Dalam beberapa diskusi yang kuikuti (secara pasif) beberapa waktu lalu di beberapa milis, sempat memperdebatkan perlu tidaknya membawa Puji Syukur dan/atau Kitab Suci saat kita mengikuti misa di gereja. Memang perdebatan ini menjadi tak berakhir, sebab semua itu dikembalikan pada pribadi yang menjalani kehidupan rohaninya itu. Namun ada sedikit lagi yang ingin kusinggung karena hal ini cukup menyita waktukku beberapa hari belakangan ini.
Beberapa waktu yang lalu, sempat aku melontarkan “sindiran” ke milis seputar topik ada umat yang malas bawa Kitab Suci karena dinilai “berat”. Aku menulis, kalau memang KS dianggap berat, ya bawa aja PDA… π sebab aku pernah melihat seorang rekanku yang menggunakan PDA-nya saat liturgi sabda π Sebelumnya, bila ada yang belum tahu apa itu PDA, akan kujelaskan sedikit. PDA singkatan dari Personal Data Assistant. Bentuknya mirip sebuah organiser kecil dan untuk menggunakannya menggunaan pen tumpul dan di-“tutul-tutul”-kan ke layarnya. Mungkin saat ini PDA sudah menjadi booming di masyarakat.
Bicara soal PDA, kita bicara soal teknologi. Kukatakan demikian, sebab lewat PDA ini cukup banyak keajaiban yang bisa kulihat. Tentunya kita sudah tidak asing dengan Alkitab di komputer kita masing-masing dengan berbagai bahasa. Nah, bagaimana kalau Alkitabnya itu berada dalam PDA yang besarnya hanya sebesar kantong celana kita? Apakah ini bisa dikatakan sebagai “saingan” atau “pengganti” buku Kitab Suci? π Lalu, Puji Syukur… buku ini masih cukup populer untuk dibawa-bawa oleh sebagian besar umat Katolik yang ke gereja. Siapapun tidak akan punya pikiran bahwa Puji Syukur pun bisa di-PDA-kan bukan? Dan ternyata dugaan itu keliru… sekarang pun Puji Syukur sudah di-PDA-kan! Memang dari versi terakhirnya, masih belum lengkap 100% penjiplakannya (sebab harus diketik ulang :), namun hasil hingga saat ini yang pernah kulihat sangatlah menakjubkan! Tata Perayaan Ekaristi dan Doa Syukur Agung sudah masuk semua… sebagain lagu-lagu dan mazmur pun sudah masuk, tinggal doa-doa saja yang belum ada. Nah, apakah ini bisa juga dikatakan sebagai Puji Syukur masa depan? π Harap dicatat, bahwa kedua software itu dalam bahasa Indonesia lho! π Lanjut ke masalah devosi yang paling populer, yaitu Doa Rosario. Kujumpai pula beberapa software yang memudahkan kita untuk mengingat peristiwa-peristiwa, doa-doa, sampai biji rosario yang mana saat ini. Sayangnya software ini masih dalam bahasa Inggris. Lalu ada pula software yang berisi catatan doa para pendoa, yang berisi doa-doa umum (Malaikat Allah, Bapa Kami, Salam Maria, dsb.) dan mungkin doa-doa pribadi buatan kita. Sayangnya juga ini masih dalam bahasa Inggris. Lalu buku Katolik… bila kita sudah mengenal e-book di internet… saat inipun sudah tersedia e-book di PDA. Cukup banyak judul buku yang kutemui (walau masih dalam bahasa Inggris) termasuk buku/artikel rohani Katolik. Di antara yang cukup menarik seperti The Dead Sea Scrolls (Catatan Laut Mati) yang terkenal itu.
Itulah sekelumit perkembangan teknologi saat ini. Yang kusorot barulah di Katolik saja, namun di internet kutemui banyak sekali software rohani untuk Kristen, Budha, Islam, sampai Mormon! Lalu apakah nantinya PDA akan menggantikan buku-buku tebal itu? Apakah nantinya ada romo/pendeta/khotib/bhiksu/dsb. yang membawakan misa/kebaktian/pengajian/dsb. dengan berbekal PDA-nya? Yang jelas, hingga saat ini ada pengakuan dari beberapa orang (dari Kristen dan Katolik) pengguna PDA yang ke gereja dengan berbekal PDA masih dianggap sebagai orang “aneh” yang berniat main-main, bukan ke gereja π
JN. Rony
20020808
yang lagi iseng π
Pertanyaan itu mungkin menjadi pertanyaan banyak orangtua atau mungkin seorang pemuda seperti aku π Kutanyakan begitu karena aku menilai semakin tahun, seorang anak (dalam artian ABG – Anak Baru Gede) ternyata saat ini jadi lebih cepat “gede”-nya.
Sadar atau tidak, itulah realita yang ada di sekitar kita. Di sisi yang tiap hari disorot oleh media, yaitu tawuran pelajar yang sudah berani pakai “alat bantu” seperti gobang, pisau, dsb. (entah ada yang bawa pistol atau tidak). Lalu, ditangkapnya anak-anak usia pelajar yang menggunakan narkoba, atau mungkin merampok, bahkan membunuh. Juga tak jarang diberitakan dijaringnya PSK (Pekerja Seks Komersial) yang masih berstatus pelajar. Semua itu mungkin tidak pernah terdengar di jaman “babe Harto” berkuasa (atau mungkin karena memang aku-nya yang gak update info :). Terlepas dari “problem” kasih sayang di keluarga mereka (yang disinyalir menjadi akar masalahnya), di sini terlihat bahwa ABG sekarang ini lebih berani untuk mencoba.
Nah, kuakui bahwa aku pribadi belum pernah terjuan secara langsung untuk melihat dengan mata kepala sendiri kasus-kasus di atas. Namun dari pengalaman pribadiku (yang mungkin bisa dikategorikan biasa-biasa saja), aku melihat bahwa memang ABG sekarang menjadi lebih “berbeda”. Mulai dandanan sampai tingkah laku. Sebagai eks Pramuka, aku dan teman-teman dulu mengganggap apa yang kami terima (ploncoan, maksudku) adalah bagian yang wajib kami terima dalam melatih mental, tentunya masih dalam batas kewajaran (kadang rada melenceng dikit :), karena saat ini pun kami merasakan bahwa kami punya “rai beton cor-coran” (muka tebal banget) dalam menghadapi situasi yang mungkin sudah bisa menciutkan hati orang lain. Mental lebih terbangun. Namun, dalam acara pramuka belakangan yang kami hadiri (sebagai alumnus), kami lihat anak-anaknya selain bertambah sedikit peminatnya untuk ikut organisasi ekstern (pramuka, pecinta alam, pmr), mereka juga sudah “tidak tahan” bila diperlakukan “kurang adil”. Terbukti pernah anak yang saking keras kepalanya berani minta pulang saat kita kemping di hutan Coban Rondo (edan gak?). Lalu sebagai panitia kemping rohani aku pun kembali “trenyuh” melihat tingkah polah anak-anak ABG (seusia SMP-SMA) yang menurutku sudah sangat berani, di antaranya merokok, tidak takut lagi sama para suster di pertapaan, tidak lagi menghargai orang yang lebih tua. Hal itu terlihat saat session, mereka sibuk bicara sendiri, bahkan ada yang sibuk pacaran sambil rangkulan! (gila bo!). Sebuah pemandangan yang mungkin tidak terlihat 7 tahun yang lalu saat aku pertama kali ikut kemping rohani.
Dari segi gaya hidup, aku pun menyoroti banyak hal yang mungkin terasa sebagai pemandangan biasa. Contoh paling simple, semakin banyaknya anak SMP yang bawa kendaraan sendiri (entah itu motor atau mungkin mobil). Saya kurang tahu, apakah memang peraturan untuk membuat SIM itu sudah diganti, bukan lagi minimal 16 tahun untuk SIM C dan 17 tahun untuk SIM A? Memang jaman aku masih SMP sudah ada beberapa teman yang bawa motor sendiri, namun itu masih sedikit sekali. Lalu barang “mewah” yang sekarang sudah tidak mewah lagi, yaitu HaPe. Aku begitu kagum melihat bahwa anak SD sekarang pun sudah bawa HP sendiri! Tipe canggih lagi, bukan seperti milikku yang modelnya kayak badut gendut π Begitu pula dandanan, wow! Untuk yang satu ini, sebagai pria normal… aku turut menikmati pemandangan menarik pula :p Namun yang kembali bikin aku “miris”, yaitu trend yang membuat ABG-ABG ini menjadi ingin ber-harga diri yang lebih tinggi. Bayangkan, anak tetanggaku yang baru masuk SMP dan kebetulan SMP-nya adalah SMP favorit tempat kumpulnya anak-anak konglomerat, TIDAK MAU diantar-jemput lagi oleh papanya dengan sepada motor… alasannya: semua temannya naik mobil. Dia lebih memilih ikut mobil teman daripada naik motor (padahal menurutku nunut itu lebih “mbambung” ketimbang naik motor sendiri atau naik bemo/becak :). Untung dia punya mobil, kalau tidak? Lalu, belakangan aku dengar dia mulai merengek minta dibelikan HaPe karena satu kelasnya yang belum punya HaPe tinggal 2-3 orang saja (termasuk dia). Dan hebatnya, gak tanggung-tanggung mintanya… Nokia (serinya lupa) yang harganya 3-4 jutaan. Lalu, kalau mengingat aku dulu saat sekolah, kalau naik kelas atau lulus… biasanya kelas/sekolah mengadakan rekreasi/wisata ke villa di Tretes, Batu, Malang, atau paling jauh ke Bali ama Jakarta. Tapi barusan seorang teman mamaku, yang anaknya kebetulan sekolah di Ciputra (tempat orang borju ngumpul :), anaknya yang barusan naik kelas 2 SMP… sekolahan mengadakan tour ke Cina bo! Jujur aja aku sampe terkagum-kagum… wowwww…
Entah apa lagi yang saat ini lagi trend di kalangan ABG. Mungkin aku yang sudah jadi orang kuno dan layak di-museum-kan, mungkin pula aku terlalu mengkritik… bahkan mungkin aku mengeluh karena iri, dulu aku tidak begitu :p Tapi yang jelas, aku mempertanyakan karena aku semakin miris dengan perubahan yang amat sangat drastis ini. Bila memang hal-hal itu bisa membuat para ABG itu menjadi lebih berguna kelak, aku sich oke saja, tapi kalau trend itu malah menjadi bumerang dan merusak mereka? Aku hanya bisa terdiam…
JN. Rony
20020808
yang pernah jadi ABG brengsek
Frustrasi, itulah yang sering kita dengar, ucapkan, dan alami. Frustrasi digambarkan sebagai sebuah keadaan dimana orang yang mengalaminya seakan-akan sudah tidak punya harapan lagi untuk menghadapi segala sesuatu. Penyebabnya bisa bermacam-macam seiring pula dengan tindakan dan akibat yang ditimbulkan. Orang bisa melakukan apa saja bila frustrasi, padahal kalau dipikir orang bisa frustrasi karena mengalami jalan buntu, tapi kenyataannya “ide kreatif” bisa muncul saat itu. Entah ada atau tidak, orang yang frustrasi bisa membuat sebuah terobosan dengan “ide kreatif”-nya yang disalurkan secara positif. Namun yang terbanyak tentunya “ide kreatif” itu kemudian disalurkan pada hal-hal yang negatif.
Kejahatan-kejahatan yang ada di sekitar kita, kebanyakan tak lepas dari sikap frustrasi dari pelakunya. Entah itu butuh uang untuk membayar hutang, sampai butuh uang hanya untuk beli makan/minum. Frustrasi pun bisa menimbulkan korban jiwa, seperti orang yang membunuh saingannya atau orang tua yang membunuh bayinya karena belum menghendakinya (tapi kebobolan dulu), bahkan orang yang membunuh dirinya karena merasa tak kuat menjalani hidup.
Kenapa frustrasi bisa sampai terjadi? Tentunya kita harus melihat kembali pada diri sendiri dan lingkungan di sekitar kita. Lingkungan di sekitar kita dapat menjadi faktor yang dominan dalam menciptakan frustrasi. Tuntutan kerja/organisasi, kondisi perekonomian/perdagangan yang lesu, sikap yang kurang bersahabat dari orang-orang sekitar kita, dan lain sebagainya. Hal itu membuat kita seakan-akan “tidak diterima” di lingkungan itu. Bila dibiarkan terus, maka timbullah frustrasi tadi. Diri sendiri pun bisa membuat kita frustrasi, mungkin karena kita terlalu menekan dan men-target diri untuk mencapai hal-hal yang terlalu tinggi atau mungkin karena kita senantiasa menjalani hidup ini hanya untuk dan oleh diri kita tanpa mau membantu/dibantu orang lain. Pada titik tertentu, target yang terlalu tinggi akan menimbulkan sebuah kejenuhan/kekecewaan apabila kita tak berhasil menggapai target itu. Berjalan sendiri tanpa bersama orang lain pun suatu saat akan menimbulkan sebuah kekosongan diri, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Repot khan? Manusia adalah makhluk sosial, tapi masih bisa frustrasi karena bersama orang lain.
Entah apakah sekarang ini sudah menjadi trend atau tidak, tapi frustrasi saat ini diwujudkan dalam cara-cara yang “unik” dan semakin beragam. Penyebabnya pun semakin sepele (tapi pada prinsipnya semua masalah itu sepele, tinggal kita melihat dari kacamata mana). Kalau dulu orang mungkin akan frustrasi dan bunuh diri karena terlilit hutang sekian juta, tapi sekarang malah terbalik… yang hutang sekian milyar malah santai-santai, sedangkan yang cuma hutang sekian ratus ribu bisa bunuh diri atau bahkan menjual diri. Sering di surat kabar dijumpai orang membunuh tetangganya hanya lantaran tetangganya menggoda (dengan ucapan) istrinya. Bahkan pernah di televisi dikabarkan seorang anak membunuh seluruh keluarganya hanya lantaran keinginannya tidak dituruti. Di kalangan remaja pun frustrasi tak kalah heboh. Cinta ditolak, dukun pun bertindak, begitulah “sindiran” (atau mungkin motto?) yang sering dipakai. Aborsi pun bagai jamur di musim hujan, lantaran banyak pasangan muda yang sebenarnya belum (bahkan tidak!) siap berumah tangga, namun ingin “test drive” dulu. Hasilnya? Kondom bocorpun dijadikan alasan dan segala jenis pengguguran dicoba. Lalu, pernah juga dikabarkan bahwa sepasang remaja memilih mati berdua, hanya lantaran hubungan mereka tidak disetujui oleh orangtua. Masih banyak lagi contoh-contoh frustrasi yang kini tengah menghinggapi banyak orang.
Lalu bagaimana biar tidak frustrasi? Ya jangan mau frustrasi! Maksudnya, selama kita sadar dan tidak membiarkan diri kita terbawa dalam arus ke-frustrasi-an itu, maka tentunya kita bisa mengubah sebuah ke-frustrasi-an menjadi sebuah peluang. Kesadaran bahwa kita sebagai manusia yang lemah dan serba terbatas bisa menjadi obat yang mujarab agar kita tidak tertekan. Yang paling utama adalah mau menghadirkan Tuhan (dalam agama apapun yang kita yakini) ke dalam setiap langkah kita. Menyertakan-Nya dalam setiap karya dan karsa kita, bisa membuat beban kita berkurang. Apa yang kita lakukan tentunya tidak akan terwujud bila Ia tidak menghendakinya. Selain itu, teman atau sahabat bisa menjadi “tempat sampah” yang baik pula bagi segala keluh kesah kita. Mengeluh tidak selalu berarti kita menyerah begitu saja. Mengeluh kadang mengingatkan bahwa kita ini lemah dan kadang itu perlu untuk memacu kita untuk berani melangkah maju. Menjalani hidup dengan apa adanya membuat kita semakin ringan dan tak berbeban, melakukan apa yang bisa dilakukan pada hari ini dan bukan menundanya sampai besok, berpikiran positif akan segala sesuatu, serta memelihara rasa humor dalam diri kita (bahkan perlu sekali-kali mentertawakan diri sendiri) bisa menjadi obat awet muda dan obat sakit kepala yang manjur.
Frustrasi memang bisa menjangkiti setiap orang, bahkan Yesus pun pernah frustrasi di atas kayu salib, namun Ia pun menyerahkan semuanya pada Bapa di Surga. Frustrasi adalah sebuah proses yang tidak bisa dihindari, tinggal bagaimana kita mengolahnya dan membuatnya menjadi sebuah kemenangan. Sanggupkah kita menghadapi frustrasi?
“Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Masih banyak teman-temanku di sini menemaniku. Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Wajahku juga gak jelek-jelek amat, banyak yang mau. Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Paling-paling juga kalau kamu mentok, balik padaku.” – Shaden
Be Optimist!
JN. Rony
20020720