Malam ini hujan kembali membasahi bumi. Sejenak aku mencoba mengambil waktu untuk berdiam dan merenung, sebuah hal yang tidak lagi bisa kulakukan setiap hari seperti dulu. Aku teringat bahwa saat aku masih aktif menerbitkan sebuah warta untuk komunitasku, hampir setiap malam aku berdiam dan merenung untuk menghasilkan sebuah renungan atau refleksi yang kuperoleh dari pengalaman hidupku sehari-hari. Namun sejak hampir 2 tahun terakhir ini, aku merasa bahwa inspirasi menulis itu hampir tidak pernah lagi datang dalam diriku. Memang harus diakui aku jarang sekali bisa mengambil waktu untuk diam dan merenung. Entah karena kesibukanku yang membuatku selalu kelelahan setiap pulang kerja, ataukah karena begitu menumpuknya beban di kepalaku yang jarang kubuang sehingga mengakibatkan aku selalu menjalani keseharianku dalam semua masalahku, ataukah karena adanya pergolakan dalam hatiku yang membuat aku tidak bisa diam dan tenang? Ach… aku masih belum bisa menemukan jawabnya. Yang jelas malam ini aku cukup merasakan sebuah ketenangan yang cukup membawa damai dalam diriku… suara kosong ruangan kamarku yang diiringi dengan suara rintik hujan. Sejenak aku seolah merasa kembali ke masa lalu…
Tadi siang aku kembali menjadi saksi hidup menyatunya 2 manusia dalam sebuah pernikahan. Yang seorang adalah teman yang sangat special dalam hidupku. Dalam rangka pernikahannya inilah aku sengaja menyempatkan diri pulang ke Surabaya agar bisa hadir bersama dengan teman-teman seangkatanku menyaksikan ikatan janji suci ini. Dalam kotbah, sang romo menyampaikan tentang peranan cinta dalam hidup pernikahan. Tak peduli jasmani yang akan termakan usia, selama ada cinta maka hidup pernikahan bisa bertahan hingga akhir hayat. Aku pribadi mengamini hal tersebut dan aku juga percaya bahwa hal itu pun berlaku dalam kehidupan keseharian kita. Dalam hubungan dengan manusia lain (entah itu keluarga, teman, atau orang lain), bila cinta kasih turut dilibatkan tentunya hubungan tersebut akan menjadi semakin akrab. Dan harus kuakui, unsur ini belakangan jarang kupakai dalam berelasi dengan sesama.
Jam di laptopku sudah menunjukkan pukul 0:09, hari pun telah berganti. Hari ini aku kembali merayakan pesta nama santo pelindungku, Nicholas. Semenjak aku memilih Santo Nicholas sebagai nama permandianku, aku telah memutuskan untuk belajar dan meneladannya. Santo Nicholas adalah seorang uskup yang baik hati dan penuh cinta pada sesama. Dia seringkali berkeliling dan memberi dari kekurangannya untuk sesama. Karena perbuatannya itulah Santo Nicholas juga dianggap sebagai Sinterklas atau Santa Klaus bagi sebagian orang. Namun, hingga saat ini aku merasakan betapa sulitnya memberi dari kekurangan itu.
Malam makin larut… aku pun makin larut dengan pertanyaan-pertanyaan dalam benakku. Begitu banyak masalah yang terpendam dalam benakku, yang belakangan ini sering membuat kepalaku pusing. Namun, malam ini aku mencoba untuk kembali belajar dan meneladan Santo Nicholas. Aku mencoba untuk memberi dari kekuranganku. Aku juga mencoba untuk kembali melibatkan unsur cinta kasih dalam setiap langkahku. Aku tak ingin terus-menerus larut dalam kesedihan dan lingkaran setan masalah yang tidak berakhir. Aku sadar bahwa ada hal yang bisa diselesaikan dan ada pula hal yang harus dilupakan.
Ach… kantukku mulai menyerang… Aku jadi teringat akan lagu yang belakangan cukup ngetop, “Rocker juga manusia… punya rasa, punya hati… jangan samakan dengan… pisau belati…”. Aku pun sadar bahwa aku adalah manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Namun, aku mencoba untuk senantiasa belajar… agar di dalam kelemahan dan kekuranganku tersebut… nama Allah sang penciptaku dapat dimuliakan… Amin.
Pada pesta St. Nicholas,
JN. Rony
20041206