“Allahku… ya Allahku… Mengapa Kau tinggalkan aku?” Jeritan yang memecah keheningan siang bolong, begitu menggelikan karena terdengar seperti rengekan seorang yang putus asa; namun sekaligus terdengar begitu memilukan dan menyayat hati, mengingat jeritan itu keluar dari mulut seorang Anak Manusia yang kita sebut Tuhan. Panas terik di bukit saat itu menjadi saksi bisu kepongahan manusia yang memandang kayu salib dari bawah. Teriakan dan caci-maki sontak terhenti dan berubah menjadi keheningan bisu, sesaat setelah sang Anak Manusia menghembuskan nafas yang terakhir. “It’s finished”, selesailah sudah tugas yang harus diemban-Nya. Yang tersisa hanyalah tatapan mata sedih dan menyiratkan penyesalan. Mulut yang tadi dengan penuh semangat mencaci dan penuh tawa hina, kini seolah terkunci dan lidah pun terasa kelu. Malu tidaklah cukup menggambarkan kerumuman orang yang bubar pulang ke rumah masing-masing dengan kepala tertunduk.
Good Friday, aku masih belum mengerti kenapa disebut demikian. Kenapa bukan Very Good Friday atau bahkan Great Friday? Atau bisa juga disebut Black Friday atau Shame Friday, mengingat pada hari ini kita memperingati ketololan manusia yang main hakim sendiri? Yesus disalib memang untuk menggenapi tugas-Nya di dunia, yaitu menebus dosa-dosa manusia; namun di sisi yang lain penyaliban Yesus juga menunjukkan betapa bodoh, angkuh, keji, pongah, dll deh (yang takkan cukup kalo disebutkan semua) dari manusia saat itu yang juga merupakan gambaran manusia saat ini. Jumat Agung adalah satu momen dalam liturgi Gereja yang mengajak kita, bukan untuk bergembira merayakannya, namun lebih kepada instropeksi diri akan segala perbuatan kita.
Tahun ini aku memilih untuk menjalani prosesi Tri Hari Suci di Bali. Ada perbedaan yang terasa, mengingat Paskah kali ini bertepatan dengan libur panjang. Saat memasuki gerbang saja, sudah dilakukan pemeriksaan yang cukup ketat, lalu bangunan gereja yang megah membuat aku sedikit lebih nyaman dan sejuk oleh hawa AC gereja. Aku heran, kenapa sekarang semua gereja mulai berlomba memasang AC? Ber-Jumat Agung dalam hembusan hawa sejuk mungkin bisa kita jadikan bahan refleksi, apakah sesungguhnya kita sudah menyadari betul arti penyaliban Yesus di Golgota? Melihat kondisi jaman ini, mungkin sudah sangat nyaman dibandingkan jaman penyaliban dulu. Orang-orang bebal yang mengantarkan kematian Yesus masih lebih semangat daripada kita! Orang-orang bebal saja masih rela berpanas ria, berbeda jauh dengan kita saat ini yang begitu manja… memalukan, bukan? Hmmm… mungkin aku terlalu menilai makna Jumat Agung dari segi fisik luarnya saja. Mungkin juga aku yang tidak bisa mengikuti perkembangan jaman. Aku tak tahu… Yang pasti aku mencoba untuk merefleksikan diriku pada prosesi Jumat Agung ini, saat dimana Yesus menderita dan mengalami detik-detik paling menyakitkan dalam hidup-Nya dan aku berharap bisa merasakan sedikit dari penderitaan tersebut.
Malam ini aku kembali menyaksikan “Via Dolorosa” sang Kristus lewat sebuah film yang diputar di TV, sebuah pemandangan mengerikan yang mungkin kenyataannya lebih mengerikan lagi. Pengorbanan yang mungkin takkan bisa kulakukan, namun aku berharap dengan merenungkan Jumat Agung ini, aku dapat menjadi manusia yang lebih dapat memahami arti sebuah pengorbanan. Iman boleh ada, tapi daging itu lemah, itulah gambaran diriku sebagai manusia. Melalui teladan Juru Selamatku itulah, aku berharap tak lagi terikat pada keinginan jasmaniah saja. Semoga aku bisa…
Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku…
JN. Rony
20080321
bless the Lord my soul, and bless God’s holy name…