05 Jun 2002 @ 4:28 PM 

Hari ini aku kembali menjadi saksi mata dari dua orang yang mengikatkan dirinya dalam sebuah ikatan seumur hidup, yaitu pernikahan. Memang bukan hanya kali ini saja aku menghadiri entah itu resepsi ataupun pemberkatan nikah teman-temanku, namun ada sebuah kisah yang entah mau dibilang mengharukan atau malah menyedihkan dalam janji seumur hidup kali ini.

2 orang yang hari ini sudah resmi menjadi suami-istri ini awalnya adalah 2 orang yang berasal dari keyakinan yang berbeda, walaupun 1 iman, yaitu iman akan Yesus. Si pria (sebut saja Sam) berasal dari keluarga sebuah gereja kristen protestan, sedangkan wanita (sebut saja Mary) berasal dari keluarga katolik. Keduanya adalah tergolong umat yang taat dan aktif di gereja dan rasanya tidak perlu disebutkan kegiatan masing-masing di gereja. Dalam sebuah perkenalan, keduanya kemudian saling menjalin hubungan dan bertambah akrab, sehingga keduanya memutuskan untuk berpacaran. Pada awal-awal mereka berpacaran, banyak tentangan atas hubungan mereka. Yang kutahu, kami (teman-teman sesama aktivis) sempat menghalang-halangi si Mary dengan alasan beda gereja. Setahuku juga, pihak keluarga Mary pun sempat tidak setuju, mengingat ayahnya adalah umat yang taat pula. Seiiring dengan waktu, yang aku yakin dengan pertimbangan yang berat pula, si Mary memutuskan untuk meninggalkan gereja katolik dan mengikuti agama Sam di gereja kristen. Hal itu ditandainya dengan mundurnya sebagai dirijen koor kami.

Awalnya kami merasa berat sekali menerima kenyataan ini. Bayangkan! Seorang aktivis gereja pindah ke gereja lain… tentunya sebuah hal yang sangat heboh di kalangan aktivis gereja. Namun, lambat laun kami pun harus belajar menerima dengan berusaha memahami dan menghargai keputusan Mary itu. Lewat seorang teman kost (yang aktif di karismatik), Mary pun mulai belajar mengenal lagu-lagu karismatik yang notabene “mirip” dengan lagu-lagu di gereja Sam. Radio kristen pun jadi santapannya tiap hari, saat pagi sesudah bangun tidur, dalam perjalanan di mobil, di kantor, di kamar mandi, sampai tiap malam sebelum tidur. Dia pun mulai belajar membaca Kitab Suci secara lebih intensif, sebuah hal yang saya rasa menjadi sebuah “keharusan” gereja kristen ketimbang gereja katolik. Segala hal mulai dia pelajari, semuanya hanya demi “mencocokkan” dirinya dengan Sam. Memang terkesan bodoh memang, namun seakan Mary tak lagi mendengarkan nasehat (atau mungkin celaan?) dari orang lain.

Setelah sekitar 2 tahun berlalu, Sam dan Mary pun membagi-bagikan undangan pernikahan mereka. Pemberkatan mereka dilakukan di gereja Sam, yang juga telah menjadi gereja Mary saat ini. Sebelum dan saat resepsi, terbesit dalam pikiranku, apakah selama ini aku terlalu menghakimi? Apakah selama ini aku telah berlagak berhak untuk membuatkan keputusan untuk Mary? Memang, hati ini masih berat menerima seorang teman seiman berpindah ke gereja lain, hanya gara-gara KAWIN! Namun, aku pun kemudian melihat sisi yang lain, yaitu sebuah DREAM COME TRUE! Mimpi Mary yang telah jadi kenyataan… yaitu bahwa pengorbanannya yang sebegitu besar tidaklah sia-sia, namun telah menjadi sebuah ikatan suci. Aku pun melihat bahwa Mary sekarang menjadi lebih rajin ikut persekutuan, lebih aktif ke gereja, lebih rajin berdoa, dsb. Apakah itu salah? Aku rasa, akulah yang selama ini salah menilai!

Ada yang bilang kalau cinta tak terbatasi oleh apapun…
Ada yang bilang kalau cinta itu adalah masalah rasa…
Bahkan ada lagu yang berkata, kalau sudah cinta, tai kucing pun jadi rasa coklat.
Tapi itulah cinta yang kata Celine Dion, The Power Of Love…

Kalau dulu aku bisa berbangga saat temanku menikah dengan seorang Islam di gereja katolik, kini aku pun masih akan berbangga dengan temanku yang rela berpindah gereja untuk menikah dengan seorang kristen. Kebanggaanku adalah pada ketegaran dan perjuangan Mary dalam menggapai cinta itu sendiri. Aku sungguh berbangga bahwa Mary berani mengambil keputusan yang berat. Aku tak tahu, apakah aku berani mengambil keputusan (pindah gereja atau putus) bila aku pada posisi Mary? AKu hanya bisa berdoa, semoga Mary dan Sam dapat berbahagian sampai akhir hayat… Amin!

Dipersembahkan untuk pernikahan seorang cicik…

JN. Rony
20020605

yang masih mencari arti cinta

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Personal

 26 Feb 2002 @ 4:25 PM 

Udik, itulah gambaran diriku akan ibukota Jakarta. Setengah berkelakar aku membayangkan akan terbengong-bengong melongo sambil melihat alam “tinggi” Jakarta. Impian yang sekian lama terpendam akhirnya lunas sudah dengan keberangkatanku ke sana. Setelah merasakan 15,5 jam perjalanan dengan Argo Anggrek (yang super telat!) aku sampai di Jakarta dengan badan kecapaian dan kehausan yang amat sangat. Setelah mandi di kost teman, aku dibarengi dengan beberapa teman mulai menyusuri kota Jakarta. Tinggi, megah, mewah, eksklusif, mempesona, … ekspresi itulah yang keluar dariku melihat suasana Jakarta yang memang belum pernah kulihat. Jembatan Semanggi yang sensasional, Bundaran HI yang mempesona, gedung-gedung perkantoran yang megah, jalan-jalan tol yang super panjang dan banyak sampai rumah-rumah kedutaan yang cantik kulihat…

Ancol, tujuan pertamaku. Di sana aku menyaksikan Sea World yang memang mempesona banyak orang, sekalipun itu orang Jakarta asli. Setelah itu, malam harinya kami habiskan di Mal Taman Anggrek yang spektakuler. Sungguh menakjubkan bagi orang Surabaya seperti aku πŸ™‚ Hari pertamaku di Jakarta memang tak banyak yang dilakukan, mengingat keterlambatan keretaku dan itu hari pantang-puasa, jadi kami benar-benar “agak” kewalahan mencari makanan yang tidak berdaging, apalagi di dalam lingkungan Mal πŸ™‚ Malamnya, kami pulang. Kebetulan tempat tinggalku selama di Jakarat “agak” jauh dari kota, di kawasan Bintaro Jaya, sekitar 1 jam lebih dari kota.

Hari kedua, kami kembali ke Ancol dan setalah berfoto-foto di pantai, diteruskan ke Dufan sampai sore. Bertiga (aku, cece & husband) kami berusaha untuk masuk ke setiap permainan di sana, dan akhirnya hanya beberapa permainan yang tidak kami ikuti karena di samping ada yang renovasi, rusak, juga merupakan permainan anak-anak kecil saja. Pagi sampai petang berjalan di sana cukup melelahkan. Hujan sempat turun beberapa kali dan sempat membuat aku khawatir, tapi dengan yakin aku bilang, “Ndak hujan kok, khan aku lagi di Jakarta” πŸ™‚ Ya… sebuah cara meyakinkan diri dan memang mulut punya kuasa πŸ™‚ Acara bermain kami habiskan di Arena Arung Jeram yang membuat kami semua basah kuyub. Sehabis ganti pakaian, kami pulang menjemput “guide” kami yang hapal betul liku-liku Jakarta πŸ™‚ Setelah makan malam di Blok S (wow! rame sekali untuk ukuran warung) kami berempat ke Bale Air, melihat salah satu suasana “dugem”-nya Jakarta. Setelah itu dilanjutkan dengan “dugel” (dunia gelap) Jakarta di seputaran Taman Lawang. Wow! Kuakui… kawasan ini benar-benar menakutkan untuk siapa saja. Memang dari segi kuantitas, hampir sama dengan Irian Barat-nya Surabaya, tapi… dari segi “kualitas”, penghuni di sana lebih berani menjajakan dagangannya. πŸ™‚ Setelah 1 putaran, kami pulang, sebab besoknya harus ke Gereja.

Hari ketiga, kemacetan Jakarta masih belum kurasakan. Bertiga kami ke Gereja Katedral sambil menyempatkan diri melongok masjid Istiqlal Jakarta (soalnya parkir di sana :), besar memang… hanya aku kurang tahu besar mana sama Masjid Agung Surabaya. Interior Katedral Jakarta yang menurutku sangat memukau membuatku terharu sepanjang mengikuti misa (walau jujur aku juga masih ngantuk :). Sehabis misa, aku sebelumnya sudah berjanji untuk jumpa darat dengan 3 orang “makhluk” yang selama ini kontak denganku via email. Setelah tunggu-menunggu, kami pun bertemu dan rombongan berpisah. Cece-ku jalan sendiri dan aku ikut 3 orang yang baru saja kulihat wajahnya setelah sekian lama ber-email ria (untung tidak diculik :). Sehabis makan bersama dengan Gajah Mada, kami mampir sebentar melihat kantornya Shekinah, lalu lanjut ke kediaman seorang romo Yesuit yang juga selama ini hanya kukenal lewat email πŸ™‚ Setelah berbasa-basi di sana, kami sepakat berkumpul di Plasa Senayan, satu tempat lagi cukup membuatku terpesona. Di sana akhirnya aku berkumpul lagi dengan rombonganku dan aku berpisah dengan ketiga “makhluk” tersebut (dan aku diberi kenang-kenangan sebuah kaos πŸ™‚ Setelah istirahat dan ngobrol sejenak di kost temanku, kami bertiga segera pulang setelah mencicipi seafood ala Jakarta (beda banget lho! walaupun yang jual orang Lamongan :), karena besoknya mereka harus masuk kerja.

Hari keempat, aku harus bangun lebih pagi dari biasanya sebab harus sudah berangkat ke kota jam 6 pagi. Dan… yang namanya macet benar-benar kualami… 1 jam perjalanan lebih kami tempuh sampai di kota dengan suasana ramainya itu. Setelah sampai di kantor, aku mencoba untuk jalan sendiri sembari menunggu sampai jam kantor selesai. Waktu itu sudah direncanakan aku ke Mangga 2 dan Glodok, sebab aku memang berniat mencari beberapa judul VCD. Dengan naik bis dan mikrolet sendirian… aku merasakan terik matahari Jakarta yang panas berdebu. Sampai di Mangga 2, ternyata masih terlalu pagi. Setelah menunggu kurang lebih 1,5 jam aku mulai masuk kompleks Mangga 2 yang tersohor itu. Dan memang aku sunggu terpana melihat pusat komputer yang sangat memanjakan pengunjungnya… Setelah makan siang, aku memutuskan untuk ke Glodok mencari beberapa VCD. Sesampai di sana, aku agak kebingungan mencari jalan Pinangsia yang kata temanku adalah lahannya VCD. Akhirnya kuputuskan untuk menyusuri sepanjang jalan depan pertokoan Glodok itu. Phew… benar kata teman-temanku… di sana buaanyaaakkk sekali VCD porno! Aku bahkan sempat beberapa kali ditarik kiri-kanan oleh para penjualnya yang super agresif itu. Aku jadi terheran-heran, apakah memang VCD porno sudah di-legal-kan di Jakarta? Sedangkan di Surabaya saja perdagangannya masih kucing-kucingan dengan polisi? Apalagi yang kulihat di sebelah Glodok persis ada pos polisi dan mereka diam saja… aneh tapi nyata! Setelah berjalan dari ujung ke ujung dan kembali, akhirnya aku menemukan tempat yang dimaksudkan… dan ternyata itulah “surga” bagi para pecinta VCD dan para pengecer untuk “kulakan”. Yang membuatku terkagum-kagum sekaligus terheran-heran campur miris di hati adalah begitu banyaknya VCD (99% bajakan πŸ™‚ yang dijual di sana dengan berbagai judul mulai yang paling rohani sampai yang paling porno, dari lagu, film, sampai software, dsb. semuanya itu dicampur jadi satu… Jadi jangan heran kalau sampai ada VCD tentang Jesus “bertetangga” dengan VCD Call Girl, dll. Stand yang putar lagu Islami tapi juga memajang VCD porno… Mereka semua seakan sudah tidak risih dengan VCD model begituan. Ah, benar-benar sudah edan pikirku… Berhubung VCD yang kucari tidak ada, kuputuskan menghabiskan waktu yang tersisa dengan kembali ke Mangga 2.

Sore tiba, aku pun segera naik bis kembali ke kantor ceceku. Jalanan mulai macet, untung aku belum terjebak di dalamnya. Setelah kami makan bersama, aku diantar ke stasiun Gambir oleh mereka. Jam 8 keretaku datang dan aku harus meninggalkan kota besar yang hanya kulalui selama 4 hari saja. Aku berpikir, apakah aku akan kembali ke sana lagi? Aku sungguh takut menghadapi kota keras ini… sudah banyak cerita akan teman-teman yang pindah ke Jakarta dan berubah 180 derajat. Memang Jakarta banyak menjanjikan kesuksesan bagi setiap orang, tapi bagiku Jakarta juga menawarkan lebih banyak godaan bagi setiap orang yang tidak siap imannya. Hingar bingar dunia malam yang kulihat belumlah seberapa… tapi dari sana aku sudah bisa melihat akibat bila kita terbuai di dalamnya.

Kutinggalkan Jakarta dalam keramaian laju kereta. Kutinggalkan kota yang bising dan mahal ini… Akankah ku kembali? Ah, aku tak tahu… biarlah aku tetap udik tapi bisa makan kenyang dengan 5 ribu perak πŸ™‚

Special thank’s to my cece & koko, my best guide, my informant, and trio kwek-kwek πŸ™‚

JN. Rony
20020226

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Intermezo

 16 Dec 2001 @ 4:38 PM 

Mempersiapkan jalan bagi Kristus, itulah ungkapan yang diberikan bagi Yohanes Pembaptis dalam Injil, yang juga dipakai pada masa kini bagi orang-orang yang mewartakan Kabar Gembira, Kabar Keselamatan, dsb. Bila melihat jaman Yohanes Pembaptis dan pewarta jaman modern ini seakan melihat 2 sisi dunia yang berbeda, namun keduanya mempunyai misi yang sama, yaitu mengenalkan Allah dalam diri Yesus Kristus kepada orang-orang yang belum mengenal-Nya atau menyadarkan orang-orang yang telah berpaling dari Tuhan atau bisa juga meneguhkan orang-orang yang dengan setia melayani dan mengikuti Jalan Tuhan.

Ada teori, di dunia ini tidak ada yang sama persis (Itulah kehebatan Tuhan!). Bila ungkapan ini mau dikaitkan dengan keberadaan 2 dunia yang berbeda di atas, maka akan jadi seperti ini: bila di jaman Yohanes Pembaptis, menyiapkan jalan bagi Tuhan itu harus bermati raga di padang gurun, makan belalang, berpakaian dari kulit binatang; maka di jaman modern ini seorang pewarta mungkin bisa dikatakan lebih “enak” dan “nyaman” ketimbang Yohanes, karena bisa naik motor/mobil, pakai baju bagus bahkan berdasi, hidup di alam perkotaan atau sekalipun di desa, tetaplah tidak lebih gersang ketimbang padang gurunnya Yohanes, dsb. Namun tentunya yang perlu dilihat adalah misi dan visi yang diemban oleh masing-masing individu pewarta tersebut, sebab tiap masa atau jaman punya budaya tersendiri.

Menjadi seorang “pelopor” seperti Yohanes Pembaptis mungkin menjadi pilihan bagi beberapa orang yang ingin mengabdian dirinya bagi kemuliaan Tuhan, tentunya dengan cara mereka masing-masing: entah sebagai seorang pastor, suster, bruder, selibat awam, aktivis orka, dsb. Memang tanpa disadari kita telah menjadi Yohanes-Yohanes masa kini saat kita menerima baptisan Katolik yang kemudian diteguhkan dengan Krisma yang kita terima. Namun, pertanyaannya adalah: apakah kita mau menjalani peranan kita sebagai “pelopor” atau tidak?

Menjadi seorang pelopor tidaklah mudah. Seringkali kita ingin menjadi seorang aktor ketimbang seorang pemeran pengganti. Padahal bila mau melihat di balik layar sebuah film, tentunya yang hebat bukanlah aktornya, melainkan pemeran penggantinya. Jackie Chan yang katanya selalu memerankan aktingnya sendiri pun pasti suatu saat memerlukan pemeran pengganti. Namun perlu diakui pula segala kehebatan pemeran pengganti mau tak mau pasti tertutupi oleh ketenaran seorang aktor. Aktorlah yang dilihat oleh penonton. Tapi mengapa Yohanes memilih jalan yang “tidak tenar” padahal dia punya kesempatan untuk jadi aktor seperti Yesus? Bukankah saat itu Yesus belum muncul ke “permukaan”? Sebuah misteri seorang Yohanes Pembaptis yang patut kita teladani… misteri kerendahan hatinya.

Kembali kita lihat sosok “pelopor” masa kini. Kita coba pertanyaan yang paling dasar, apakah “aku” mau menjadi seorang pelopor seperti Yohanes? Kemudian kita telusuri lebih dalam, apakah motivasi-“ku” menjadi seorang pewarta? Apakah “aku” sebagai seorang pewarta benar-benar telah menjadi rendah hati seperti Yohanes, teladan para pewarta? Apakah “aku” bisa menerima kalau ditinggalkan saat yang kuwartakan datang? Jawaban itu ada pada diri kita masing-masing.

Menjadi seorang pewarta adalah tugas yang diberikan pada kita. Menjadi seorang pewarta bukanlah agar kita menjadi besar di hadapan Allah. Menjadi seorang pewarta tidaklah berarti kita mendapat tempat yang istimewa dalam Kerajaan Allah. Menjadi seorang pewarta harus siap untuk ditinggalkan seorang diri. Dan Yohanes Pembaptis menyadari semuanya itu! Yesus berkata: “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar dari padanya.” (Mat 11:11) Siapkah aku?

Terinspirasi Minggu Advent III

JN. Rony
20011216

yang sedang mencari jati diri

Posted By: Mamoru
Last Edit: 19 Jun 2011 @ 03:15 PM

EmailPermalinkComments (0)
Tags
Categories: Renungan





 Last 50 Posts
 Back
Change Theme...
  • Users » 2
  • Posts/Pages » 139
  • Comments » 0
Change Theme...
  • VoidVoid « Default
  • LifeLife
  • EarthEarth
  • WindWind
  • WaterWater
  • FireFire
  • LightLight

About



    No Child Pages.