Bulan Agustus akan segera berakhir, tinggal beberapa hari lagi aku akan memasuki bulan September dan aku yakin tak terasa diriku pun akan segera mengganti kalender dengan yang baru, tahun 2007. Waktu begitu cepat berjalan tak terasa, seiring dengan aktivitas dan kesibukan sehari-hari menjalankan sebuah rutinitas hidup. Hebatnya, aku tak pernah membayangkan diriku akan seperti saat ini, bila aku mengingat-ingat masa kecil dan masa sekolahku. Mungkin bisa dikatakan, hidupku saat ini adalah sebuah keajaiban dan mujijat nyata dari sebuah rencana yang lebih tepat disebut Misteri Allah. Memang tak pernah terlintas sedikit pun bahwa aku akan bekerja dan hidup seperti sekarang ini.
Minggu lalu kita baru saja merayakan (tapi tak merasakan) pesta ulang tahun kemerdekaan negara ini. Sudah 61 tahun kita merdeka, begitu kata banyak orang. Aku ingat, sejak kecil aku terdidik oleh lingkunganku sehingga begitu bangga menjadi seorang anak bangsa Indonesia. Walau kusadar kenyataan sering berbicara lain, lewat perlakuan dan perkataan terhadap diriku yang kebetulan dilahirkan oleh keluarga yang bukan pribumi ini; tapi entah kenapa aku tetap mencintai tanah ini dan begitu bangga jadi anak negeri yang carut-marut ini. Seminggu sebelum pesta bangsa ini, aku mendapatkan satu makna tentang sebuah kemerdekaan, yaitu bukan sekedar merdeka dari penjajahan, bukan pula merdeka untuk berekspresi seperti yang terjadi pada era reformasi; melainkan kita baru benar-benar merdeka apabila kita bisa memerdekakan diri dari menindas dan menjajah orang lain.
Selama beberapa hari ini aku banyak menerung tentang kondisiku saat ini. Aku menyadari ternyata betapa banyak perubahan yang terjadi pada diriku. Beberapa teman yang mengenalku bertahun-tahun mengatakan bahwa aku berubah. Perkataan itu ditujukan pada diriku baik perubahan secara fisik maupun sikap. Memang, secara fisik aku memang berubah, tepatnya makin gendut dan rambutpun mulai rontok ๐ tapi yang lebih kupikirkan adalah secara sikap aku mengalami perubahan juga. Apakah benar? Karena aku sering merasa bahwa aku masihlah aku yang dulu. Setelah kurefleksi diriku, ternyata memang aku berubah! Tanpa kusadari aku telah menjadi seorang yang penuh dengan kekhawatiran yang memenuhi otakku sehingga membuatkan lebih sering murung dibandingkan tersenyum. Seperti dalam film Doraemon yang kutonton tadi pagi, seperti si Nobita yang sedang sedih sampai auranya berwarna hitam pekat. Mungkin itulah gambaran diriku saat ini.
Hmmm… semenjak cece angkatku pindah dari Surabaya beberapa tahun lalu, aku memang kehilangan tempat terbaik untuk curhat. Tak ada lagi tempat untuk kuberbagi tawa dan tangis. Memang hingga saat ini aku pun masih belum memiliki tempat berbagi cerita. Ceceku sendiri saat ini tinggal di negeri yang berbeda 9 jam denganku, sehingga sudah 2 tahun ini aku tak lagi berbicara dengannya. Komunikasi hanya lewat email, itupun jarang sekali karena kesibukannya sebagai pekerja dan ibu rumah tangga yang harus mengurus anaknya masih kecil. Kalaupun kangen, aku biasanya hanya memandangi fotonya saat masih di Surabaya.
11 tahun sudah sejak aku meninggalkan bangku sekolah, begitu banyak kejadian kualami, begitu banya mujizat yang telah kurasakan, begitu banyak berkat dan rahmat Tuhan yang kuterima; namun semuanya sering kulupakan ketika beberapa hal sepele yang tidak kuharapkan terjadi. Saat-saat di bangku kuliah adalah saat pergumulan paling hebat yang pernah kualami, begitu banyak membuka mata, pikiran dan hatiku akan sebuah kenyataan dunia. Namun, saat itu pula aku benar-benar merasakan apa yang disebut sebagai MUJIZAT, JAMAHAN, dan KEKUATAN dari Roh Kudus. Kini 5 tahun sudah kutinggalkan bangku kuliah, kutinggalkan pula semua kenangan itu dan tenggelam dalam rutinitas kerja.
Malam makin larut, aku merasakan sebenarnya aku ini sungguh beruntung saat ini. Kepindahanku ke Bali mungkin memang adalah salah satu dari misteri rencana Allah padaku. Lewat banyak peristiwa di pulau ini aku belajar banyak hal. Walau aku lebih sering merasakan beban yang teramat berat yang harus kujalani dalam kesendirian, tapi lewat perenungan yang kucoba rutin untuk kulakukan, aku merasakan bahwa aku tak pernah berjalan sendiri. Terutama lagi, aku senantiasa mendapatkan kekuatan dari doa-doa yang selalu dipanjatkan oleh para sahabat dan imam yang menyayangi aku.
Hmmm… hari berganti, umurpun bertambah. Entah apa lagi yang akan terjadi padaku, saat ini aku mencoba untuk menjalani saja kehidupanku. Berat? Mungkin. Yang terutama adalah aku harus terus menggali dan memahami akan siapa diriku. Who Am I? adalah pertanyaan yang sudah 10 tahun terakhir terus-menerus berdengung di kepalaku dan itulah yang terus kucari dalam pengembaraan hidupku. Samar-samar lagu “Bintang Keabadian”-nya Ronnie Sianturi menemaniku melewati keheningan pagi buta ini… aku berharap aku pun dapat menemukannya…
Hidup tak lagi bermakna
Bilaku menjauh dariMu
Seperti malam tanpa bintang
Aku kesepianHidup tak lagi berwarna
Bila ku tak dekat padaMu
Seperti ladang tak bertuan
Aku kesepianDi langit tanpa batas aku terbang mencari satu bintang keabadian
Kemana ku melangkah suatu saat pasti kan kutemukan bintang keabadian
Selamat pagi Indonesia!
JN. Rony
20060828
Here I Am, Lord…