bagaimana ia memberikan cinta pada anaknya. Dave Pelzer, sebuah sosok yang mengalami penyiksaan semasa kecil membuktikan dirinya mampu mengalahkan semuanya dengan cara tidak menyerah pada keadaan, selalu berusaha membuat yang terbaik, dan yang terpenting adalah memaafkan diri sendiri dan orang lain.
Dalam diri kita ada sosok-sosok kecil yang tersiksa seperti Dave Pelzer. Kejadian-kejadian di masa lalu yang membuat kita menjadi takut, malu, minder, emosional, atau apapun yang berusaha merusak diri kita atau orang di sekitar kita. Dibutuhkan kebohongan lain yang lebih besar untuk menutupi kebohongan saat ini, begitu yang ditulis oleh Dave. Untuk itulah kita perlu belajar untuk mengampuni, dan memang itu tidak mudah. Luka batin memang tidak mudah, apalagi jika orang-orang yang menyakiti kita sudah tidak ada (entah meninggal atau di lain kota/negara). Namun, hal itu pun masih mungkin dihapuskan dari dalam diri kita, HANYA bila kita mau mengampuni secara tulus. Setelah kita bisa mengampuni (dan memahami) orang tersebut, maka tinggal kita mengampuni diri sendiri. Dave sendiri pun bergulat dengan dirinya. Walaupun dia memaafkan ibunya, namun dia tetap merasa dialah penyebab semuanya. Dan setelah dia mau memaafkan dirinya, dia pun terbebas dari bayang-bayang masa lalunya.
Bila seorang Dave Pelzer bisa mengampuni (walau perlu perjuangan bertahun-tahun), bagaimana dengan diri kita? Apakah kita mau mengampuni orang lain, terlebih lagi diri kita sendiri? Masih banyak contoh orang-orang seperti Dave Pelzer ini… seperti teladan para martir, Santo Stefanus, dan terlebih lagi dari Tuhan kita, Yesus Kristus. Di atas kayu salib pun Ia masih sempat mengampuni, “Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”. Kembali pada diri kita, apakah kita ingin tetap berada dalam kerangkeng masa lalu dan melampiaskan dalam bentuk yang destruktif? Ataukah kita mau terbebas dari masa lalu dan berjalan dalam terang? Bila kita memilih untuk mengampuni, maka dalam segala hal, kita bisa menunjukkan bahwa kita ini anak Allah!
A Man Named Rony
20021222
Mungkin cita-citaku ini termasuk cita-cita dari seorang anak cina SMA yang sudah kurang waras. Bagaimana tidak, saat akan lulus SMA, masa-masa dimana segala kesenangan akan datang menghampiriku, yang terpikir malah apakah bisa aku jadi seorang pastor? Apalagi saat itu aku masih belum dibaptis! Nah lho! Bahkan seorang guruku sampai tertawa mendengar penuturanku yang super duper lugu itu.
Tentunya semua itu bukannya tanpa alasan. Aku mengenal Katolik semenjak aku duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Ya, karena semenjak TK sampai lulus SMA, aku bersekolah di lingkungan sekolah Katolik yang bergengsi di kotaku ini. Apalagi saudara sepupuku mayoritas Katolik, kecuali keluargaku. Aku mulai “di-injil-i” tentang Kitab Suci dan segala isinya semenjak kelas 4 SD oleh seorang sebayaku (dan kabarnya kini ia telah menjadi seorang penginjil yang cukup sukses di Amerika). Cukup lama aku bergelut dengan hatiku sendiri sampai aku memutuskan untuk ikut pelajaran agama (katekumen) pada kelas 2 SMP. Bukannya tanpa halangan dan rintangan dalam pelajaran agama ini, ternyata baru 6 tahun kemudian, saat aku telah kuliah, baru aku berhasil dibaptis, sekaligus menerima sakramen krisma. Semuanya berawal dari sebuah retret yang cukup digandrungi anak muda saat itu, yaitu camping rohani di Pertapaan Karmel. Atas bujuk rayu seorang teman, aku memutuskan untuk memangkas liburan sekolahku demi ikut retret selama seminggu tersebut. Ternyata suasana camping begitu memukauku sehingga di tahun-tahun mendatang aku masih menyempatkan diri untuk ikut selama 6 kali berturut-turut.
Sebagai seorang anak muda yang begitu menggebu-gebu, istilah kerennya telah menerima curahan roh kudus, aku begitu semangat untuk ikut katekumen dan mulai gemar membeli dan membaca buku rohani. Saat itu buku rohani kegemaranku adalah katekismus singkat dan buku karangan Romo Pidyarto (Mempertanggungjawabkan Iman Katolik). Hampir-hampir aku menghapalkan isinya π Ditambah lagi, saat itu aku begitu terobsesi oleh 2 orang pastor, sebut saja pastor Y dan pastor E. Pastor Y begitu memukau melalui kharismanya dan pastor E adalah pastor yang saat itu cukup digandrungi di paroki karena lucu. Lewat kedua orang ini aku melihat betapa indahnya dan enaknya jadi seorang pastor. Gila khan?
Seiring dengan waktu, keinginan untuk jadi pastor tak kesampaian itu sempat memudar, terutama di masa-masa kuliah, masa yang penuh dengan tantangan dan kesibukan. Namun, lewat sebuah komunitas yang aku ikuti, aku teringat kembali pada “panggilanku” (kalau bisa disebut demikian) untuk jadi pastor. Tak terhitung berapa orang kuajak berbicara tentang ini dan tetap saja membuatku bimbang, sampai aku berkenalan dengan beberapa orang pastor yang menjadi motivatorku, salah satunya adalah pastor H. Lewat beliau, aku disarankan untuk mengadakan retret pribadi di sebuah biara, dan meminta pada seorang pater disana untuk membimbingku. Setelah berusaha meluangkan waktuku, aku nekat ke biara tersebut dan mengadakan retret pribadi untuk waktu yang belum ditentukan. Oleh pater tersebut (sebut saja pater V), aku tidak diijinkan menginap di biara dengan alasan terlalu ramai. Edan kupikir… biara aja masih dianggap terlalu ramai buatku… lalu aku menginap di rumah retret yang berada persis di belakang biara tersebut. Oleh pater V, ditunjuk frater A untuk mendampingi aku. Frater A ini kukenal saat camping di Tumpang, dan dia adalah seorang dokter gigi yang merelakan pekerjaannya untuk menjadi seorang biarawan. Retret pun dimulai dengan pekerjaan-pekerjaan sederhana, yaitu membaca 1 pasal buku “Mengikuti Jejak Kristus” (MJK) dan bermeditasi. Phew, 1 hari kulalui dengan 2 pekerjaan yang kelihatannya sederhana namun membuatku stress berat! Bagaimana tidak, dari suasana hingar-bingar kota, aku harus seorang diri berada dalam sebuah rumah retret yang mampu menampung 200 orang!
Pergulatan pun timbul, apalagi saat frater A mengajakku bersharing tentang niat panggilan tersebut… bagaimana dengan keluarga? Ya! Jujur saja aku punya masalah dengan keluarga (siapa sich yang tidak? π namun saat itu tiba-tiba timbul sebuah ketakutan untuk kehilangan… Lalu, muncul sebuah pertanyaan baru… apakah karena gagal dalam cinta? Wow! Sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak terlintas dalam benakku… Bagaimana pula dengan pekerjaan? Study? Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan dari frater A yang memojokkanku, sampai akhirnya sampai pada pertanyaan akhir, apakah ini sebuah pelarian? Diam. Hanya itu yang bisa kulakukan. Frater A bercerita, bahwa pertanyaan-pertanyaan itulah yang dulu juga dikemukakan padanya saat ia memutuskan untuk masuk ke dalam biara tersebut. Siang itu kulalui dengan kepala hampir meledak penuh dengan pertanyaan dan ketakutan.
2 hari sudah, beban di benakku semakin besar dan aku semakin bimbang akan panggilanku ini. Apakah benar? Ataukah aku hanya melihat “kenikmatan maya” dalam sosok seorang pastor? Bukankah melayani sesama itu tidak harus menjadi pastor? Bukankah untuk hidup suci juga tidak harus menjadi pastor? Pater V adalah pater yang arif dan pintar (mungkin karena sering bertapa :), sehingga ia tidak memberiku banyak tugas. Cukup dengan membaca berulang-ulang 1 pasal dalam MJK, sanggup membuatku menjadi lebih bodoh dari seekor keledai yang lupa arah. Saat kudatang ke biara, aku penuh dengan kemantapan. Tapi pada hari ketiga, saat aku memutuskan untuk mengakhiri retret, aku pulang bagaikan prajurit yang kalah perang.
Sampai kini pun, “panggilanku” tersebut masih tetap menjadi misteri. Tidak ada yang bisa menjawabnya kecuali aku sendiri. Namun, lewat beberapa pengalaman semenjak pulang dari retret pribadi tersebut, aku hanya berusaha untuk menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya. Jadi pastor atau tidak, bukanlah masalah. Masalah sesungguhnya adalah apakah kita siap menerima “panggilan” tersebut. Aku kemudian bercermin pada beberapa pastor yang kukenal, baik secara pribadi atau hanya sekedar tahu saja. Banyak pastor di kota ini yang terkesan hidup mewah. Maklum, kota besar… mau bagaimana lagi? Contoh singkat saja, ada pastor yang mau tak mau harus berkenalan dengan barang mewah dan canggih seperti handphone sampai pda, hanya karena diberi oleh umat. Apakah pemberian itu harus ditolak? Ataukah harus dibuang? Ada pula pastor makan enak setiap hari, namun semuanya itu berasal dari umat. Salah siapa? Tapi ada pula pastor yang “no reken” (tidak menganggap) walaupun kita bersikap sangat hormat untuk menyapanya. Sampai pernah kudengar ada pastor yang marah hanya karena keliru nulis nama dan gelarnya. Namun, bagiku semua itu adalah dunia nyata seorang pastor. Bukankah pastor juga seorang manusia seperti aku? Lalu mengapa aku harus menyalahkannya? Kenapa pula aku hanya melihat kejelekannya tanpa berusaha melihat kebaikan dalam dirinya? Pergulatanku dalam panggilan membuka mataku. Aktivitasku di komunitas menambah wawasanku. Aku jadi semakin mengerti seorang pastor walau tidak memahaminya. Pastor kadang hanya sebagai korban, korban dari segolongan umat yang ingin memanjakannya, serta korban dari segolongan umat yang hanya bisa menyalahkan tanpa mau tahu yang lain.
Banyak kali aku membaca pastor dikritik kanan-kiri. Borju dan mata duitan, sampai homo dan pemerkosa anak kecil. Entah benar, entah tidak, aku tidak berani untuk menghakimi. Kenapa? Karena tidak mudah menjadi seorang pastor! Dan aku mengalaminya! Begitu banyak tantangan yang harus dihadapi dan itu berasal dari diri sendiri. Bila seorang memutuskan untuk jadi pastor itu hanya karena haus harta dan kekuasaan, sungguh gila ia rela tidak kawin dan menjalani hidup di biara selama lebih dari 8 tahun! Aku tidak ingin membela para pastor, walaupun terkesan demikian. Aku hanya ingin memahami bahwa mereka seperti filmnya Wakop DKI yang terkenal, Maju Kena, Mundur Kena. Tidak semua kesalahan yang (mungkin) kita lihat adalah murni kesalahan dari pastor tersebut. Sebagai anak muda yang pernah bekerja selama setahun lebih di kamar seorang pastor, aku melihat banyak sekali peran dari umat yang menjengkelkan dan membuat pastor serba salah. Begitu banyak orangtua yang terlibat aktif di gereja, seakan-akan mendukung minggu panggilan… begitu banyak orangtua yang seakan-akan mendukung kehidupan membiara para pastor dan suster. Tapi aku tidak yakin bahwa 99% dari mereka akan RELA melepas anaknya untuk jadi pastor/suster.
Kini bisa kulihat, betapa susahnya menjadi seorang pastor. Pertama harus ada inisiatif dari diri sendiri, lalu harus menghadapi orangtua kita, sudah begitu belum tentu diterima oleh biara/seminari, kalaupun diterima masih harus hidup dalam biara/seminari selama bertahun-tahun yang artinya melepaskan semua kesenangan hidup dan segala macam harta benda, setelah itu masih harus menjalani praktek di pedalaman selama beberapa tahun. Setelah berhasil jadi pastor, masih harus “mbabu” di pedalaman lagi, syukur-syukur kalau malah dikirim study di luar negeri. Eeehhh, pas udah jadi pastor senior… masih harus tahan digodain ama umatnya. Kalau tahan, kadang malah dapat julukan mata duitan, kejam, dll… tapi kalau sampai “keplas” (keluar)… malah dicaci-maki dan dihina. Belum lagi ntar kalo udah tua bangka plus pensiun… phew… syukur-syukur kalau masih dibesuk ama umatnya. Yang terjadi malah, umat rame-rame membesuk hanya pas pengakuan dosa menjelang Natal dan Paskah, sampai-sampai pastor lain yang lebih muda, bisa menikmati ranjang pastoran lebih awal beberapa jam ketimbang pastor tua yang jalan saja harus dituntun ama suster. Hmmmm…. susah banget ya jadi pastor? Kadang aku aku bernostalgia, aku jadi ngeri… kenapa kok bisa-bisanya aku ingin jadi pastor? Mungkin aku lagi goblok-gobloknya…. khan mendingan jadi umat yang kerjaannya ngeritik para pastor? Bukankah itu lebih mudah?
Pastor memang bukan malaikat, namun bukan berarti pastor itu bertanduk dan berekor sambil bawa trisula… ada pastor yang baik dan ada pula pastor yang ndak baik. Namun dari yang ndak baik itu pun tidak semuanya karena kesalahan pribadi sang pastor. Aku jadi teringat beberapa minggu lalu saat aku akan bertugas dan koster menyerahkan secarik kertas berisi intensi misa pada pastor. Intensi itu tidak seperti biasanya berupa amplop, namun hanya secarik kertas alias gak ada duitnya! Dan tahu apa yang terjadi, malah seorang ibu yang juga bertugas nyeletuk, “Wes gitu thok? Gak onok duit’e?” (Udah, gitu aja? Tidak ada uangnya?) Nah!
NB: Aku pernah penasaran apakah Yudas Iskariot itu benar-benar bersalah telah mengkhianati Yesus? Dan aku telah menemukan jawabannya!
Dipersembahkan untuk keteguhan panggilan seorang pastor,
JN. Rony
20021010
yang gagal jadi pastor
Belakangan ini begitu banyak protezzz masuk ke sekolah ber-“label” Katolik. Entah itu TK sampai Perguruan Tinggi. Dari berbagai diskusi yang kubaca, banyak sekali yang terkesan “menyerang” kredibilitas sekolah katolik, namun tak sedikit pula yang berusaha “membela” sekolah katolik. Alasannya macam-macam, mulai dari mutu yang kurang bagus, minimnya jumlah murid sehingga mau ditutup, kekurangan dana, sampai terlalu “wah”-nya “setoran” yang harus diberikan orang tua wali murid pada saat mendaftarkan anaknya di sekolah tersebut. Nah, aku mau mencoba memberikan sedikit “oret-oret” (coretan) soal sekolah katolik, namun kubatasi sebatas tingkat sekolah, bukan Perguruan Tinggi, sebab kondisinya udah berbeda hampir 180 derajat π
Belajar dari pengalamanku yang masih sepet-sepet ini (karena masih kurang garam, baru asam π aku mencoba untuk bersikap netral. Aku pribadi mulai TK sampai lulus SMA belajar di lingkungan sekolah katolik. Saat aku mulai dibaptis (awal-awal kuliah), aku sempat dan hingga saat ini masih bergaul dengan beberapa orang yang bertindak sebagai “motor” sekolah katolik. Memang, aku pun melihat bahwa sekolah katolik ada yang baik dan ada yang buruk. Namun bukankah itu wajar? Hal yang sama terjadi pula pada sekolah yang lain bukan? Seperti Negeri, Kristen, Muhammadiyah, dsb., semuanya pasti punya sekolah dengan 2 mutu tersebut.
Kenapa itu bisa terjadi? Entah, aku sendiri juga kurang tahu… kenapa ada sekolah yang begitu “dikejar” oleh para murid, sehingga walaupun jauh tetap dibela-belain untuk pergi ke sekolah sana dan kebalikannya, ada sekolah yang dijadikan alternatif terakhir kalau si murid sudah benar-benar tidak diterima di sekolah pilihannya, bahkan mungkin ironisnya si murid lebih memilih tidak sekolah tahun ini ketimbang sekolah di sana. Sekedar contoh: aku pun mengalami demikian, aku sejak kelas 3 SD pindah ke kawasan timur kota Surabaya, namun aku masih ke sekolah di kawasan utara Surabaya dan itu harus kutempuh dengan naik bemo (angkot) setiap hari yang menghabiskan waktu kurang lebih 45 menit. Padahal waktu itu di sekitar rumahku, ada sekolah kristen yang mutunya bagus dan juga sekolah katolik baru. Jadi bila bicara soal mutu, sebenarnya “agak ” kurang jelas juga. Apa standar dari mutu sebuah sekolah? Karena terkenal? Karena banyak piala? Atau karena banyak yang mendaftar ke sana? Saya rasa banyak alasan yang dipakai oleh para murid saat mendaftar ke sebuah sekolah, di antaranya (mungkin) karena merupakan satu-satunya sekolah katolik di sana, atau mutunya yang memang benar-benar bagus, atau itu merupakan sekolah dari generasi ke generasi (orang tuanya), atau kenal dengan salah satu atau beberapa guru di sana, atau bahkan alasan yang pernah kupakai ini: banyak teman-temanku yang masuk ke sana! Masih banyak alasan-alasan yang lain yang tak tertuliskan, namun semuanya itu menunjukkan bahwa setiap orang punya alasan tersendiri dalam memilih sekolah tempat mereka akan masuk. Jadi bukan hanya sekedar mutu yang bagus, sebab cerita sola mutu khan biasanya hanya diperoleh dari mulut ke mulut, kecuali kalau memang udah ada saudaranya yang pernah bersekolah di sana.
Sekolah katolik mahal? Wow! JELAS! Namun itu kujawab dengan perkecualian, yaitu di beberapa sekolah, utamanya di kota besar. Aku melihat hal ini sebagai bagian dari proses pembelajaran pula. Coba bandingkan dengan sekolah negeri yang notabene murah karena disokong oleh pemerintah. Dari segi peralatan sekolah sampai material gedung, udah jelas-jelas sekolah katolik masih lebih mentereng dan komplit dibandingkan dengan sekolah negeri. Bahkan 2 tahun belakangan ini almamaterku sudah melengkapinya tiap kelasnya dengan AC dan bangunan ditingkat lagi, sehingga sekarang sudah tidak ada lagi sekolah sore, semua masuk pagi. Sekarang coba kita melirik ke sekolah katolik di daerah… phew, sangat mengenaskan adalah kata yang mungkin cocok dipasangkan pada sekolah-sekolah tersebut. Bagaimana tidak, mereka sekolah dengan bangunan seadanya, lalu peralatan serba tidak lengkap, kalaupun ada biasanya itu bantuan donatur yang sedang mengadakan bakti sosial, atau sumbangan dari sekolah pihak perkotaan yang notabene sudah tidak terpakai lagi alias barang bekas. Lalu, apakah uang sekolah di daerah juga mahal? Secara keseluruhan aku tidak tahu, namun dari beberapa daerah (di Keuskupan Malang) yang pernah kupantau, uang SPP yang dibayarkan oleh para murid terkesan hanyalah sekedar formalitas belaka. Bagaimana tidak, coba dipikir, apakah uang Rp. 500,- (paling tinggi Rp. 2500,-) sebulan itu bisa untuk menyelenggarakan pendidikan? Uang itu tetap harus dibayarkan oleh para murid hanya sekedar agar mereka pun tetap punya harga diri dan tanggung jawab untuk bersekolah, sebab mereka membayar! Bagaimana dengan kekurangan dana per bulannya yang mencapai minim 2-5 juta itu? Selain yayasan mencarikan dana dari para donatur, anak-anak yang bersekolah pun diberdayakan untuk membuat kerajinan tangan atau makanan olahan yang kemudian hasilnya dijualkan oleh pihak yayasan. Sehingga selain mereka mendapatkan ketrampilan tambahan yang benar-benar merupakan kerja praktek nyata (yang di kota tidak ada), mereka bisa berbangga karena telah membiayai dana sekolah tanpa membebani orang tua mereka. Nah, hal ini yang aku rasa sedikit sekali terjadi di kota (termasuk aku). Aku ingat sebuah cerita dari romo yayasan yang bilang kalau sekolah katolik minus yang dibinanya itu sempat mengagetkan penduduk di sekitar, sebab terkesan “wah”, setiap tahun ganti seragam! Selidik punya selidik, ternyata seragam-seragam itu adalah hasil si romo “memulung” dari sekolah-sekolah di kota. Bekas memang, tapi masih bagus dan layak pakai. Aku percaya itu, sebab saat aku sekolah, minimal aku punya seragam 3-4 potong untuk seminggu dan sampai aku lulus, aku lihat seragamku masih bagus. Maka sangat disayangkan kalau tradisi semprot-menyemprot pakai cat dan spidol masih berlangsung. Khan mendingan seragam-seragam itu disumbangkan? Belum lagi, yang aku tahu almamaterku punya “tanggungan” sekolah minus di daerah atau pula lain. Jadi sebagian dana sekolah disalurkan untuk menghidupi sekolah-sekolah katolik minus tersebut. Dananya dari mana? Ya dari SPP-ku yang mahal itu π
Lalu, aku coba beralih ke masalah guru. Soal ini memang seperti memakan buah simalakama. Guru pada teori dasarnya adalah orang yang bisa “digugu lan ditiru”. Namun kita tidak bisa menutup mata kita bahwa guru pun manusia yang punya kebutuhan seperti kita. Banyak orang beranggapan bahwa guru itu layaknya manusia super yang sudah tidak punya keinginan lagi, selain mengajar. Seperti halnya manusia normal, guru pun ada yang baik dan ada yang buruk, entah itu dalam cara mengajar, sampai pada kepribadian. Cara mengajar memang berbeda-beda, dan menurutku itu sich tergantung selera dari tiap murid. Mengapa? Karena berdasarkan pengalaman, dulu ada guru yang begitu disukai cara mengajarnya, tapi toh tidak olehku (terbukti nilaiku jelek terus di pelajarannya); tapi kebalikannya ada pula guru yang begitu kusukai cara mengajarnya (terbukti juga dengan nilaiku yang bagus), tapi ternyata banyak teman lain yang kurang suka. Dan kurasa hanya guru-guru yang istimewa yang bisa disukai semua murid, dan itu jarang sekali terjadi! π Bila kita mau teruskan membahas perilaku guru, sudah bukan rahasia lagi bahwa di tiap sekolah pasti punya guru idola dan guru killer. Guru idola? Pasti karena dia begitu disegani dengan segala macam tingkah lakunya yang memang patut untuk dicontoh oleh para murid. Bisa juga karena dia humoris dan dekat dengan para murid. Sedangkan bagaimana dengan guru killer? Wah, sebutannya saja killer, tentu udah jelas kalau banyak murid yang takut, benci, bahkan dendam dengan guru itu. Selama tidak kurang dari 12 tahun aku pun pernah mengalami berhadapan dengan guru killer. Mulai dari “creambath” (istilah kami karena rambut kami dijambak dan digoyangkan kiri-kanan secara cepat), ditampar, “jengkeng” (hukuman berlutut seperti saat misa, tapi di kursi atau lantai), dijemur di terik matahari, dicubit di seputaran “payudara” cowok, ditinju di perut, mulut diplester pake lakban, dan masih banyak lagi hukuman-hukuman yang mempermalukan itu. Untunglah, walaupun mereka yang berada di deretan para guru killer masih ada beberapa yang mutu mengajarnya bisa diacungi jempol, dengan kata lain mereka bertindak killer hanya kalau muridnya sudah kelewat batas nakalnya. Lalu, hal yang tak lepas dari lingkaran setan permasalahan para guru. Apalagi kalau bukan duit! Ya, kita tahu sendiri bahwa gaji seorang guru tidaklah besar bila dibandingkan dengan usaha yang harus dikeluarkannya dalam menghadapi para murid setiap harinya. Maka, sudah bukan rahasia lagi kalau ada guru sekolah yang membuka bisnis kecil-kecilan berupa les-lesan di rumahnya atau secara privat di rumah murid. Aku pribadi tidak menyangkal kalau aku pun pernah ikut les, baik les yang bertujuan baik (biar mengerti pelajaran) maupun les yang bertujuan jelek (cari nilai alias nyogok π Nah, soal bagaimana kegiatan les ini nanti dimanfaatkan, ini kembali pada gurunya juga. Ada guru yang hanya mau memberi les bila ia merasa di murid memang butuh bimbingan eksra, namun ada pula guru yang justru membuka les-lesan untuk mengobral nilainya. Caranya? Selama les diberikan soal-soal yang nantinya akan dipakai saat tes/ulangan, atau pada akhir semester/cawu nilai murid yang les dikatrol dengan perhitungan standar nilai minimum 7. Sebuah fakta yang terjadi di banyak sekolah, walaupun itu sekolah katolik yang “katanya” bermutu paling bagus. Pernah aku dibagi sharing oleh romo yayasan soal les di sekolah daerah. Oleh si romo, aktivitas les dilarang, kalaupun dirasa perlu, harus dilakukan di sekolah pada siang/sore hari dan boleh diikuti oleh semua murid. Sayangnya, ada oknum-oknum guru yang justru menggunakan sistem sales door to door dan menawarkan les pada murid. Hal ini sempat memicu ketegangan di antara para wali murid dan hasilnya si guru pun dimutasikan ke tempat lain. Pedoman si romo yayasan, les privat itu lebih banyak ruginya daripada untungnya. Kenapa demikian? Akan saya kutipkan di akhir oret-oretanku ini…
Sekarang masuk ke topik yang paling banyak dikeluhkan (aku rasa) oleh para wali murid saat anaknya mau masuk ke sekolah. Apalagi kalau bukan DANA SUMBANGAN! Memang kasus dana ini begitu kontroversial di berbagai kalangan. Yang merasa “ditarik” sumbangan kecil, begitu bersukacita dan senyam-senyum kecil, sedangkan yang “ditarik” sumbangan besar/tinggi merasa tidak adil dan protes bahkan marah-marah. Sebagai anak kota yang hidup cukup, dalam artian tidak kurang tapi juga tidak lebih, aku merasa beruntung kalau selama ini negosiasi antara ayahku dan pihak sekolah selalu menghasilkan sumbangan yang tidak terlalu besar. Namun, ada beberapa segi yang ingin kusorot, yaitu kenapa sampai ada sekolah yang terkesan gila-gilaan dalam menarik sumbangan dan kenapa sampai ada wali murid yang merasa diperlakukan tidak adil dengan besarnya sumbangan yang harus dibayarnya. Istilah SUKARELA pun berubah jadi suka ndak suka harus rela. Sedikit cerita, ayahku pernah jadi anggota BP3 (anggotanya diambil dari beberapa wali murid yang anaknya sekolah di sana) saat aku masih SD. Dari pengalaman ayahku, terbukti memang ada wali murid yang PENIPU. Aku tulis dengan huruf besar, karena memang keterlaluan banget. Ada wali murid yang sampai menghalalkan segala cara agar anaknya bisa diterima dengan sumbangan minimal. Di antaranya: menyuruh sopir/pegawainya mengaku sebagai wali murid si anak, ke sekolah dengan menggunakan baju golongan ekonomi lemah (padahal biasanya pake baju mewah, ayahku tahu karena memang kenal), dan menggunakan surat-surat yang tidak diperbaharui, seperti alamat KK (Kartu Keluarga) yang walaupun sudah pindah ke rumah gedongan, tapi KK barunya tidak diurus-urus, sehingga kalau harus menunjukkan bukti-bukti kehidupan sehari-harinya menunjukkan kalau bukan dari golongan berada (meteran air, listrik, telpon yang kecil, dsb). Memang, tidak semua wali murid seperti itu… dan pasti ada wali murid yang menjadi korban “kekeliruan” penilaian oleh para BP3-nya. Biasanya kekeliruan ini disebabkan kurangnya informasi yang dikumpulkan oleh ayahku dan rekan-rekannya menjabat sebagai BP3. Nah, itu contoh cara-cara “unik” yang dilakukan wali murid yang ingin mendapat nilai sumbangan minimum saat wawancara di sekolah… tapi ada juga yang pakai cara lain, yaitu mendatangi rumah salah seorang anggota BP3. Tahu khan… bawa “oleh-oleh” π Lalu buat apa sich sumbangan besar-besaran yang dikumpulkan oleh BP3 itu? Bila aku tidak keliru, seharusnya uang itu memang untuk men-support sekolah, terutama dari segi sarana dan pra-sarana. Sebab yang aku tahu, ayahku dan wali murid lain yang jadi BP3 saat itu memang tidak menerima bayaran sama sekali. Kalaupun ada, hanya berupa syukuran kecil-kecilan di sekolah, antara para guru dan BP3, itu saja. Lalu uangnya? Ya dibuat membangun gedung, sampai memberikan kenang-kenangan pada para guru sebagai pemicu semangat mereka untuk tetap mengajar dengan baik. Bagaimana dengan BP3 di sekolah yang lain? Secara persis aku tidak tahu, tapi aku yakin bahwa mereka pun orang-orang yang punya hati dan tujuan yang baik di balik tindakan mereka yang terkesan tidak ber-perikemanusiaan. Jadi, saya rasa memang betul kalau ada komentar yang harus instropeksi diri itu bukan hanya pihak sekolah dan BP3 saja, melainkan para wali murid pun perlu bercermin apakah tindakannya itu sudah benar?
Hmmm… memang persoalan pendidikan bagaikan benang kusut. Tidak mudah untuk bisa memuaskan semua pihak. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana kita menelaahnya dan pakai kacamata yang mana saat kita melihatnya. Bila sekolah katolik harus bermutu semua, itu artinya anak-anak yang kurang pinter (seperti aku) tidak diberikan kesempatan untuk belajar di sekolah katolik. Lebih tidak adil bukan? Bila sekolah katolik harus “kere” (melarat) semua alias tidak boleh mewah, lalu darimana dana untuk menghidupi sekolah tersebut? Apakah dengan bergaya hidup tidak mewah bisa membuat sekolah itu bisa menjadi bermutu? Anggaplah sekolah katolik bisa menjadi bermutu dengan bergaya hidup tidak mewah (sumbangan kecil, spp murah, dsb), lalu itu artinya orang-orang yang mampu pun tidak lagi perlu menyisihkan “kelebihan”-nya untuk menyokong yang kurang mampu. Semakin tidak adil bukan? Bagiku, sekolah adalah bisnis. Namun selama bisnis yang dilakukan itu untuk kepentingan pendidikan, saya rasa sah-sah saja. Yang tidak benar itu kalau sampai sekolah hanya memperkaya diri, namun kurang memberikan fasilitas yang lengkap sebagai kompensasi para siswanya yang telah membayar mahal. Yang tidak boleh dibisniskan adalah sistem pendidikannya. Saya rasa semua pasti setuju kalau tiap orang punya hak untuk mengenyam pendidikan. Sayangnya, tidaklah semua orang beruntung bisa mengenyam pendidikan, sehingga dengan “bisnis sekolah” sekolah inilah diharapkan mampu untuk membantu yang kurang beruntung itu. Ada pendapat dari para pelaku pendidikan, yaitu: bagaimana sekolah bisa maju bila tidak menggaji guru yang bermutu? bagaimana bisa menggaji guru yang bermutu bila tidak berduit? bagaimana bisa berduit kalau tidak punya murid? dan akhirnya, bagaimana bisa bermurid bila sekolahnya tidak bermutu? Ini adalah lingkaran setan yang terjadi dan terus akan terjadi, baik di kota dan terutama di daerah terpencil. Mungkin semuanya akan terwujud saat dunia ini sudah damai… entah kapan…
Yang terakhir, berikut kucuplik kisah dari seorang romo yayasan yang menaungi sekolah-sekolah minus soal les:
Semenjak ditugaskan sebagai pimpinan yayasan pendidikan keuskupan kucoba mengumpulkan data dan alasan mengapa banyak yang minus? Ada bermacam-macam alasan: karena KB berhasil, jumlah anak sedikit, banyak sekolah ada di pedesaan yang secara finansial tidak menguntungkan, banyak sekolah lain yang bermunculan, dan sebagainya. Itu semua adalah faktor eksternal, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanakah dengan faktor internal? Faktor internal yang membuat sekolah minus adalah: citra sekolah yang menurun, baik soal kualitas pengajaran maupun personalianya, sangat terbatasnya dana untuk pembinaan maupun peningkatan sarana pendidikan di sekolah. Salah satu hal yang penting sebagai penyebab merosotnya sekolah adalah soal les privat terhadap muridnya sendiri.
Salah satu kebijakan yang dengan tegas kuterapkan adalah larangan les privat atas muridnya sendiri. Sudah banyak keluhan terhadap les privat yang seringkali menjadi suatu tindakan yang tidak terpuji. Les privat itu bila dikaji lebih jauh punya sisi negatif yang cukup banyak. Kegiatan itu bagaikan lingkaran setan yang saling terkait satu sama lain antara orang tua, guru, dan murid. Mengapa? Alasannya sebagai berikut:
Pada pihak orang tua
Pertama, banyak orang tua merasa sibuk bekerja untuk mencari nafkah, mereka merasa sudah berkorban waktu, tenaga, pikiran, dan tidak sempat memperhatikan dan mendampingi anaknya. Jalan yang mereka tempuh adalah membayar guru untuk memberi les di rumah. Orang tua merasa sudah banyak berkorban bagi anaknya dengan bekerja keras, padahal justru sebaliknya, banyak orang tua mengorbankan anaknya demi pekerjaan mereka.
Kedua, orang tua murid merasa sudah membayar guru, “membeli” guru dan dengan itu mereka merasa mempunyai hak untuk menuntut guru. Wibawa guru menjadi agak turun di mata mereka yang telah mengupahnya.
Pada pihak guru
Pertama, secara manusiawi person guru bsa berpikir, bahwa jika satu anak yang ikut les saja bisa memberikan income sekian puluh ribu rupiah, apalagi jika ada 10 atau 20 anak yang ikut, tinggal mengalikan saja.
Kedua, agar banyak yang ikut les maka person guru bisa membuat strategi dengan berbagai cara, yakni mengajarkan yang umum saja sedangkan yang lebih khusus akan diberikan pada saat les. Bisa juga sebaliknya, di kelas diajarkan yang sulit-sulit dan jika ingin tahu lebih cermat maka harus ikut les.
Ketiga, karena sudah dibayar oleh wali murid maka person guru sadar maupun tidak merasa dituntut. Dia merasa dituntut secara moral, bahwa anak yang diberinya les hasilnya lebih baik daripada yang tidak ikut les. Hal ini bisa memunculkan “kejahatan” terselubung dengan cara: sedikit atau banyak ada kemiripan maupun kesamaan antara bahan ulangan dengan materi les yang diterima murid sebelumnya. Jika itu gagal, bisa jadi ada guru yang nekat mengubah nilai yang bersangkutan. Ini sudah menyangkut ketidakjujuran dan ketidakadilan.
Keempat, guru telah secara tidak langsung membunuh murid yang sebenarnya pandai namun karena tidak ikut les menjadi kalah bersaing dan frustasi.
Pada pihak murid
Pertama, murid kurang mau memperhatikan pelajaran di sekolah karena merasa, bahwa nanti bisa tahu waktu ikut les. Murid meremehkan pelajaran dan gurunya.
Kedua, wibawa guru di mata murid yang bersangkutan juga turun karena mereka merasa bisa dan telah membayar guru, dengan membayar maka mereka merasa “membeli” sang guru.
Ketiga, murid merasa pandai karena nilai ulangannya baik, padahal mereka tidak merasa bahwa nilai akademis yang mereka terima itu sesungguhnya tidak mencerminkan kemampuan riil mereka. Ini pembodohan.
Aku percaya, sangat banyak guru yang setia dan jujur dengan profesinya. Namun, kecenderungan pada person tertentu utnuk bertindak tidak benar bisa selalu terjadi. Yang untung mungkin hanya guru tertentu, sementara yang dirugikan ada berbagai pihak yaitu guru-guru lain yang berlaku benar, sekolah dan anak didik. Kegiatan les privat terhadap muridnya sendiri sudah melenceng jauh dari sejarah tujuannya. Dahulu, les privat diberikan kepada murid yang agak ketinggalan dalam pelajaran agar bisa sejajar dengan yang lain. Sekarang justru sebaliknya, mereka yang ikut les adalah mereka yang notabene sudah pandai dan ingin lebih pandai dari yang lain dan biasanya anak-anak orang yang kaya dan mampu untuk membayar. Les atau pelajaran tambahan lebih baik diganti les klasikal untuk semua. Semua memperoleh pelajaran tambahan. Aku tahu resiko atas kebijakan yayasan yang kuberlakukan. Harus ada yang berani memotong jalur lingkaran yang tidak benar ini. Mungkinkah Anda mau berjuang untuk lurusnya dunia pendidikan? (dikutip dari “Dalam Teduh Mata-Nya”)
Yang mengenang masa sekolah,
JN. Rony
20020813
In memorian bpk. Suparman