Tak terasa Minggu Palma pun telah datang, itu artinya 40 hari sudah aku telah berpuasa dan berpantang menjadi seorang vegetarian. Sudah 3 tahun ini, puasa dan pantangku kulakukan dengan caraku yang memang dipandang oleh sebagian orang agak aneh, mengingat aku menggabungkan unsur katolik, islam dan budhist π Harus kuakui, caraku “menyiksa” diriku agak ekstrim, yaitu makan hanya sekali sehari selepas pukul 6 sore, sepanjang hari aku berpuasa total tidak makan dan minum dan sebagai pantangan aku memilih menjadi seorang vegetarian, tidak makan daging sama sekali. Awalnya, cara vegetarian ini terasa begitu berat untukku, sebab aku sangat menyukai daging dan termasuk pemilih dalam hal makanan, sehingga hanya beberapa jenis sayuran saja yang bisa kumakan. Untuk puasa makan-minum seharian aku sudah terlatih sejak duduk di bangku SMA. Jadilah 3 tahun ini aku mencoba untuk menempa diriku dalam menahan keinginan lahiriahku melalui menu vegetarian setiap hari dan sejauh ini aku bisa melaluinya dengan baik, bahkan aku merasakan manfaat dari puasa-pantang caraku ini, yaitu berat badan turun dan pencernaan menjadi lebih lancar.
Tadi pagi, untuk yang kedua kalinya aku mengikuti prosesi Minggu Palma di salah satu gereja yang tergolong megah di Bali. Jika tahun lalu aku sempat mengeluhkan perihal pengaturan pada upacara yang penting dalam kalender liturgi Katolik tersebut, ternyata kali ini terulang kembali bahkan rasanya makin parah saja. Belajar dari pengalaman sebelumnya aku datang 1 jam lebih awal, berharap tidak berebut daun palem dan bisa mendapatkan barisan depan. Ternyata kali ini, daun palem harus dikumpulkan untuk diberkati bersamaan, kemudian dikembalikan lagi ke umat. Duh! Jujur, ini cara terbodoh yang pernah kudengar π Mungkin bagi umat yang hanya menjadikan daun palem sebagai pelengkap misa (karena namanya saja Minggu Palma), hal tersebut tidak akan berefek apapun, namun bagi umat yang ingin memberkatkan daun palemnya untuk dipasangkan pada salib, tentu hal ini menjadi konyol. Bayangkan bagi mereka yang memiliki banyak salib, sudah susah-susah membawa banyak daun palem, begitu dikumpulkan bisa dipastikan untuk mengumpulkan kembali daun palem tersebut adalah hal yang mustahil. Itu sebabnya aku melihat beberapa orang enggan mengumpulkan daun palem yang mereka bawa. Aku heran, bukankah prosesi pemercikan daun palem yang dibawa oleh umat adalah sebuah tradisi yang perlu dilestarikan? Dengan cara pemercikan yang tadi kulihat, maka daun palem yang terperciki oleh air suci praktis hanyalah daun-daun yang berada di tumpukan teratas. Lalu, saat pembagian daun palem… seperti yang kuduga, terjadilah kericuhan karena panitia yang membawa daun-daun palem tersebut jadi sasaran rebutan. Hal ini tentu membuat suasana sakral sebuah misa jadi lenyap. Setelah itu, saat memasuki gereja… masih seperti tahun sebelumnya, tidak terkoordinasi dan semua saling berebutan masuk. Hal ini dikarenakan panitia sama sekali tidak mengatur barisan sejak awal. Sedih sekali melihat gereja semegah itu namun umat-umatnya (termasuk aku) seperti sekumpulan orang-orang barbar yang berebut kursi. Lalu sepanjang misa, koor dengan semangatnya bernyanyi sekeras-kerasnya (maklum, sound systemnya baru dipasang tambahan lagi), tanpa peduli saat itu diperlukan keheningan ataukah tidak. Intinya, kacau!
Well… belajar dari pengalaman lalu, aku berusaha untuk tidak memusingkan kekacauan tersebut. Inilah adalah saat menyambung Sang Kristus di gerbang Yerusalem! Yerusalem, Yerusalem… lihatlah Rajamu! Hosana, terpujilah… Kristus Raja Maha Jaya! Memang suasana perarakan yang kurasakan sangat berbeda jauh, malah bisa dikatakan tidak ada perarakan sama sekali… Yang pasti, kegembiraan Yerusalem tak berlangsung lama, sebab tak lama kemudian Yerusalem berbalik mengadili Yesus secara tak adil. Seorang senior yang menanggapi kegalauanku dalam mengambil sebuah keputusan mengatakan dalam SMS-nya bahwa Yesus pun dalam mengambil keputusan harus sampai berdarah-darah. Memang, hatiku serasa hancur saat mendengarkan mazmur antar bacaan: Allahku ya Allahku… mengapa Kau tinggalkan aku? Itulah jeritan hati Yesus saat disiksa dan disalibkan, sebagai konsekuensi keputusan yang Dia ambil, yaitu demi penebusan dosa-dosa kita… manusia yang sangat dikasihi-Nya.
Minggu Palma ini adalah awal dari perayaan misteri Tri Hari Suci yang akan kita masuki beberapa hari lagi. Dalam Minggu Palma ini kita diajak untuk lebih merefleksikan diri, siapakah kita? Apakah kita selama ini bertindak sebagai umat Yerusalem yang dengan semangat bersorak-sorai menyambut kehadiran Yesus, lalu dengan mudahnya berbalik mencela dan berteriak “Salibkan Dia!” pada saat Yesus diadili? Ataukah kita selama ini bertindak sebagai Pilatus yang “jaim” sehingga untuk menjaga wibawanya maka tidak berani menyuarakan kebenaran dan kemudian cuci tangan dari masalah yang dihadapi? Ataukah kita selama ini seperti Yudas yang setiap saat makan-minum bersama Yesus, namun kemudian “menjual” Yesus hanya demi 30 keping perak? Ataukah kita seperti Petrus yang “sok jagoan” membela Yesus, tapi pada saat Yesus diadili, dia malah menyangkal bahwa dia termasuk murid Yesus? Atau, siapakah kita? Pra-Paskah yang dimulai dengan penerimaan abu sampai Minggu Palma adalah masa-masa dimana kita semua diajak lebih menyelami kehadiran Yesus di kehidupan sehari-hari. Lewat puasa dan pantang, kita diajak untuk turut merasakan sedikit dari penderitaan yang dialami Yesus. Terlebih lagi, lewat pertobatan kita diajak untuk kembali ke jalan yang benar.
Aku sadar bahwa aku masih manusia yang penuh dengan dosa. Aku sadar bahwa diriku belumlah sempurna dan memiliki banyak keterbatasan. Aku merasa apa yang kuperbuat belumlah cukup untuk menjadikan diriku layak dan pantas di hadapan-Nya. Mungkin pada akhirnya aku pun harus memahami konsep “i am no one, i am nothing”, sehingga aku bisa menekan segala ego dan kekhawatiran yang ada dalam diriku dalam menyambut kedatangan-Nya dalam diriku. Hmmm… malam makin larut, kurasakan begitu banyak berkat sudah kuterima selama ini. Lewat pengalaman sehari-hari yang kadang kuabaikan, kurasakan begitu besar kuasa dan kasih-Nya padaku. Aku berharap, melalui refleksi Paskah ini aku dapat menjadi manusia yang lebih sempurna dan layak untuk menghadap ke hadirat-Nya. Terima kasih Tuhan, atas segala penyertaan, berkat dan rahmat yang selalu berlimpah hari demi hari dalam hidupku. Biarlah apa yang terjadi padaku hari demi hari, hanyalah demi kemulian-Mu saja, Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Amin!
Dalam segala hal, aku ingin bisa menunjukkan bahwa aku ini anak Allah!
JN. Rony
20080316
to be or not to be, that’s the question!