Beberapa hari terakhir ini aku cukup direpotkan oleh semut-semut kecil yang berkeliaran di dalam kamarku… Awal mula aku menempati kamar ini, boleh dibilang bebas dari berbagai macam serangga, namun mungkin karena barang-barang sudah ditempatkan pada posisi masing-masing, lalu juga adanya persediaan makanan di kamar, membuat pasukan semut mulai bergerilya mencari ransum untuk gudang mereka. Herannya, sampai hari ini aku belum bisa menemukan jalur perjalanan semut-semut tersebut, jadi keberadaan mereka mau tak mau masih terus ada.
Awalnya aku betah saja membunuh satu per satu semut-semut yang terlihat, kadang kala kalau di tembok terlihat barisan semut, kusemprot dengan HIT (kalau ga ada yang lebih bagus dari hit, buat apa pilih yang lain?), namun lama-kelamaan aku gerah juga karena sudah berhari-hari semut-semut itu selalu hadir seolah tak pernah habis dan jera melihat teman-teman pendahulunya kubasmi dengan kejamnya.
Di saat senggang, kadang aku memikirkan perilaku semut-semut tersebut… dan mau tak mau aku harus salut dan angkat topi untuk mereka. Kenapa begitu? Sebab mereka begitu gigihnya dalam mencari ransum, serasa teringat akan moto para pejuang kemerdekaan dulu… mati satu tumbuh seribu atau maju terus pantang mundur, dsb. Para semut-semut kecil ini tetap nekat kembali ke tempat yang sama atau bahkan mengejar makanan yang kupindahkan tempatnya. Tujuan mereka serasa satu… bergotong-royong dan bahu-membahu mendapatkan target mereka, yaitu makanan! Apa yang dilakukan semut-semut itu sedikit banyak bisa kita terapkan dalam keseharian kita, terutama dalam lingkungan pekerjaan.
Ada seorang kawan yang menuturkan kisahnya padaku, sebut saja Joni. Si Joni ini bekerja di sebuah perusahaan multinasional yang cukup sukses dan memiliki jaringan di seluruh Indonesia. Posisi yang dimiliki oleh Joni adalah sebagai salah satu pimpinan cabang yang bisa dibilang sukses pula. Awal mula Joni bekerja di perusahaan ini, semuanya terasa bersahabat dan indah, apalagi saat itu Joni mendapatkan banyak support dari sesama rekan kerjanya. Seperti semut-semut tadi, Joni dan seluruh team bekerja sama dengan satu tekat membesarkan perusahaan tempat mereka bekerja. Satu waktu, perusaahaan mereka membukukan hasil yang melampaui target dan hal ini disambut gembira oleh ratusan karyawannya. Saat itu mulailah ada perbaikan nasib di antara para karyawan, mulai gaji, bonus, tunjangan, fasilitas, dsb. Sayangnya, keberhasilan ini membuat beberapa orang jadi lupa daratan, mengingat seolah-olah mereka mendapatkan durian runtuh dalam jumlah yang besar, sehingga bisa dipakai berjualan durian. Mulailah terjadi saling sikut-menyikut, saling menuduh, saling menjatuhkan dan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Joni adalah salah satu korban dari persaingan tidak sehat tersebut. Dalam hati, Joni sangat kecewa dengan kondisi tersebut dan memutuskan mundur dari perusahaan tersebut. Tak lama berselang, perusahaan Joni ini dituntut pailit karena ditemukan terjadinya korupsi besar-besaran di dalam perusahaan oleh orang-orang yang tamak dan buta karena kesuksesan sesaat yang mereka capai. Menurut Joni, mereka lupa saat-saat mereka saling bahu-membahu membangun perusahaan dengan susah-payah, hanya karena uang, jabatan dan fasilitas yang mereka dapat lebih dari yang biasanya mereka terima akibat sukses tersebut. Beruntunglah Joni sudah memutuskan untuk keluar sebelum terkena kasus.
Kisah Joni tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi apabila mereka yang ada di perusahaan tersebut mau mencontoh kerja para semut kecil. Banyak orang mengatakan bahwa semut adalah pekerja yang tak kenal lelah. Koloni semut seakan-akan bekerja sepanjang waktu. Sekalipun mereka mendapatkan “jarahan” dalam jumlah besar di rumah kita, mungkin saat kita bepergian cukup lama dan membiarkan makanan dalam keadaan terbuka, atau mungkin kita ceroboh dalam menyimpan bahan makanan, dsb.; namun para semut-semut tersebut tetap akan mencari dan mencari sumber makanan yang bisa mereka ambil. Target lebih yang mereka peroleh bukan mengartikan bahwa mereka boleh berhenti bekerja. Semut juga patut diacungi jempol untuk kerjasamanya. Walaupun mereka kecil, namun mereka bisa mengangkut barang-barang yang ukurannya beberapa kali lipat dari tubuh mereka. Mereka saling bahu-membahu dalam setiap pekerjaan. Inilah yang sering dilupakan orang… saat susah, orang cenderung untuk saling berbagi… namun saat sukses, orang akan berusaha berebut kesuksesan tersebut.
Aku sangat suka dengan buku berjudul “Who Moved My Cheese?” yang bertutur tentang 3 ekor tikus dalam perjalanan mereka mencari keju dalam sebuah labirin. Saat ketiga tikus tersebut menemukan ransum keju dalam jumlah besar, mereka berpesta pora dan menikmati hidup mereka dengan keju-keju tersebut. Setiap hari mereka menuju ke tempat yang sama dan menghabiskan keju-keju yang ada di sana. Saat persediaan keju mulai menipis, mulailah terjadi perpecahan di antara mereka: tikus pertama yang sudah dimabuk oleh kesuksesan tidak percaya bahwa keju telah habis dan selalu berharap apa yang menimpa mereka ini hanyalah mimpi. Setiap hari tikus pertama selalu kembali ke tempat tersebut sambil berharap bahwa keju-keju yang kemarin hilang tersebut sudah dikembalikan lagi ke tempat semula dan setiap hari yang diperoleh oleh tikus pertama hanyalah rasa kecewa. Tikus kedua memutuskan untuk mencari “gudang” keju yang baru, namun yang dia peroleh hanyalah sisa-sia keju busuk yang sudah ditinggalkan oleh penghuni lama. Mengetahui hal ini, tikus kedua mulai menyesali dirinya dan terpuruk dalam kesedihan mendalam. Sedangkan tikus ketiga, semenjak ransum mereka hampir menipis, dia sudah mengajak teman-temannya untuk mencari “gudang” baru sekedar berhaga-jaga bila ransum keju mereka habis, namun idenya selalu ditolak oleh kedua temannya dengan alasan mereka masih bisa makan kenyang di tempat itu. Akhirnya tikus ketiga pun sudah mulai mencari jalan baru dalam labirin yang membingungkan tersebut dengan menyisihkan waktunya. Setiap pagi, tikus ketiga ikut bersama kedua temannya untuk makan keju, namun siang hari tikus ketiga meninggalkan mereka untuk mencari persediaan keju baru. Saat keju telah habis, tikus ketiga sudah mendapatkan “gudang” baru untuk dirinya.
Analogi ketiga tikus yang mencari keju ini cukup bisa menggambarkan sikap kita dalam pekerjaan. Tikus pertama menggambarkan orang yang silau karena kemapaman yang diterima sehingga saat masalah datang, dia tidak bisa menerima dan menganggap kesuksesan telah direnggut darinya. Atau mungkin seperti kasus si Joni di atas, orang yang silau karena kesuksesan sesaat sehingga lupa akan masa-masa berat yang telah mereka lalui. Tikus kedua menggambarkan orang yang mau mencari sumber baru saat kesuksesannya pudar, namun saatnya sudah terlambat. Orang ini tidak mau berjaga-jaga sejak awal, namun lebih memilih bersantai menikmati kesuksesannya dan saat semuanya sudah hilang, orang ini sudah kehilangan sumber lain karena kalah cepat dengan orang lain. Tikus ketiga menggambarkan orang yang dalam pekerjaannya selalu waspada dan mawas diri. Dia tidak mudah terbuai oleh kesuksesan yang berhasil diraih sekalipun itu sukses besar. Oleh karena itu, sekalipun sudah berhasil meraih targetnya, dia tetap berusaha untuk mencari target baru dalam pekerjaannya. Analogi tikus ketiga ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh koloni semut.
Pikiranku kembali termenung saat menunggu jam pulang kantor ini… aku mencoba untuk menilai diriku, termasuk tikus yang manakah aku?
Cheeseee!!!
JN. Rony
20041020