Seringkali terjadi perbincangan tentang betapa tidak enaknya kotbah seorang pastor, entah karena membosankan, terlalu lama, tidak jelas isinya, dan lain sebagainya… Sebagai umat, saya pun terkadang ikut dalam gosip-gosip kecil ini. Awal-awal saya mengenal Katolik, kotbah pastor pun merupakan sesi yang paling membosankan dalam sebuah misa. Secara garis besar, bagi sebagian kecil orang, misa terbagi menjadi 4 sesi, yaitu sesi segar karena datang terlambat/terburu-buru (doa pembukaan sampai bacaan Injil), lalu disusul dengan sesi ngobrol atau ngantuk ria (homili dan sampai persembahan), dilanjutkan dengan sesi tidur (doa syukur agung sampai persiapan komuni), dan diakhiri dengan sesi paling segar karena sudah bangun dan mulai memikirkan nanti mau kemana atau makan apa (komuni sampai berkat penutup, kalau masih ada di gereja π Praktis, banyak kali saya tertidur saat homili, kecuali bila kotbah pastornya lucu dan menarik.
Sebenarnya seberapakah membosankan kotbah seorang pastor tersebut? Setelah sekian lama, saya bisa mengatakan bahwa itu TERGANTUNG pada diri kita masing-masing. Dalam perjalanan iman saya pribadi, seringkali saya dan beberapa teman berbeda pendapat tentang kotbah seorang imam. Bila saya mengatakan kotbah pastor A itu enak dan lucu, belum tentu di-iya-kan oleh teman saya yang lain, dan sebaliknya. Dari pengalaman juga, tidak mudah bagi seorang imam untuk berkotbah. Mungkin, ada imam yang punya kelebihan bakat untuk bercuap-cuap ria di depan umum, namun banyak juga yang demam panggung. Hal ini saya ketahui saat menginap beberapa malam di sebuah rumah studi sebuah seminari, di mana biara tersebut diperuntukkan bagi para frater yang sedang menempuh pendidikan di STF (Sekolah Teologi dan Filsafat). Setiap pagi, mereka selalu melakukan misa yang seringkali sesi homili diisi oleh seorang frater secara bergantian sesuai dengan jadwal yang mereka susun. Saat itulah masa para frater dituntut untuk belajar berkotbah sebelum mereka menjadi imam. Begitu pula kondisi di sebuah pertapaan yang ramai dikunjungi dalam rangka retret atau camping rohani. Beberapa dari suster pertapaan saya kenal memiliki cara kotbah yang lucu, tapi beberapa orang pula syaa kenal tidak mampu berkotbah dengan baik namun memiliki talenta yang kuat dalam hal doa maupun hal yang lain.
Lewat pengalaman iman, saya menyadari bahwa sebenarnya semua kotbah pastor itu enak lho! Kok bisa? Cobalah untuk menyimak! Seringkali orang menghakimi seorang pengkotbah, padahal saat misa lebih banyak ngobrol. Bila tidak percaya, coba sekali saja saat misa tidak usah memperhatikan pastor π tapi perhatikan sekeliling kita… ada sepasang remaja yang asyik pegang-pegangan tangan dan cerita sambil bisik-bisik mesra, atau ada segerombolan orang yang asyik bercanda, atau ada orang tua yang sibuk menyuapi anaknya yang juga sibuk lari sana dan sini, atau ada yang alim dan sedang mandaraskan doa rosario, dan bahkan yang parah ya seperti yang saya katakan di atas, sedang TIDUR! Nah, dengan segala aktivitas tersebut (sekalipun ber-rosario!) bagaimana kita bisa menangkap apa yang hendak disampaikan oleh imam dalam kotbahnya? Memang, ada orang yang panda berkotbah, ada pula yang tidak… namun akan lebih baik bila kita mau bersikap menghargai mereka yang sudah berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk berkotbah di depan umat. Tidak mudah lho untuk berkotbah di mimbar! Kalau tidak percaya, cobalah untuk tampil di depan umat, menjadi seorang lektor misalnya… kita bisa merasakan yang namanya grogi di mimbar gereja akibat pandangan mata satu gereja mengarah ke diri kita. Apalagi buat lektor yang kurang percaya diri atau tidak siap, akan kelihatan seperti membaca buku ketimbang firman Tuhan. Juga tidak semua kotbah pastor yang membosankan itu tidak enak, bahkan banyak kali inti sebuah kotbah yang membosankan itu punya arti yang sangat mendalam. Pernah saya mendengarkan kotbah dari seorang pastor tua, pastor bule lagi! Dari cara bicara, susah sekali untuk menangkap apa yang disampaikannya, sebab sekalipun menggunakan speaker, tetap saja tidak jelas. Begitu suasana gereja ramai sedikti saja, langsung apa yang disampaikan pastor tua ini hilang ditelan keramaian, apalagi kalau mike-nya mati. Dulu saat pastor ini masih membawakan misa mingguan, pernah kulihat dia marah besar sampai menangis karena merasa tidak di-orang-kan akibat sebagian besar umat di gereja ramai sendiri. Lalu dalam beberapa kesempatan kucoba untuk mendengarkan isi kotbah pastor ini (caranya ya duduk di depan sendiri atau di sebelah speaker :), hasilnya sungguh mengejutkan! Bagi saya pribadi, “isi otak” dari pastor tua ini sungguh brillian dan membumi. Hanya karena cara penyampaian yang tidak jelas, dia menjadi salah satu imam yang dihindari saat misa. Tapi uniknya! Saat pengakuan dosa, imam ini malah ramai di-antri oleh umat. Lho? Rupanya umat banyak yang mau menang sendiri, saat sang pastor kotbah langsung di-cap “gak enak”, “gak jelas”, dsb. tapi saat pengakuan dosa malah mencari pastor tua yang notabene pendengarannya sudah melemah dan bicaranya sudah tidak jelas, dengan harapan tidak merasa berdosa bila ada penitensi (denda dosa) yang tidak dilakukan akibat tidak terdengar π
Fakta memang membuktikan bahwa sedikit sekali imam yang mampu menyampaikan kotbahnya dengan kemasan yang lucu, kocak, menarik bagaikan srimulat saat tampil. Namun, masih banyak hal yang lebih penting daripada sebuah kotbah yang enak didengar, yaitu pemahaman akan inti kotbah itu sendiri. Kalau hanya untuk mendengarkan humor-humor atau lelucon-lelucon, rasanya lebih asyik bila kita nonton srimulat atau ketoprak humor ketimbang susah-susah ke gereja. Memang menyenangkan bila bisa mendengarkan seorang imam dengan kotbahnya yang lucu dan diselingi dengan tawa, namun bila memang sang imam tidak mampu berkotbah… mengapa kita tidak berusaha menyerap pengalaman iman yang disampaikan oleh imam tersebut daripada langsung menutup diri dengan segel “ach, kotbahnya gak enak!” Sesi kotbah bagaikan sebuah kelas, enak atau tidaknya guru yang di kelas tersebut menyampaikan bahan pelajaran… yang bisa merasakan gunanya hanya kita sebagai murid. Bila kita tidak menyimak, ya yang rugi juga kita, si guru sich tidak kehilangan apapun. Yang terpenting adalah dari dalam diri kita saat mengikuti misa tersebut untuk apa? Menghadiri perjamuan Tuhan? Ataukah untuk hal-hal yang lain, seperti berpacaran rohani (pacaran sopan di dalam gereja :)? Atau pindah tempat ngobrol? Ataukah pindah tempat nyuapin makan anak? Atau malah menjadikan gereja sebagai tempat “hunting” orang cakep atau yang parah, dompet (copet kali? :). Atau???
Ingat! Keselamatan tergantung pada diri kita pribadi, bukan pastor atau siapapun.
JN. Rony
20030811
yang sempat tertidur saat kotbah misa minggu π